OPINI
Solusi Dua Negara dan Jebakan Damai Ala Trump
Oleh: Lisa Herlina
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Proposal perdamaian 20 poin yang digulirkan Donald Trump untuk Gaza, sebagaimana laporan Al Jazeera (09-10-2025) dan CBS News (10-10-2025), menunjukkan kesinambungan dengan Deal of the Century tahun 2020 yang pernah gagal. Rencana ini mencakup demiliterisasi Gaza di bawah pengawasan internasional, penghancuran fasilitas militer dan pembentukan pemerintahan administratif tanpa peran kelompok bersenjata seperti Hamas.
Menurut The Guardian (06-10-2025), proposal tersebut bukanlah upaya damai sejati, namun bentuk administrasi kolonial yang mengukuhkan ketergantungan Palestina dan memberi Israel legitimasi politik serta jaminan keamanan. Rencana ini cenderung berfungsi sebagai strategi politik Amerika Serikat untuk memulihkan pengaruh regionalnya melalui isu Palestina, bukan langkah menuju perdamaian yang berkeadilan.
Pengumuman gencatan senjata Israel seperti dicatat CNN Indonesia (10-10-2025) dinilai sebagai bagian dari permainan diplomasi, sebuah jeda taktis yang memungkinkan restrukturisasi strategi militer di Gaza. Dalam konteks geopolitik, proposal ini beroperasi di bawah bayang-bayang solusi dua negara, gagasan yang lahir dari kesepakatan Oslo tahun 1993 antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel. Namun selama kurang lebih tiga dekade, konsepnya malah justru melahirkan entitas Palestina tanpa kedaulatan penuh. Tanpa kendali atas wilayah udara, perbatasan atau sumber daya sehingga negara Palestina yang dijanjikan tetap berada dalam posisi subkordinat dibawah kekuasaan Israel.
Secara strategis, Amerika Serikat menargetkan dua hal. Yang pertama menstabilkan kawasan berdasarkan keamanan Israel. Kedua melanjutkan normalisasi hubungan Israel -negara Arab melalui proyek Abraham Accords, sebagaimana juga menjadi agenda dalam Deal of the Century.
Dari perspektif politik Islam, ini bukanlah solusi, melainkan strategi pemeliharaan penjajahan. Konsep dua negara yang memaksa umat Islam menerima batas kolonial dan menegasikan status Palestina sebagai ardh al Islam, tanah umat yang wajib dibebaskan dari kekuasaan kafir.
Islam tidaklah menolak perdamaian, tapi menetapkan syarat moral dan transparansi politik yang jelas. Perdamaian hanya sah jika menegakkan keadilan dan melindungi kedaulatan kaum muslim.
Allah berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 193, "Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah(penindasan), dan agama hanya bagi Allah.”
Ayat ini menegaskan bahwa perdamaian dengan membiarkan ada penindasan di dalamnya adalah fitnah, bukan solusi. Karena itu Islam memandang perdamaian tanpa keadilan sebagai bentuk tadliil siyasi--penyesatan politik.
Rasulullah menunjukkan bahwa diplomasi dalam Islam adalah diplomasi yang berbasis kekuatan, bukan kompromi. Perjanjian Hudaibiyah bukan menyerahkan kedaulatan, tetapi strategi memperkuat Islam sebelum penaklukan Mekkah. Saat Quraisy melanggar, Rasulullah segera bertindak. Inilah real politik Islam. Berdamai hanya untuk memperluas posisi kekuasaan yang berpihak pada keadilan.
Hari ini, di zaman modern solusi dua negara adalah bentuk kompromi yang justru mematikan spirit perjuangan Islam. Memisahkan politik dari aqidah dan mengubah jihad menjadi isu kemanusiaan. Maka selama umat Islam menilai bahwa perdamaian di atas dasar kemanusiaan semata justru bukan pada aqidah, umat akan selalu kalah dalam politik dunia.
Dalam fiqih, para ulama telah menetapkan kewajiban membebaskan wilayah yang dikuasai musuh. Ibn Qudamah dalam Al Mughni menjelaskan bahwa, apabila musuh memasuki negeri muslim, jihad menjadi fardhu 'ain bagi setiap muslim. Dengan kata lain persoalan Palestina ini bukanlah hanya isu lokal namun kewajiban global bagi umat Islam. Dalam pandangan politik Islam, negara-negara muslim wajib membebaskan tanah yang terjajah bukan menandatangani kompromi dengan penjajah.
Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa kekuatan politik umah adalah syarat bagi tegaknya agama dan keadilan. Tanpa kekuasaan yang bersatu, umat akan tunduk pada tatanan asing. Karena itu, solusi dua negara hanyalah bentuk modern dari kolonialisme, yang memecah kekuatan umat agar tidak mampu membela tanahnya sendiri.
Dalam sejarah peradaban Islam, pembebasan hanya mungkin melalui kekuasaan politik yang bersandar pada Wahyu. Saat Umar bin Khattab membebaskan Yerusalem, tidak setetes darah pun tertumpah karena penduduk percaya pada keadilan sistem Islam (khilafah). Selanjutnya pada masa Salahuddin Al Ayyubi, pembebasan kembali Baitul Maqdis terjadi melalui jihad dan persatuan politik, bukan diplomasi penjajahan.
Bahkan ketika seorang muslimah di Amuriyah dilecehkan pasukan Romawi saat itu, Khalifah Al Mu'tashim Billah mengirim pasukan besar dengan tujuan membalas penghinaan dan menjaga kehormatan umat. Tindakan ini mencerminkan kesadaran bahwa urusan Palestina dan kehormatan umat tidak dapat diserahkan dengan diplomasi, tetapi harus dihadapi dengan kekuatan politik Islam (khilafah).
Rasulullah bersabda, "Imam (Khalifah) adalah perisai, umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya."(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menjadi dasar bagi konsep negara Islam sebagai pelindung akidah dan tanah umat. Tanpa kekuasaan seperti itu, umat hanya menjadi objek diplomasi bukan subjek pembebasan.
Islam menolak solusi dua negara. Bukan hanya itu, paradigma politik dan hukum Islam dari proposal 20 poin Trump hanyalah kelanjutan dari proyek penjajahan dengan format diplomatik. Ia menghapus kewajiban jihad, mengaburkan kedaulatan Islam dan menjadikan keadilan sekedar jargon.
Jalan Islam menolak konsep perdamaian yang dibangun di atas kezaliman. Perdamaian hakiki hanya terwujud jika kedaulatan kembali pada hukum Allah dan umat bersatu di bawah satu kepemimpinan, yaitu khilafah. Yang dengannya tegaklah keadilan bagi semua manusia. Itulah sebabnya politik Islam tak mengenal dua negara di tanah yang sama, tapi satu umat, satu sistem, satu kedaulatan.
Ketika kekuasaan Islam tegak kembali seperti halnya pada masa Umar bin Khattab dan Salahuddin Al Ayyubi, Palestina akan kembali menjadi negeri damai yang memuliakan manusia tanpa pandang agama. Selama umat masih menaruh harapan pada "dua negara", sesungguhnya mereka sedang memperpanjang usia penjajahan. Namun ketika mereka kembali pada Islam sebagai ideologi politik, keadilan akan tegak, dan Baitul Maqdis akan kembali menjadi pusat cahaya peradaban.
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin serta menjadikan mereka pewaris (bumi)." (TQS Al Qashash ayat 5)
Wallahu a'lam bishowab.
Via
OPINI
Posting Komentar