Dampak Kapitalisme Digital terhadap Krisis Mental Generasi Muda

TanahRibathMedia.Com—Di era digital saat ini, kemajuan teknologi sering dipersepsikan sebagai simbol kemudahan dan kebebasan. Akses cepat karena kecanggihan teknologi membantu peran manusia dalam menjalani hidup.

Akan tetapi di balik itu, kapitalisme digital justru melahirkan persoalan baru yang semakin menekan kehidupan generasi muda, terutama pada aspek kesehatan mental. Media sosial, ekonomi berbasis platform, serta budaya popularitas telah menciptakan standar hidup yang semu dan menyesakkan. Sosial media terbukti memberikan dampak tersendiri bagi remaja yang bisa memicu kecemasan (Kumparan, 17-08-2025).

Kapitalisme digital menjadikan manusia, khususnya generasi muda, sebagai komoditas. Algoritma dirancang untuk mengejar keuntungan dengan memanfaatkan emosi, perhatian, dan waktu pengguna. Akibatnya, generasi muda hidup dalam tekanan perbandingan sosial, tuntutan pencitraan diri, serta obsesi terhadap validasi digital. Tidak mengherankan jika kecemasan, depresi, dan krisis identitas semakin marak, meskipun akses informasi dan hiburan kian terbuka.

Dalam pandangan Islam, kondisi ini merupakan konsekuensi dari hilangnya orientasi hidup yang benar. Islam menegaskan bahwa tujuan hidup manusia bukanlah mengejar pengakuan sosial atau akumulasi materi, melainkan beribadah kepada Allah Swt.

Allah Swt. berfirman: 

Ketika dunia dijadikan tujuan utama, ketenangan jiwa akan sulit diraih. Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah mengingatkan dalam sebuah hadis Riwayat Bukhari dan Musliam bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, tetapi pada kelapangan jiwa.

Realitas ini sangat kontras dengan kapitalisme digital yang mengukur nilai manusia dari produktivitas, popularitas, dan materi.Islam juga menegaskan bahwa ketenteraman batin hanya dapat diperoleh dengan mengingat Allah Swt., bukan melalui validasi digital yang semu. 

Problem mental generasi muda tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan individual seperti terapi atau digital detox semata. Masalah ini bersifat sistemik karena bersumber dari sistem kapitalisme yang menuhankan keuntungan dan mengabaikan dimensi ruhiyah manusia. 

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus bersifat menyeluruh. Islam kaffah menawarkan jalan keluar yang komprehensif. 

Pertama, penguatan akidah harus menjadi fondasi utama generasi muda. Pemahaman bahwa nilai manusia ditentukan oleh ketakwaan, bukan jumlah pengikut atau pencapaian materi, akan membebaskan mereka dari tekanan sosial yang berlebihan.

Kedua, Islam mengatur pemanfaatan teknologi agar tetap berada dalam koridor maslahat. Teknologi seharusnya menjadi sarana dakwah, ilmu, dan pelayanan umat, bukan alat eksploitasi emosi dan waktu manusia. Prinsip halal–haram dan tanggung jawab moral menjadi rambu utama dalam aktivitas digital.

Ketiga, sistem pendidikan Islam harus diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah), bukan sekadar mencetak tenaga kerja yang kompetitif. Pendidikan yang menyeimbangkan aspek akal, ruh, dan jasad akan melahirkan generasi muda yang tangguh secara mental dan spiritual.

Keempat, penerapan Islam secara kaffah menuntut peran negara sebagai pelindung umat. Negara berkewajiban mengatur sistem ekonomi, media, dan pendidikan agar tidak dikuasai kepentingan kapitalistik yang merusak akidah dan kesehatan mental masyarakat.

Pada akhirnya, krisis mental generasi muda di era kapitalisme digital bukanlah persoalan sepele. Tanpa perubahan paradigma dan sistem, tekanan ini akan terus berlanjut. Islam kaffah hadir bukan sekadar sebagai ajaran ritual, tetapi sebagai solusi hidup yang mampu mengembalikan ketenangan jiwa, arah hidup, dan martabat manusia di tengah arus digitalisasi yang kian tak terbendung.

Wallahu'alam.