OPINI
Era Digital: Medan Ujian dan Perjuangan Generasi Z
Oleh: Yuyun Maslukhah S.Sn
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Jumlah pengguna internet di Indonesia kini kembali mencatat rekor baru. Berdasarkan laporan terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bertajuk Profil Internet Indonesia 2025, pada semester pertama tahun ini jumlah pengguna internet di Tanah Air telah mencapai 229.428.417 jiwa. Angka itu mengalami kenaikan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, dengan jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 284,43 juta jiwa (Cloud Computing Indonesia, 12-8-2025).
Capaian tersebut menjadi sinyal kuat bahwa teknologi digital telah merambah hampir ke seluruh lapisan masyarakat. Kini, internet menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Era digital tidak terelakkan, banyak kemudahan dan juga banyak pengaruh buruk. Generasi Z salah satu generasi yang dikenal paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dan berkembang dalam era digital yang memberikan kebebabsan berekpresi tanpa batas melalui berbagai platform media sosial seperti Instagram, Tiktok, dan X.
Meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitas bagi Gen Z tidak sesederhana itu. Bagi Gen Z media sosial bukan hanya untuk berekspresi, tetapi juga sebagai arena persaingan yang tak kasat mata. Standar kecantikan, gaya hidup mewah yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk tampil menarik, sehingga menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z. Akibatnya, Gen Z dipandang sebagai generasi lemah. Akan tetapi, di satu sisi mereka memiliki potensi kritis dan mampu menginisiasi perubahan melalui sosial media.
Media Sosial Didominasi Nilai Sekuler Kapitalistik.
Ruang digital sejatinya tidak netral. Media sosial hari ini didominasi nilai-nilai sekuler kapitalistik. Di mana popularitas, profit, algoritma, dan kebebasan (liberal) tanpa batas menjadi penentu arah wacana. Apa yang viral dianggap benar, apa yang menguntungkan terus di dorong, sementara nilai agama dan kebenaran sering tersisihkan.
Di satu sisi, ruang digital memeiliki nilai positif, yaitu lahirnya activism glocal (gerakan lokal dengan gaung global), akses terhadap ilmu pengetahuan semakin terbuka, proses belajar menjadi cepat dan lintas batas, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, dampak negatifnya juga nyata, krisis kesehatan mental, budaya validasi, kecemasan sosial, dan kelelahan emosional.
Bahkan narasi inklusif-progresif, sering kali menempatkan agama sebagai sesuatu yang relatif dan layak dipertanyakan, bahkan menggugat nilai-nilai agama yang dianggap sudah “tidak relevan” dengan zaman. Generasi digital pun tumbuh dengan nilai-nilai baru yang kerap berbeda, bahkan bertabrakan dengan generasi sebelumnya.
Mengubah Paradigma Sekuler menjadi Paradigma Berfikir Islam
Menyelamatkan generasi dari pengaruh hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik merupakan kebutuhan yang mendesak. Cara menyelamatkan mereka dengan mengubah paradigma berpikir sekuler menjadi paradigma berpikir Islam. Karena ruang digital hari ini tidak hanya membentuk selera, tetapi juga cara berpikir, menilai benar dan salah, serta orientasi hidup. Jika dibiarkan, generasi akan tumbuh berorientasi dengan standar kebenaran yang relatif, pragmatis, dan validasi yang semu.
Karena itu, solusi mendasarnya bukan sekadar pembatasan teknis/literasi digital semata, melainkan perubahan paradigma berpikir, dari paradigma sekuler menuju paradigma berpikir Islam. Di mana Islam menjadikan wahyu sebagai sumber nilai, aqidah sebagai landasan berpikir, serta syariat sebagai standar dalam bersikap dan bertindak, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.
Pergerakan gen Z harus diarahkan untuk memberikan solusi yang sistemis dan ideologis berdasarkan paradigma Islam. Islam tidak hanya mengkritik ketidakadilan, tetapi juga menawarkan solusi yang menyeluruh berbasis aqidah dan syariat dalam seluruh aspek kehidupan.
Upaya ini tentu tidak bisa dilakukan secara parsial, dibutuhkan sinergi antara keluarga (menanamkan aqidah dan karakter sejak dini), masyarakat (membangun lingkungan yang sehat secara pemikiran dan sosial) dan negara (melindungi generasi dari arus pemikiran yang merusak, sekaligus mengarahkan potensi mereka pada perjuangan yang sahih).
Mengubah paradigma berpikir adalah kunci. Ketika cara pandang generasi telah berubah Islami, maka ruang digital tidak lagi menjadi ancaman, melainkan medan dakwah dan perjuangan untuk perubahan peradaban.
Walahu a’lam bishawab.
Via
OPINI
Posting Komentar