Opini
Minimnya Gaji Guru PPPK akibat Kegagalan Sistem Sekuler
Oleh: Rey Fitriyani, Amd.KL
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah baru-baru ini resmi mengeluarkan Skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu. Skema ini dimaksudkan untuk menampung karyawan honorer atau non-ASN yang belum terakomodasi dalam penerimaan CPNS atau PPPK penuh waktu. Bagi para pendidik yang ingin mengabdikan diri namun dengan waktu yang lebih fleksibel kini mereka dapat menjadi guru paruh waktu. Namun dalam penerimaan gajinya, guru yang berstatus PPPK paruh waktu ini menjadi topik hangat. Hal ini disinyalir karena gaji mereka sangat sedikit, dan tak sebanding dengan beban kerja yang diterima. Salah satu perwakilan guru mengatakan dalam gelar rapat di Gedung DPR, guru yang berstatus PPPK tidak memiliki jenjang karier dan tidak memiliki uang pensiun serta gaji yang minim, kondisi ini jauh berbeda dengan PNS (liputan6.com, 26-09-2025).
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pekerja paruh waktu didefinisikan sebagai mereka yang bekerja kurang dari 7 jam per hari atau di bawah 35 jam per minggu. PPPK paruh waktu adalah skema kepegawaian yang tergolong baru dalam struktur ASN di Indonesia. Berbeda dari PPPK penuh waktu, jenis ini memungkinkan individu untuk bekerja dalam durasi yang lebih pendek setiap harinya. Sebagai bentuk baru dalam sistem kepegawaian, gaji PPPK paruh waktu guru memberikan solusi bagi mereka yang menginginkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sekaligus tetap mendapatkan status resmi sebagai ASN. Dengan adanya berbagai perubahan kebijakan pada tahun 2024, maka penting bagi pekerja yang memilih menjadi PPPK untuk mengetahui secara jelas berapa gaji PPPK paruh waktu guru dan faktor-faktor yang mempengaruhinya agar tidak terjadi kesalahpahaman informasi.
Kebijakan ini diambil oleh Pemerintah karena menjadi guru PPPK paruh waktu mendapatkan beberapa keuntungan diantaranya: pertama, waktu kerja yang lebih ringan sekitar 4 jam per hari sehingga memberikan keleluasaan dalam mengatur waktu. Kedua, guru mempunyai waktu luang, sehingga dapat memanfaatkan sisa waktunya untuk kegiatan lain, seperti membuka les privat atau mengelola usaha pribadi. Ketiga, status resmi ASN meski tidak bekerja penuh waktu, guru PPPK tetap diakui sebagai ASN, sehingga memberikan rasa aman dan jaminan tertantu dalam profesinya (sindonews.com, 23-09-2015).
Di sisi lain dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Anggota Komisi II DPR RI Taufan Pewe bersama perwakilan guru PPPK pada 22 September 2025, pihaknya memperjuangkan guru dengan status PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk dialihkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Politisi Partai Golkar asal Sulawesi Selatan ini menyatakan bahwa, Komisi II akan memperjuangkan hak-hak guru agar lebih sejahtera dan setara dengan guru PNS. Taufan juga menegaskan tidak boleh ada lagi perbedaan administrasi maupun keuangan antara guru PPPK dan guru PNS. Salah satu langkah yang tengah diupayakan DPR adalah revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Melalui revisi tersebut, Komisi II DPR RI berkomitmen memperjuangkan agar guru PPPK memperoleh pengakuan lebih jelas dan perlindungan hukum yang kuat (radabarnyuwangi.com, 02-10-2025).
Besaran gaji guru PPPK Paruh Waktu yang sangat memprihatinkan menjadikan mereka bernasib pilu. Meskipun status kepegawaian guru berubah, akan tetapi besaran gaji yang diterima ternyata masih sama seperti saat menjadi guru honorer, bahkan jauh di bawah standar. Beban kerja yang mereka terima pun masih tetap sama, sementara harapan akan peningkatan kesejahteraannya juga tidak terpenuhi. Perbedaan penghasilan yang signifikan antar provinsi pun menambah kekhawatiran soal keadilan dalam kompensasi guru di seluruh Indonesia. Meskipun peralihan status menjadi PNS dinilai akan membawa keadilan, pengakuan, dan kesejahteraan, namun yang selama ini mereka rasakan masih jauh dari kata ideal. Lantas mengapa kasus gaji guru seolah tak pernah usai.
Jika kita telisik lebih jauh, akar permasalahan minimnya gaji guru dan tidak sejahteranya kehidupannya adalah akibat sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam sistem ini negara tidak memiliki anggaran cukup untuk menggaji guru secara layak, karena anggaran telah dialokasikan untuk sektor lain. Padahal jika kita melihat SDA yang terkandung di negeri ini sangatlah banyak, bahkan sangat cukup untuk menggaji guru. Namun SDA yang melimpah banyak dikelola oleh pihak asing dan swasta, sehingga hasilnya diterima oleh segelintir pribadi atau golongan, dan pemanfaatannya tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, termasuk dalam meningkatkan kesejahteraan guru dan pendidikan nasional. Pemasukan negara di sistem ini juga bergantung pada pajak dan hutang yang justru semakin membebani rakyat. Berbagai pajak ditarik dari rakyat untuk menutupi beban hutang negara, sehingga biaya hidup rakyat meningkat dan kemiskinan menjamur. Alhasil, rakyat sibuk menutupi kebutuhan hidupnya dengan mecari penghasilan tambahan lewat pinjol dan judol, yang semua itu justru semakin melilit hidup mereka.
Kondisi ini berbeda jika negeri ini menerapkan Islam sebagai aturannya. Dalam Islam, Islam menjamin tunjangan guru dan tidak menunggu guru untuk menuntut haknya. Ini karena jika penyebaran ilmu terhambat dengan adanya prasyarat upah, bisa dibayangkan bagaimana nasib generasi ke depannya. Sesuai sabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.” (HR Al-Bukhari no. 5737).
Sehingga pada masa Shalahuddin al-Ayyubi. Syekh Najmuddin al-Khabusyani, misalnya, yang menjadi guru di Madrasah ash-Shalāhiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah (jika 1 dinar= 4,25 gram emas; 40 dinar= 170 gram emas; bila 1 gram emas harganya Rp 1 juta, gaji guru pada saat itu tiap bulannya sebesar Rp170 juta).
Khilafah (Pemimpin Islam) sangat memperhatikan kesejahteraan guru. Guru merupakan profesi mulia yang dapat membawa generasi menjadi generasi emas dan bermanfaat bagi umat serta membawa peradaban yang gemilang bagi negaranya. Khilafah juga akan menjamin pendidikan bermutu, memuliakan guru dengan gaji yang layak, serta memastikan mereka bisa fokus penuh mendidik generasi. Dengan skema Islam kafah seperti ini, maka pendidikan akan melahirkan generasi unggul, beriman, dan berilmu yang siap memimpin peradaban.
Demikianlah, hanya sistem Islam yang menjadikan pendidikan sebagai hak mendasar setiap rakyat, dan guru akan dimuliakan sebagai penopang peradaban, pun kesejahteraan mereka akan dijamin oleh baitulmal. Oleh karenanya, hanya Khilafah yang mampu memberikan solusi tuntas, bagi terwujudnya pendidikan berkualitas. Dan hanya Islam yang dapat menyelesaikan akar persoalan guru maupun pendidikan. Tidak seperti sistem kapitalis yang hanya melahirkan kebijakan tambal sulam, seperti PPPK Paruh Waktu dan menjadikan pendidikan sebagai beban anggaran, bukan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Wallahualam.
Via
Opini
Posting Komentar