Opini
Kumpul Kebo Berujung Mutilasi, Dampak Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial
Oleh: Endah Dwianti, S.E.Ak., CA., M.Ak.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena mutilasi yang terjadi di Mojokerto Surabaya kembali membuka mata publik tentang gelapnya arus liberalisasi pergaulan di Indonesia. Pada awal September 2025, publik dikejutkan dengan penemuan puluhan bagian tubuh manusia di Mojokerto. Setelah diidentifikasi, potongan-potongan itu ternyata milik seorang wanita muda, yang tak lain adalah korban mutilasi oleh pacarnya sendiri. Fakta ini terungkap dari laporan Detiknews.com (8 September 2025) dan Kompas.com (8 September 2025). Lebih mengejutkan lagi, polisi menemukan ratusan potongan tubuh lain yang disimpan di kamar kos pelaku di Surabaya (MetroTVnews.com, 9 September 2025).
Pelaku yang merupakan pacar korban mengaku tega melakukan mutilasi karena kesal. Kesal sebab korban tidak membukakan pintu kos, kesal pula dengan tuntutan ekonomi yang dianggap membebaninya. Di titik ini, publik berhadapan dengan sebuah tragedi yang tak sekadar tindak kriminal, melainkan cerminan dari gaya hidup menyimpang yang kian dinormalisasi: kumpul kebo atau living together, atau yang sekarang disebut kohabitasi.
Kohabitasi: Wajah Baru “Kumpul Kebo”
Kisah mutilasi ini menyisakan luka, bukan hanya karena kekejaman pelaku, tetapi juga karena fakta bahwa korban dan pelaku tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Fenomena kohabitasi, atau kumpul kebo, kini kian marak dipilih oleh generasi muda. Alasannya pun dianggap “rasional”: ingin lebih mengenal pasangan sebelum menikah, efisiensi biaya hidup, hingga alasan praktis berbagi tanggung jawab rumah tangga.
Psikolog Virginia Hanny, seperti dilansir Validnews.com (10 September 2025), bahkan merinci tiga pertimbangan sebelum pasangan memutuskan kohabitasi: harus atas dasar suka sama suka tanpa paksaan, menentukan lokasi tinggal yang strategis, dan menyepakati tujuan serta batasan hidup bersama. Di atas kertas, saran itu terdengar masuk akal. Namun fakta lapangan menunjukkan, kohabitasi bukan sekadar “uji coba pernikahan”, melainkan pintu lebar menuju kerusakan moral, kekerasan, hingga tragedi kemanusiaan.
Sekularisme dan Normalisasi Pergaulan Bebas
Mengapa kohabitasi kini dipandang wajar, bahkan dibicarakan secara terang-terangan di media? Jawabannya ada pada sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam paradigma sekuler, cinta, marah, kecewa, atau gairah dilampiaskan sebebas-bebasnya tanpa peduli halal-haram. Pacaran dianggap sah, tinggal serumah dengan pasangan dianggap wajar, hingga berbagi ranjang sebelum akad pun tidak lagi dipandang tabu.
Tren ini jelas produk toksik dari liberalisasi pergaulan. Dalam masyarakat sekuler-liberal, negara hanya bertindak jika ada korban fisik, sementara pacaran, kohabitasi, dan perzinaan tidak dipandang sebagai tindak pidana. Artinya, negara secara diam-diam justru membiarkan generasi muda hanyut dalam arus kebebasan yang menyesatkan.
Fakta mutilasi Surabaya–Mojokerto hanyalah satu potret ekstrem dari bahaya kohabitasi. Di balik kisah cinta yang dilabeli “bebas”, tersimpan potensi konflik ekonomi, kekerasan fisik, hingga pembunuhan. Pertanyaan pentingnya: sampai kapan generasi muda dibiarkan hidup dalam jebakan kebebasan yang semu?
Islam: Sistem Sosial Penjaga Kehormatan
Tragedi mutilasi ini seharusnya menjadi alarm keras. Solusinya bukan sekadar edukasi moral individu, melainkan perombakan total sistem sosial yang membentuk cara pandang masyarakat. Islam sebagai sistem hidup kafah menawarkan solusi yang kokoh.
Pertama, Islam memagari individu dengan ketakwaan. Seorang muslim yang paham tujuan hidupnya akan menjauhi pacaran, perzinaan, apalagi kohabitasi. Kedua, Islam menempatkan masyarakat sebagai pengontrol sosial. Amar makruf nahi mungkar bukan hanya slogan, melainkan kewajiban bersama agar kemaksiatan tidak menjadi tren. Ketiga, negara memiliki peran vital. Negara wajib membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui pendidikan berbasis akidah, menerapkan sistem pergaulan yang sesuai syariat, serta menegakkan sanksi bagi pelaku jarimah seperti zina atau pembunuhan.
Jika aturan Islam diterapkan secara kafah, tragedi mutilasi akibat kohabitasi tidak akan pernah terjadi. Sebab setiap individu diarahkan untuk menjalani hidup sesuai fitrahnya: menjaga kehormatan diri, membangun rumah tangga melalui ikatan pernikahan yang sah, dan menjadikan masyarakat lebih aman serta bermartabat.
Kasus mutilasi di Surabaya–Mojokerto bukan sekadar kejahatan personal, melainkan cermin bobroknya sistem sosial sekuler-liberal yang membiarkan pergaulan bebas merajalela. Normalisasi kohabitasi hanyalah jalan pintas menuju jurang kehancuran generasi.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti mengadopsi paradigma sekularisme yang gagal menjaga manusia dari kebinatangan. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada sistem Islam yang kafah. Hanya dengan itu, peristiwa tragis seperti mutilasi akibat kumpul kebo tidak lagi berulang.
Wallahualam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar