NAFSIAHz
Kata Siapa Tak Boleh Kecewa?
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—"Pernahkah mencintai dengan tulus tapi diabaikan?"
"Pernahkah ingin memberi tapi tidak dihargai?"
"Pernahkah terus-menerus mengalah meminta maaf pada teman atau sahabat walau kita tidak bersalah, tapi mereka tidak pernah merasa bersalah ketika ucapannya menusuk hati kita?"
"Pernahkan walau dalam keramaian hati kecil ini merintih dalam kesendirian karena tergores ucapan?"
Jika pernah, pasti batin ini rasa dicabik, dan kecewa akan singgah bertamu di ruang hati.
Pertanyaannya, bolehkah kecewa?
Padahal ada sebuah pernyataan yang dibingkai dengan kalimat "kecewa adalah salah satu ciri dari belum ilkhlas".
Lo! Siapa yang melarang manusia kecewa? Tidak ada seorang pun yang melarang kecewa. Silakan kecewa! Kecewa itu bukan aib, tapi ujian jiwa.
Walaupun mungkin benar bahwa kecewa adalah ciri dari tidak ikhlas, tapi kita manusia biasa, yang ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, maka, kecewa di hati akan tersimpan.
Jangan sekali-kali mengatakan pada orang yg kecewa, "kamu baperan!" Karena kita tidak akan pernah tahu seberapa kuatnya mereka berusaha membuat saudaranya, atau temannya, atau sahabatnya agar tersenyum. Seberapa kuatnya mereka berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik bagi orang yang mereka anggap spesial, tetapi ternyata "penolakan" yang mereka dapatkan. Wajarkah jika kecewa?
Kecewa adalah tamu tak diundang, tetapi datangnya tepat waktu. Tidak semudah itu mengusirnya. Di samping butuh waktu yang lama, mereka juga butuh rangkulan, dan butuh pendengar yang benar-benar bijak serta butuh ruang hati yang luas agar mereka bisa nyaman dan bebas dalam mengutarakan kekecewaan tanpa penghakiman yang menjadi pembatas.
Ya, mungkin manusiawi. Ketika kecewa, menangis menjadi senjata utama untuk pelampiasannya. Kesal, geram, marah, dan ingin melampiaskan dengan berbagai cara agar orang yang mengecewakan itu tahu bahwa ucapan atau tindakannya menyakitkan sehingga membuat kecewa.
Namun, lagi-lagi ukiran syair Syekh Jalaludin Rumi membalut luka jiwa yang menganga.
"Kekecewaan bisa diubah menjadi pelajaran dan pertumbuhan, dengan membiarkan hati lebih terbuka dan menerima. Bahkan mungkin mengubah rasa kecewa menjadi kerinduan pada hal-hal spiritual atau pada Rabb yang Maha pencipta".
Rumi pun menyarankan untuk tidak lari dari rasa sakit dan kekecewaan. Justru dengan menghadapinya, luka dapat sembuh dan membawa kebijaksanaan.
Jadi, jangan melarang atau menganggap lemah mereka yang kecewa, tetapi biarkan mereka menikmatinya, manjalaninya, atau bahkan mungkin meratapinya. Karena, kecewa adalah sifat manusiawi yang tidak bisa dipungkiri.
Lambat laun, mereka pun akan sadar, bahwa kecewa adalah akibat dari mereka terlalu menggantungkan harapan pada makhluk.
Tak mengapa, membasahi bumi ini dengan tangisan, tak ada yang mencegah mengadukan semua perih ke langit hingga hati merasa lega, dan jiwa tak lagi hampa.
Jangan menghakimi orang yang marah karena dikecewakan dengan sebutan "si gampang marah"! Karena siapa tahu, di balik marahnya ada mata yang sembab, hati yang rapuh, dan ada lirih doa kebaikan yang terselip dalam sujud panjangnya walau hanya sedikit kalimat untuk orang yang mengecewakannya, "Rabb Berkahi kehidupan mereka".
Maka, silakan kecewa, dan rawatlah duri kecewa itu dengan taburan obat yakin, bahwa Allah akan mengganti semua duri kecewa dengan bunga bahagia.
Allah pun menghibur orang yang dikecewakan dengan banyak cara, termasuk firman-Nya dalam surah Ali-Imran ayat 139: "Janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula bersedih hati. Padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin."
Jadi bolehkah kecewa? Boleh!
Asalkan jangan berlarut-larut!. Karena, nanti bisa berakar. Kalau sudah berakar, takutnya tumbuh dan berbuah.
Apa buahnya? dosa!
Mulai sekarang, bangkit! Kecewa, Boleh, dan rawat!
Balas dendam, tidak usah, karena itu adalah maksiat!
Wallahu 'alam bissawwab.
Via
NAFSIAHz
Posting Komentar