Opini
Job Hugging: Dilema Kerja di Sistem Kapitalisme
Oleh: Windih Silanggiri
(Pemerhati Remaja)
TanahRibathMedia.Com—Di dunia kerja saat ini, muncul istilah baru, yakni Job Hugging. Sebuah fenomena di mana para pekerja tetap bertahan pada pekerjaannya untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman meski mereka sudah tidak berminat lagi.
Padahal, sebelumnya ada tren Job Hopping yaitu seringnya berpindah-pindah tempat kerja untuk mencari pengalaman, relasi, dan gaji yang tinggi karena mereka lebih menyukai tantangan.
Ternyata fenomena Job Hugging bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di Amerika Serikat. Dikutip dari cnbcindonesia.com (19 September 2025), mencatat bhwa tingkat pengunduran diri sukarela di Amerika Serikat sejak awal tahun 2025 hanya 2 persen, artinya masuk dalam level terendah dalam hampir satu dekade. Sedangkan menurut Survei ZipRecruiter, mencatat bahwa pekerja yang sama sekali tidak yakin akan ketersediaan lowongan kerja meningkat menjadi 38 persen pada kuartal-II (Q2) 2025. Angka ini naik dari 26 persen tiga tahun lalu. Lantas, kenapa tren ini mulai melanda?
Gagalnya Sistem Kapitalisme
Di tengah-tengah kondisi ekonomi yang semakin lemah, PHK di mana-mana, dan ketidakpastian pasar tenaga kerja, para pekerja lebih memilih untuk tetap bertahan dalam satu pekerjaannya. Job hugging akan tetap mereka lakukan meski memiliki dampak negatif yaitu kurangnya semangat bekerja dan enggan melakukan pengembangan diri. Bekerja hanya sebatas untuk mencari rasa aman dan nyaman.
Minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan dengan membludaknya jumlah tenaga kerja, juga bisa menjadi faktor munculnya job hugging. Kondisi ini, mengakibatkan seseorang akan tetap bertahan meski gaji tiap bulan tidak stabil. Mereka mengira bahwa ketika pindah kerja, belum tentu diterima dengan gaji yang tinggi.
Di sisi lain, misalnya perusahaan yang menginginkan adanya inovasi dan kreativitas kerja demi mengembangkan perusahaannya. Mereka akan memilih menggunakan mesin teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) daripada tenaga manusia. Karena dalam sistem ekonomi kapitalisme menetapkan bahwa jika ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka harus menekan biaya produksi dan melakukan efisiensi.
Ditambah lagi, situasi ekonomi global yang tidak pasti. Misalnya, ketika suku bunga tinggi, perusahaan akan memilih untuk tidak melakukan ekspansi. Otomatis perekrutan tenaga kerja baru akan berhenti.
Maraknya fenomena job hugging tentu tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa hari ini. Sebuah sistem yang berlandaskan sekularisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan, mengakibatkan negara akan mengutamakan kepentingan investor atau korporasi besar daripada kepentingan rakyat. Pada akhirnya, negara tidak memiliki kuasa penuh untuk membuka lapangan pekerjaan yang layak. Urusan lapangan pekerjaan diserahkan kepada swasta.
Dalam Sistem Kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator semata yakni negara membuat kebijakan ruang kebebasan bagi para kapitalis untuk menguasai sumber daya alam. Akibatnya, meskipun banyak sekolah SMK dan kurikulum perguruan tinggi disiapkan untuk adaptif dengan dunia kerja, akan tetapi negara membiarkan rakyatnya berjuang sendiri di tengah persaingan pasar tenaga kerja.
Salah satu yang menjadi penopang dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme yaitu menjadikan praktik ekonomi non riil seperti saham, surat berharga dan ribawi sebagai basis utama kegiatan ekonomi. Sehingga berakibat minimnya pergerakan ekonomi riil dan penyerapan tenaga kerja. Memang grafik pertumbuhan ekonomi terlihat meningkat, namun rawan terjadi kolaps.
Inilah wajah asli Sistem Ekonomi Kapitalisme. Sebuah sistem yang mengakibatkan para pekerja lebih memilih Job Hugging meski dirinya sulit berkembang. Negara yang menganut sistem ini tidak akan mampu memberikan jaminan lapangan pekerjaan yang layak dan mudah diakses bagi setiap individu rakyat.
Islam Menjamin Lapangan Pekerjaan
Dalam Islam, kepala rumah tangga atau seorang suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah bagi anggota keluarganya atau yang menjadi tanggungannya. Untuk menunaikan kewajiban ini, maka negaralah yang memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan kemudahan mendapatkan pekerjaan yang layak. Negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Karena negara dalam Islam berfungsi sebagai raa'in yaitu pengurus urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Imam itu adalah pemimpin dan dia diminta pertanggungjawaban atas orang yang ia pimpin.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki mekanisme untuk bisa membuka lapangan pekerjaan, yaitu sumber daya alam tidak akan dikelola oleh swasta atau asing, tetapi akan dikelola berdasarkan syari'at Islam. Dari sinilah negara akan membuka lapangan pekerjaan dengan mengelola kekayaan umum yaitu sumber daya hutan, laut, dan barang tambang, serta mendirikan industrialisasi.
Islam akan menghidupkan tanah mati setelah 3 tahun berturut-turut tidak ada yang mengelola, memberikan tanah produktif kepada yang mau mengolahnya, memberikan bantuan modal, sarana, dan keterampilan bagi warga yang membutuhkan.
Untuk bisa menciptakan daya saing yang sehat, Islam menetapkan bahwa pendidikan dan pekerjaan selalu dibingkai dengan ruh dan keimanan. Menuntut ilmu bukan semata-mata untuk memudahkan mencari pekerjaan, melainkan untuk membangun peradaban yang Agung nan mulia. Kesadaran akan hubungannya dengan Allah akan senantiasa muncul ketika rakyat melakukan perbuatan, termasuk ketika bekerja. Sehingga, standar perbuatan yang terbangun adalah halal-haram.
Mekanisme di atas akan sangat mungkin diwujudkan ketika sistem yang menaungi adalah Sistem Islam dalam bingkai Negara Khilafah.
Wallahu a'lam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar