Cerpen
Jiwa Tegar Itu Akhirnya Rapuh
Oleh: Kartika Soetarjo
TanahRibathMedia.Com—Namanya Fatimah. Wajahnya teduh, senyumnya hangat, langkahnya ringan meski pundaknya memikul beban yang tak terlihat oleh mata biasa. Ia adalah gadis kecil yang dikenal lincah, rajin, dan selalu bersemangat. Namun di balik keceriaannya, tersembunyi kisah tentang ketegaran yang perlahan mulai lelah.
Fatimah tumbuh dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai agama, adab, dan kedisiplinan waktu. Tak ada ruang longgar dalam jadwal hariannya. Tak ada waktu bersantai seperti anak-anak seusianya. Hidupnya seperti garis lurus yang tak boleh melenceng, apalagi berbelok.
Setiap hari, sebelum fajar menyingsing, Fatimah sudah terbangun. Di saat sebagian anak masih terlelap, ia sudah mandi air dingin dan berdiri bersisian dengan ayahnya di mushala rumah untuk menunaikan salat subuh berjamaah. Setelah itu, ia duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, belajar mengeja ayat demi ayat Al-Qur’an dengan sabar meski kadang mengantuk menyerang.
Hari belum terang benar, ia sudah bersiap menuju pasar. Bersama ayah membuka empat toko perabotan rumah tangga milik keluarga mereka. Tangan kecilnya cekatan mengatur barang, membantu pembeli, atau sekadar menyapu lantai toko yang berdebu. Baru setelah semua siap, Fatimah berlari menuju sekolahnya.
Pulang sekolah bukan berarti selesai. Ia kembali ke toko, membantu menutupnya, membereskan dagangan, lalu pulang untuk makan siang dan tidur sejenak. Bangun tidur, kembali rutinitas dimulai: mandi, salat asar, menghafal pelajaran sekolah, lalu mengaji lagi. Hingga malam menjelang, Fatimah masih duduk membaca Al-Qur’an di hadapan ayahnya, sementara suara tawa anak-anak dari halaman luar terus memanggil-manggil namanya — tapi hanya bisa ia jawab dengan senyum kecil dari balik jendela.
Ia rindu bermain. Ia ingin berlari bebas seperti anak-anak lain. Tapi ia tahu, satu jam bermain bisa berarti potongan uang jajan atau teguran keras dari sang ayah. Dan yang paling ia takuti: mengecewakan ayah yang sangat ia hormati.
Fatimah tidak membenci ayahnya. Justru sebaliknya. Dalam diam, ia menyimpan kekaguman besar kepada lelaki tegas yang mendidiknya dengan sepenuh hati.
“Kalau dari kecil kamu tidak belajar mengaji, kamu akan menyesal di kemudian hari,” ujar sang ayah suatu malam, dan kalimat itu terpatri kuat dalam benaknya.
Tapi waktu berlalu. Ketaatan yang dibangun dari rasa takut lama-lama mengikis semangatnya. Tegar itu bukan berarti tak bisa patah. Ketulusan Fatimah mulai retak ketika ia menyadari bahwa hidupnya berjalan tanpa ruang untuk bernapas.
Keteguhan seorang anak bukan karena tak pernah ingin mengeluh, tapi karena terlalu sering memendam. Hingga satu saat, jiwa yang dahulu begitu kokoh perlahan mulai rapuh. Bukan karena salah mendidik, tapi karena tak memberi ruang untuk sekadar menjadi anak kecil yang sesekali ingin tertawa tanpa beban.
Fatimah hanyalah satu dari sekian banyak anak yang dibentuk untuk kuat sejak dini. Tapi kadang, yang kita butuhkan bukan hanya ketegasan, tapi juga pelukan — bahwa dalam proses menjadi pribadi yang baik, seorang anak tetap berhak untuk bahagia. Bersambung
Fatimah tumbuh dewasa dengan jejak-jejak masa kecil yang tertata rapi dalam ingatan. Ia tak pernah lupa aroma mushala di subuh hari, suara ayah yang lantang melantunkan ayat-ayat suci, atau denting lonceng toko yang menjadi teman masa kecilnya. Ia pun tak lupa tawa teman-teman yang hanya bisa ia saksikan dari kejauhan, seolah dunia riang itu bukan untuknya.
Kini, Fatimah telah menjadi perempuan yang disegani. Pandai, religius, dan mandiri. Tapi di balik sorot matanya yang tegar, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung — tentang bahagia, tentang hak seorang anak untuk merasa cukup dicintai, bukan sekadar dibentuk.
Ia pernah mencoba membantah takdir itu. Ketika remaja, sesekali ia mencoba mencari pelarian, berkumpul diam-diam dengan teman, mencuri waktu di perpustakaan hanya untuk merasakan tenang, atau menulis diari yang isinya keluhan-keluhan kecil yang tak pernah berani diucapkan. Tapi pada akhirnya, ia tetap pulang ke rumah yang sama, jadwal yang sama, dan suara ayah yang tak pernah berubah: tegas, kokoh, tak tergoyahkan.
Sampai suatu hari, di usia yang cukup matang, Fatimah jatuh sakit. Bukan sakit yang terlihat oleh rontgen atau hasil laboratorium, tapi letih yang merayap dari dalam. Dokter menyebutnya kelelahan mental. Ia sendiri menyebutnya, "jeda dari menjadi kuat."
Barulah saat itu, sang ayah duduk di samping ranjangnya, memegang tangan Fatimah yang lemah. Untuk pertama kalinya, air mata menggenang di mata lelaki yang selama ini seperti batu. Ia berbisik lirih, “Maafkan ayah… Ayah hanya ingin kau jadi perempuan yang mulia, tapi ayah lupa kau juga manusia yang ingin dicintai, bukan sekadar dibentuk.”
Kata-kata itu menetes ke hati Fatimah seperti hujan pertama di tanah yang lama kering. Ia tidak marah. Tidak pernah. Hanya haru dan kelegaan yang menyeruak, karena akhirnya ia tahu… cinta itu ada. Meski dibungkus dalam bentuk yang kaku dan diam.
Sejak hari itu, Fatimah belajar memberi ruang untuk dirinya. Ia mulai tersenyum tanpa merasa bersalah, berjalan tanpa beban, dan mencintai agamanya bukan karena takut, tapi karena ia mengenal keindahan di baliknya. Ia tetap istikamah, tetap salat, tetap mengaji — tapi kali ini dengan hati yang lapang, bukan semata karena kewajiban.
Ia pun mulai berbagi kisahnya kepada para ibu, guru, dan ayah muda yang ia temui dalam kajian. Ia katakan, “Didiklah anak dengan cinta, bukan hanya aturan. Tegaslah, tapi jangan keras. Disiplinkan, tapi jangan patahkan.”
Fatimah telah melewati badai jiwanya sendiri, dan kini ia berdiri sebagai pelita bagi jiwa-jiwa lain. Ia tidak membenci masa lalunya. Justru dari sana, ia belajar bahwa kekuatan sejati bukan berarti tak pernah rapuh — tapi mampu berdamai dengan luka, lalu menjadikannya cahaya. Tamat
Via
Cerpen
Posting Komentar