Opini
Tanah Telantar Diambil Negara, Akankah Dikelola untuk Rakyat?
Oleh: Ririn Ummu Aidan
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar (Detik.com, 16-07-2025).
Di masyarakat yang tinggal di pedesaan maupun diperkotaan, kita bisa melihat banyak tanah yang dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Hal ini dikarenakan pemiliknya sudah tiada anak atau keturunannya hijrah ke kota. Sementara tanah peninggalan orang tua ditinggalkan begitu saja atau bahkan investasi jangka panjang yang sengaja tanah dibiarkan lebih dulu. Tak ubahnya di perkotaan pun kita melihat banyak tanah menganggur yang ada di tengah pusat keramaian dan cukup strategis.
Jika melihat peraturan tersebut di atas maka tanah-tanah yang demikian bisa berpotensi di ambil paksa oleh negara. Bahkan berita yang saat ini marak kita dengar adalah pengelolaannya akan di serahkan kepada Ormas. Pertanyaannya, apakah Ormas dan pemerintah tersebut mampu dan amanah mengelolanya sesuai dengan kepentingan rakyat?
Rakyat seolah tak mudah percaya dengan pejabat saat ini. Karena potensi korupsi di kalangan pejabat Indonesia saat ini kian meningkat. Begitu besarnya korupsi yang terjadi di negeri ini bahkan Indonesia berada di peringkat 99 dari 180 negara di dunia negara terkorup (kompas.com, 11-02-2015). Persepsi negatif juga terbentuk di kalangan masyarakat terhadap organisasi masyarakat (Ormas).
Ormas ini adalah organisasi yang justru melakukan kekerasan, pemalakan yang membuat masyarakat tidak menaruh simpatik. Bahkan masyarakat cenderung menghindar, karena dengan adanya Ormas yang demikian justru membuat masyarakat resah.
Andai terkelola, pengelolaannya pun tampaknya hanya akan menyejahterakan sebagian kalangan oligarki saja yang memiliki banyak modal. Pengelolaannya belum jelas bagaimana skemanya. Sementara masyarakat kita di Indonesia masih banyak yang belum bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. Bahkan di sekitar bisa kita lihat rumah petakan yang jauh dari layak huni. Bahkan masih banyak tunawisma yang berkeliaran bertempat tinggal di bawah jembatan atau di emperan ruko. Kehidupan rakyat kian hari kian sulit.
Kapitalis menjadikan tanah sebagai komoditas, bukan amanah publik. Artinya semua harus menghasilkan keuntungan besar untuk pendapatan negara, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan rakyat di sekitar tanah mati tersebut terkadang tak diberi kesempatan untuk mengelolanya, pun sekadar untuk menyambung hidup dengan mengelola seadanya. Pengelolaan dari ormas pun terkadang bersifat arogan dan digunakan untuk lahan-lahan kemaksiatan seperti protitusi. Hal ini tidak sesuai peruntukannya seperti potensi pertanian diubah untuk bangunan pemukiman.
Bertolakbelakang dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pengaturan tanah yang mengganggur atau tanah mati (ihya al-mawat) diatur sedemikian rupa untuk kemaslahatan umat. Menghidupkan kembali tanah yang mati dengan cara yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pertanian dan peternakan atau bahkan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat Indonesia. Semua diatur dan diawasi dengan bijak oleh Islam untuk kemaslahatan ummat bukan semata untuk kepentingan negara, oligarki, ataupun Ormas tertentu. Karena semua dikelola dengan seadil-adilnya tidak sekedar memperkaya golongan tertentu.
Dalam sistem Islam, kepemilikan itu dibagi menjadi tiga kepemilikan individu, umum dan negara. Dikutip dari Media Dakwah Al-Wa'ie 3 Mei 2020 dalam Telaah Kitab Muqadimmah Ad-Dustur pasal 127-130 menyebutkan ada tiga jenis kepemilikan dalam sistem Islam.
1. Kepemilikan individu adalah hukum syariah yang ditetapkan atas barang atau jasa, yang memungkinkan bagi orang diberi ijin (oleh Asy-Syari’) untuk memperoleh manfaat serta mendapatkan kompensasi dari kepemilikan tersebut. (Pasal 128).
2. Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari’ kepada masyarakat untuk memanfaatkan benda (barang) secara bersama-sama (Pasal 129).
3. Kepemilikan negata. Setiap harta kekayaan yang pengelolaannya bergantung pada pendapat Khalifah dan ijtihadnya dianggap sebagai kepemilikan negara seperti, harta-harta pajak, kharaj dan jizyah (Pasal 130)
Karena hakikat kekayaan alam yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah Swt. semata. Allah Swt. memberi kuasa kepada manusia untuk memiliki dan memanfaatkannya. Ketika semua ini berjalan di haknya masing-masing, tentu saja tak lagi ada cerita tunawisma dan perebutan lahan oleh Ormas atau negara. Semua didasarkan pada kemaslahatan ummat. Sedemikian indahnya Islam dalam memikirkan setiap segi kehidupan. Semua harus berlandas pada kemaslahatan dan keberkahan. Bukan sekadar pada keuntungan golongan saja.
Via
Opini
Posting Komentar