Opini
Perbandingan Pajak, Zakat, dan Wakaf antara Sistem Kapitalisme dan Islam
Oleh: Eka Sulistya
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, baru-baru ini menuai kritik keras terkait pernyataannya tentang pajak dan zakat. Pernyataannya yang menyamakan zakat dengan pajak memicu kontroversi di masyarakat. Beberapa komentar muncul terkait pajak yang disampaikan oleh Sri Mulyani dan reaksi masyarakat. Kontroversi pernyataan zakat dan pajak, Sri Mulyani menyatakan bahwa zakat dan pajak memiliki kesamaan, yang menimbulkan kritik dari berbagai pihak. Ikatan Wanita Profesional Indonesia (IWPI) bahkan mendesak Menkeu untuk meminta maaf dan mencabut pernyataannya.
Kritik atas beban pajak di sisi lain, Sri Mulyani juga pernah disambut dengan teriakan "Turunkan Pajak" pada acara Parade HUT RI ke-80. Momen ini menunjukkan keresahan masyarakat terkait beban pajak yang mereka tanggung. Masyarakat memberikan reaksi beragam terhadap pernyataan dan aksi Sri Mulyani terkait pajak. Beberapa menilai bahwa momen tersebut lucu, namun banyak juga yang menganggapnya sebagai cerminan keresahan masyarakat terkait pajak (CNBC Indonesia, 14-8-2025).
Pemerintah yang menerapkan sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai tulang punggung ekonomi. Pemerintah mengambil pajak dari rakyat dari segala bidang, mulai dari pajak bangunan, tanah, usaha dan lain sebagainya. Tak heran jika pemerintah menggenjot rakyat untuk pemasukan negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan dari pajak menjadi sumber utama dalam struktur penerimaan negara, mencapai 82,4% dari total pendapatan. Pajak terdiri dari berbagai jenis seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta cukai (data.goodstats.id, 12-09-2024).
Namun di sisi lain pemerintah menyerahkan sumber daya alam (SDA) yang melimpah pada pihak swasta atau asing. Kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah ruah namun rakyat tak dapat merasakannya. Rakyat hanya merasakan ampasnya sedangkan SDA yang utama diangkut ke negeri asing. Salah contoh SDA dari negara kita adalah nikel. Hampir 70% tambang nikel di Indonesia dikontrol oleh asing. Data Kementerian ESDM menyebutkan, peta industri nikel nasional bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun belakangan. Pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai INCO (Brasil/25%), ANTM (19%) dan perusahaan lainnya (3%) (Ipotnews, 15-3-2021).
Miris, negara kaya raya namun SDA tak dirasakan oleh rakyat Indonesia. Rakyat dicekik dengan pajak sehingga makin banyak yang jatuh ke jurang kemiskinan. Sedangkan para kapitalis makin kaya raya dan mendominasi ekonomi negara karena mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Bahkan, UU yang ada dibuat untuk memanjakan para kapitalis. Sedangkan rakyat makin persulit.
Pajak dalam sistem kapitalisme tidak pandang bulu, orang kaya dan miskin semua dipukul rata. Rakyat harus berjibaku mencari sesuap nasi, namun di satu sisi harus membayar pajak. Mirisnya lagi pajak rakyat banyak yang dikorupsi oleh pejabat. Jelas uang hasil pajak tidak menyejahterakan rakyat miskin, tetapi digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis. Kebijakan pajak juga menganakemaskan kapitalis, seperti tax amnesty dan lain sebagainya.
Jelas sistem Kapitalisme tidak mampu menyejahterakan rakyat dari pajak. Dalam pandangan kapitalisme pajak adalah sumber pemasukan negara. Rakyat justru dicekik dengan pajak, akibatnya angka kemiskinan semakin tinggi. Butuh sistem alternatif agar rakyat sejahtera tanpa dibebani pajak tinggi. Sistem itu adalah sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt..
Sistem Islam Menyejahterakan Rakyat Tanpa Pajak
Pajak berbeda dengan zakat dan wakaf. Zakat adalah kewajiban atas harta bagi muslim yang kaya dan kekayaannya melebihi nisab serta mencapai haul. Wakaf hukumnya sunah, bukan sebuah kewajiban. Sedangkan pajak dalam Islam hanya dipungut dari lelaki muslim yang kaya, untuk keperluan urgen yang sudah ditentukan syariat sebagaimana tercantum dalam kitab Al-Amwal, sifatnya temporer hanya ketika kas negara kosong.
Zakat merupakan salah satu dari sumber pemasukan APBN Khilafah (baitul maal). Namun pengeluaran Zakat (objek penerimanya) sudah ditentukan oleh syariat, yaitu hanya delapan asnaf. Delapan asnaf ini disebut kan dalam Al Qur'an at Taubah ayat 60:
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana."
Baitul maal memiliki banyak pemasukan, tidak bersandar pada zakat, salah satu pemasukan terbesar adalah dari pengelolaan SDA milik umum oleh negara yang tidak diserahkan pada swasta. Dengan memiliki beberapa pemasukan Baitul maal dapat efektif dalam membantu masyarakat dan mendukung kegiatan lainnya.
Pengelolaan sumber daya alam yang efektif dapat membantu meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi beban pajak pada rakyat. Kebijakan yang berkelanjutan dapat membantu memastikan bahwa sumber daya alam dikelola dengan efektif dan berkelanjutan untuk generasi mendatang. Dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada prinsip-prinsip yang bertujuan untuk mencapai keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam sistem Islam, zakat dan wakaf memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Sementara itu, pajak dalam sistem kapitalisme lebih fokus pada membiayai kebutuhan negara.
Penerapan sistem ekonomi Islam kafah dalam sistem Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan pada tiap-tiap rakyat. Dengan demikian Sistem ekonomi Islam kaffah menawarkan solusi yang adil dan berkesinambungan bagi masyarakat serta menjadi alternatif bagi sistem ekonomi sekuler yang tidak adil.
Via
Opini
Posting Komentar