Opini
Raya dan Negara yang Terlambat Peduli
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
TanahRibathMedia.Com—Kadang dunia ini terlalu sibuk update tren viral sampai lupa ada realita yang jauh lebih pilu dari drama TV, yaitu kisah nyata tentang seorang balita bernama Raya (4) yang meninggal dunia karena tubuhnya dipenuhi infeksi cacing dan TBC. Bukan fiksi, bukan karangan, tapi fakta memilukan dari Kampung Pasir Ceuri, Sukabumi.
Yang lebih nyesek, ketika dibawa ke rumah sakit, tim relawan sempat kesulitan karena, tebak? Raya nggak punya BPJS. Lalu, seolah-olah semua baru kaget. Semua baru ramai. Semua baru cari siapa yang salah. Tapi sayangnya seperti biasa, semua sudah terlambat.
Raya bukan satu-satunya. Di negeri ini, kita terlalu sering membaca berita “Miris” semacam ini. Anak kurang gizi. Warga tidak mampu berobat. Pasien ditolak rumah sakit. Orang miskin jadi berita, bukan karena prestasi, tapi karena tragisnya kondisi.
Kita hidup di negara yang katanya demokratis dan menjunjung tinggi keadilan sosial, tapi ironisnya, kesehatan masih bersyarat. Kalau kamu miskin, kalau kamu nggak punya dokumen, ya jangan sakit atau sabar, tunggu sistemnya sempat ngurus kamu. Itu pun kalau nggak kejebak birokrasi.
Dan yang mengurus balita ini bukan aparat. Bukan petugas kesehatan. Tapi relawan komunitas peduli yang bergerak karena empati, bukan karena gaji.
Lalu di mana pemerintah? Ke mana aparat desa yang seharusnya tahu kondisi warganya? Kenapa sanksi baru keluar setelah anaknya meninggal?
Kita terlalu sering menormalisasi keterlambatan negara. Seolah-olah, urusan rakyat miskin itu opsional. Padahal mereka juga manusia. Punya hak untuk sehat, untuk hidup, untuk dilindungi. Tapi, ya begitulah, sistem hari ini, siapa kaya, dia selamat. Siapa miskin, dia meninggal.
Kisah Raya adalah bukti nyata buruknya sistem pelayanan kesehatan dalam kapitalisme. Kesehatan itu bukan lagi hak, tapi barang dagangan. Kalau ada uang, jalan. Kalau nggak ada? Ya, tunggu dulu. Atau mati dulu baru viral.
Tapi Islam nggak kayak gitu. Dalam sistem Islam (dalam naungan khilafah) kesehatan itu bukan jasa, tapi amanah. Negara wajib menyediakan. Dari pusat sampai desa. Dari khalifah sampai pelaksana teknis lapangan. Semuanya bergerak bukan sekadar formalitas, tapi ibadah. Bukan karena pencitraan, tapi karena keimanan.
Khilafah itu bukan cuma urus politik luar negeri, tapi juga ngurus air bersih di rumah rakyat, memastikan nggak ada sanitasi buruk yang bisa menumbuhkan cacing di perut anak kecil. Dokter tidak nanya “Punya BPJS atau tidak?”, tapi langsung bertindak. Semua gratis, semua ditanggung baitulmal. Tanpa administrasi berlapis.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahkan menegaskan,
"Negara Islam bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan mendasar rakyatnya, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatan. Dan ini bukan urusan individu, tapi tanggung jawab negara yang akan dimintai hisab oleh Allah."
Jadi, kalau dalam khilafah ada anak meninggal karena infeksi dan kelalaian, itu jadi aib besar. Pejabat lokal bisa langsung dipanggil oleh khalifah dan dimintai pertanggungjawaban.
Kalau orang tuanya sakit, negara tanggung. Kalau rumahnya tidak layak, negara renovasi. Kalau makanannya tidak bergizi, negara intervensi. Bahkan sistem deteksi dini akan menyisir kampung-kampung agar tidak ada penyakit berkembang diam-diam. Semua ini terjadi karena Islam mewajibkan negara untuk ri’ayah (mengurus) umat, bukan sekadar memerintah dari podium.
Sungguh, kisah Raya ini bukan soal kemiskinan semata, tapi soal sistem yang gagal lindungi rakyat paling rentan. Kita boleh saja terus bilang “Turut berduka cita”, tapi duka tak akan hilang kalau akar masalah tetap dibiarkan.
Rakyat butuh sistem, bukan sekadar simpati. Butuh perlindungan nyata, bukan ucapan basa-basi. Karena sejatinya, balita seperti Raya tidak perlu mati kalau negara ini benar-benar hadir untuk rakyat, dari hulu sampai hilir.
Semoga kisah ini jadi peringatan keras bahwa di balik senyum pemimpin dan pidato “Pembangunan”, ada balita yang tak sempat tumbuh karena negara terlalu sibuk urus hal lain.
Via
Opini
Posting Komentar