Opini
Dakwah Mengubah Arah, Bukan Mengikuti Arus
Oleh: Maman El Hakiem
(Pegiat Literasi)
Coba kita bayangkan sejenak...
TanahRibathMedia.Com—Seorang dokter datang ke sebuah desa. Di sana, ia melihat masyarakat hidup dalam kondisi sakit: ada yang demam tinggi, ada yang terkena infeksi, bahkan ada yang kritis. Tapi ketika dokter menawarkan obat, mereka berkata: “Kami belum siap menerima pengobatan. Biarkan dulu, sampai keadaan kami lebih baik.”
Tentunya, kita akan berkata: “Itu keliru!”
Pasalnya, justru obat dibutuhkan saat sakit, bukan ketika sehat. Maka seperti itulah posisi syariat Islam di tengah kerusakan masyarakat hari ini. Ketika kita melihat moral yang runtuh, hukum yang tumpul, keluarga yang rapuh, dan keadilan yang langka — Itu semua adalah gejala dari masyarakat yang sedang sakit. Oleh sebab itu, syariat Allah adalah obatnya.
Sayangnya, sebagian orang terbalik memahaminya. Mereka berpikir: “Masyarakat belum siap menerima syariat. Nanti saja kalau sudah lebih baik.” Padahal, justru syariat itulah obat yang membuat masyarakat menjadi lebih baik.
Syariat Tanpa Syarat
Dalam Islam, syariat bukan hasil kesepakatan manusia. Ia adalah petunjuk dari Allah Dzat yang menciptakan manusia, tahu kelemahannya, tahu apa yang terbaik untuk kehidupannya.
Allah Swt. berfirman:
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama ini), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (TQS. Al-Jatsiyah: 18)
Ayat ini mengajarkan satu hal penting: jangan menjadikan kondisi masyarakat sebagai dalil hukum, apalagi kompas kebenaran. Karena hawa nafsu dan kebiasaan manusia tak selalu benar. Yang harus jadi panduan adalah syariat — wahyu dari Dzat yang Maha Tahu.
Lihatlah bagaimana Rasulullah saw. diutus ke tengah masyarakat Quraisy yang rusak: menyembah berhala, menindas yang lemah, berjudi, mabuk, dan zalim. Bagi beliau, masyarakat yang rusak hanya sebagai fakta atau obyek hukum. Dalam hal ini, dengan syariat Islam-lah, beliau memperbaiki masyarakat itu secara menyeluruh dari akidah, akhlak, hingga tatanan negara.
Kalau saja Rasulullah saw. berpikir seperti banyak orang sekarang, “Tunggu masyarakat siap dulu.” maka Islam tak akan pernah tegak.
Sejatinya, dakwah itu mengubah arah, bukan mengikuti arus. Tugas kita bukan mengejar penerimaan masyarakat dengan mencairkan ajaran Islam. Tapi mendidik masyarakat agar memahami, mencintai, dan mau tunduk kepada aturan Allah. Di sinilah peran dakwah: mengubah kesadaran, bukan mengikuti arus.
Apakah mudah? Tidak. Namun, bukankah semua perubahan besar memang dimulai dari keberanian membawa arah baru?
Allah Swt. berfirman lagi:
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Ma’idah: 50)
Oleh karena itu, jangan biarkan kerusakan menjadi alasan untuk diam. Jika masyarakat sedang rusak, maka semakin mendesak bagi kita untuk menghidupkan syariat. Bukan menundanya, apalagi melembutkannya hingga kehilangan bentuk. Sebabnya, syariat adalah cahaya, dan gelapnya masyarakat adalah alasan paling kuat untuk menyalakan cahaya itu. Dengan demikian, bukan Islam yang harus menyesuaikan zaman, tetapi zaman yang harus diarahkan dengan Islam.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar