Motivasi
Pakaian Hitam: Tafakur Sebuah Pilihan
Oleh: Hafsh
(Sahabat Tanah Ribath Media)
“Item-item, kayak mau ke makam.”
“Wah, kayak lagi berduka ya?”
“Hitam terus, sesekali berwarna.”
TanahRibathMedia.Com—Komentar seperti ini terdengar ringan, bahkan sering dianggap guyonan. Namun, bagi sebagian dari kami yang memilih pakaian gelap terutama hitam ucapan seperti ini meninggalkan tanda tanya: Sejak kapan warna menjadi hal yang pantas dipermasalahkan?
Hitam kerap diidentikkan dengan kesedihan. Padahal, bagi banyak muslimah, pilihan ini lahir bukan dari suasana hati muram, melainkan dari keyakinan yang melekat pada kesederhanaannya. Sayangnya, pilihan ini kerap dianggap aneh, bahkan mungkin "menyimpang" dari norma berpakaian yang dianggap wajar.
Kami tidak sedang mengikuti tren atau ingin tampil berbeda. Kami hanya mengenakan apa yang membuat nyaman. Namun, seolah ada tuntutan bahwa pakaian harus selalu cerah, menarik, dan menyenangkan mata.
Dalam salah satu tausiyahnya, Ustadzah Halimah Alaydrus menyampaikan:
“Warna itu semakin lebih tua semakin menutupi, semakin mudah untuk menutupi. Antara siang dan malam, malam yang lebih gelap—kalau digambar—warnanya hitam. Semakin lebih gelap semakin menutupi. Karena dimintanya adalah untuk menutup aurat maka pakaian perempuan itu semakin gelap semakin bagus, karena semakin menutupi bentuk tubuh dan warna kulit.”
Bagi sebagian muslimah, pakaian hitam tidak sekadar menutup aurat secara fisik, tetapi juga membantu menjaga diri dari pandangan yang tidak perlu.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel di dakwah.id,
"Kebanyakan wanita muslimah memilih untuk mengenakan busana berwarna hitam bukan karena itu sebuah kewajiban, tetapi karena warna tersebut lebih menyelamatkan mereka dari unsur pakaian perhiasan".
"Ditambah lagi terdapat sebuah riwayat juga yang mengisyaratkan bahwa para istri sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan busana muslimah warna hitam."
Imam Abu Daud meriwayatkan (hadits no. 4101)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Ketika turun ayat yudnīna ‘alaihinna min jalābībihinna, para wanita Anshar keluar seolah-olah di kepala mereka ada burung gagak (berwarna hitam) karena kain (warna hitam) yang mereka kenakan.”
Riwayat ini dihukumi Shahih oleh al-albani dalam kitab Shahih Abi Daud.
Dewan Lajnah Daimah (17/110) menyebutkan riwayat tersebut mengisyaratkan bahwa para istri sahabat mengenakan busana muslimah warna hitam.
Mengomentari warna pakaian seseorang bukanlah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Selama pakaian tersebut memenuhi syarat syar’i, warna adalah ranah pilihan pribadi. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Maka, ketika seseorang memilih hitam demi menjaga diri, niat itu layak dihargai, bukan dijadikan bahan canda yang melemahkan.
Pilihan ini bukan berarti menolak warna lain. Islam tidak melarang pakaian berwarna, tetapi ketika satu warna memberi manfaat dalam hal kesederhanaan, ketenangan, dan penjagaan diri mengapa dianggap aneh?
Hari ini, memilih pakaian hitam saja bisa menjadi cibiran. Lalu bagaimana dengan syariat lainnya yang jauh lebih asing bagi sebagian orang, seperti menjaga pandangan, membatasi pergaulan lawan jenis, atau menolak berjabat tangan dengan non-mahram?
Aku tidak mengaku paling benar. Aku hanya berusaha, meski masih belajar, meski hati kadang bergetar, meski langkah belum selalu lurus.
Tulisan ini bukan ajakan menyeragamkan warna, tapi untuk membuka ruang tafakur. Sebab di balik pilihan sederhana, kadang tersimpan nilai yang sedang diperjuangkan.
Sebelum mengomentari penampilan orang lain, tanyakanlah pada diri.
“Apakah ucapan ini bermanfaat atau justru menambah beban hatinya?“
Menutup aurat adalah kewajiban.
Memilih warna adalah kebebasan.
Menghakimi pilihan orang lain bukanlah ranahmu.
Berjalanlah dengan tenang, selagi pakaianmu menutupi apa yang harus ditutupi -dengan hitam atau warna gelap, lebar, dan longgar- serta diniatkan karena Allah untuk menaati perintah-Nya.
Wallahu 'alam bis-shawab.
Via
Motivasi
Posting Komentar