Opini
Awas, Kesenggol ODOL!
Oleh : Ummu Ghaza
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tak main-main! Bagi yang kesenggol ODOL ancaman sanksi tegas menunggu di depan mata, mulai dari ancaman sanksi pidana penjara 2 (dua) bulan hingga 1 tahun serta denda administratif sebesar Rp500.000 hingga Rp24.000.000. Sanksi yang cukup membuat nyali ciut bagi yang mengetahuinya. Bagaimana tidak, sanksi ini terancam mengenai para sopir yang sehari-harinya mengais rupiah di jalanan, berjiba
ku penuh peluh demi kehidupannya dan keluarganya. Tentu para sopir ini bukanlah dari kalangan berduit apalagi elite, maka wajar jika mereka ramai-ramai menolak hal ini.
Penolakan ini mereka luapkan dalam aksi mogok kerja dan demo yang dilakukan di beberapa wilayah kota besar di Indonesia, di antaranya Semarang, Surabaya, Yogya, Bandung, Kendal, Subang, Kudus, Boyolali, Klaten, Solo, Pati, Klaten, dan lain-lain. Tuntutan utama mereka adalah menolak kebijakan ODOL (Over Dimension Over Loading) yaitu kebijakan nasional yang konon ditetapkan dalam rangka menghilangkan praktik Over Dimension atau modifikasi dimensi truk yang tidak sesuai standar misalnya dengan menambah panjang bak, sumbu roda, atau meninggikan ruang muatan, serta menghilangkan praktik Over Loading atau kelebihan muatan truk, singkatnya kebijakan ini kemudian disebut Zero ODOL.
Menyikapi aksi ini, Dirlantas Polda Jateng Kombes M Pratama Adhyasastra mengatakan bahwa Polda Jateng akan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan dan pemangku kebijakan terkait untuk menyelesaikan permasalahan ODOL ini. Dia mengatakan, "Kami memahami aspirasi para sopir truk dan akan terus berkomunikasi dengan mereka untuk mencari solusi yang terbaik. Sebagaimana kesepakatan tadi, aspirasi kita ditampung untuk disampaikan ke pemerintah pusat." ( www.detik.com, 23 Juni 2025).
Kebijakan Zero ODOL ini sendiri merupakan implikasi dari beberapa peraturan yang sudah diperbarui hingga tahun 2025, antara lain UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) dengan rincian pasal 277 terkait pelanggaran over dimension dan pasal 307 terkait pelanggaran over loading; PP Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan yang mengatur klasifikasi kendaraan beserta spesifikasi dimensi maksimal; serta Permenhub Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pengawasan Muatan Angkutan Barang di Jalan, dan dalam rangka menerapkan Zero ODOL ini, pemerintah telah mengumumkan tiga tahapan dalam penindakannya, yaitu : (1) Tahap Sosialisasi, yang dilakukan pada tanggal 1 hingga 30 Juni 2025; (2) Tahap Peringatan, yang akan dilakukan pada tanggal 1 hingga 13 Juli 2025; dan terakhir (3) Tahap Penegakan Hukum, yang akan dilakukan pada tanggal 14 hingga 27 Juli 2025, bersamaan dengan Operasi Patuh 2025. Dalam tahapan penegakan hukum ini, seluruh kendaraan yang terbukti melanggar, yang hal ini dapat diketahui melalui penggunaan teknologi Weight In Motion (WIM) dan jembatan timbang portabel, akan ditindak melalui tilang elektronik (ETLE) maupun konvensional (www.detik.com, 20 Juni 2025)
Memang menurut pengamatan para ahli, kebijakan Zero ODOL ini mendesak untuk segera diterapkan karena dengan diberlakukannya kebijakan ini harapannya dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan, memperpanjang umur kelayakan infrastruktur jalan, dan mendorong terjadinya persaingan usaha pengangkutan barang yang sehat dan adil.
Namun di sisi lain, jika dilihat dari sudut pandang para sopir, maka kebijakan ini dipandang akan menimbulkan kerugian karena menambah biaya pengeluaran untuk mengganti atau memodifikasi ulang truk ke bentuk yang sesuai standar, juga berpotensi menyebabkan turunnya pendapatan karena truk tidak bisa lagi membawa muatan secara over, yang lebih parah lagi adalah bejibunnya pungutan liar (pungli) di sepanjang jalur pengangkutan yang semakin membebani pengeluaran para sopir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para sopir adalah sasaran empuk tindak premanisme jalanan baik oleh preman asli atau oleh oknum petugas yang memaksakan pungli ini atas nama ODOL. Dengan alasan ini pulalah, para sopir juga menuntut agar diberikan perlindungan hukum, memberantas premanisme dan pungutan liar, serta merevisi regulasi terkait biaya angkutan logistik serta UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009.
Sebenarnya saat ini sudah banyak kebijakan yang mengatur tentang lalu lintas dan aturan muatan barang, seperti yang sudah disebutkan pada uraian sebelumnya, namun segala kebijakan ini tentu tidak bisa secara otomatis terterapkan secara sempurna, ini terbukti dari banyaknya pelanggaran yang masih terjadi, menurut data Korlantas Polri terdapat 32.000 truk terdata sebagai ODOL per 12 Juni 2025, dengan rincian sekitar 7.000 truk kedapatan over dimension dan 16.000-17.000 truk overload. Selain itu, telah terjadi 349 kecelakaan yang melibatkan truk ODOL dari tahun 2017-2021, dan kasus kecelakaan meningkat menjadi 200 kasus pada tahun 2023 (www.metrotvnews.com, 20 Juni 2025).
Dari fakta tersebut terlihat bahwa aturan semata tidak serta merta membuat para sopir taat, namun butuh berbagai instrumen yang mendukung terlaksananya aturan ini. Salah satu yang urgen adalah adanya pengawasan secara periodik terhadap berjalannya aturan ini dan kepastian adanya pelaksanaan aturan yang tidak tebang pilih, sehingga apa yang menjadi tujuan dari diterapkannya aturan ini dapat tercapai. Hal ini pula yang populer di masa pemerintahan Islam di mana ada petugas yang diamanahi untuk mengawasi terlaksananya jaminan kepentingan umum, termasuk jalan dan lain sebagainya, petugas ini bernama Qadhi Hisbah. Bukti kinerja dari Qadhi Hisbah ini dapat disaksikan dalam sejarah panjang keberhasilan Kekhilafahan Islam ‘ala minhajin Nubuwah.
Allahu’alam bi showab.
Via
Opini
Posting Komentar