Opini
Kuliah Mahal, Mimpi Anak Bangsa yang Kian Tak Tergapai
Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Tahun ajaran baru seharusnya menjadi momen yang dinanti para lulusan SMA. Namun, suasana gegap gempita itu berubah jadi keluh kesah. Di berbagai daerah, calon mahasiswa dan orang tua resah menghadapi biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melonjak drastis. Salah satu yang viral: calon mahasiswa jurusan PG PAUD di Universitas Negeri Jakarta dikenai UKT sebesar Rp6,4 juta (bbc.com, 17-06-2025). Padahal ini jurusan pendidikan yang seharusnya inklusif dan murah, bukan eksklusif dan menyusahkan.
BBC Indonesia mencatat, UKT di beberapa perguruan tinggi negeri bahkan melonjak hingga 600 persen. Program internasional di UGM, misalnya, naik dari Rp9 juta menjadi Rp52,5 juta. Jurusan reguler seperti Akuntansi pun tak luput, dari Rp6,4 juta menjadi Rp14,7 juta. Ini bukan hanya soal nominal. Ini tentang harapan rakyat kecil yang direnggut oleh sistem.
Lebih menyakitkan lagi, alih-alih mengatasi keresahan publik, pemerintah dan pihak kampus justru saling lempar tanggung jawab. Pemerintah berdalih UKT naik karena mengikuti standar 2023, bukan 2019. Sementara kampus berdalih subsidi dari negara sangat kecil, sehingga mereka ‘terpaksa’ menaikkan UKT demi menjaga operasional dan kualitas. Nyatanya, ini bukan soal teknis anggaran, tapi cacat mendasar dalam cara negara memandang pendidikan: bukan sebagai hak, melainkan sebagai jasa komersial.
Pendidikan Dijadikan Barang Dagangan
Jika ditelusuri lebih dalam, problem UKT mahal adalah potret dari watak dasar sistem pendidikan dalam sistem kapitalisme. Pendidikan tak lagi dilihat sebagai hak dasar rakyat yang harus dijamin negara, tetapi sebagai komoditas pasar yang tunduk pada logika untung rugi.
Skema pembiayaan pendidikan tinggi seperti UKT adalah jalan tengah yang memaksa rakyat menanggung sendiri biaya kuliah. Negara hanya memberi subsidi minim—sekitar 1,11% dari total APBN—dan sisanya dibebankan pada mahasiswa (tempo.co, 26-05-2024). Inilah mengapa mahasiswa bisa dikenai UKT hingga belasan juta rupiah per semester.
Kampus yang berubah status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) pun dituntut untuk mencari pemasukan sendiri. Maka mulailah kampus "berbisnis" lewat peningkatan UKT, program paralel, kerja sama industri, hingga komersialisasi riset. Mahasiswa tidak lebih dari “konsumen”, dan pendidikan tinggi tak lagi fokus mencetak generasi cerdas berkepribadian, tapi profesional siap pakai demi roda ekonomi pasar.
Akibatnya? Akses pendidikan tinggi makin elitis. Mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah harus pontang-panting cari pinjaman, beasiswa, atau bahkan mengubur mimpinya kuliah. Ini bukan hanya menciptakan ketimpangan sosial, tapi juga memperparah kemiskinan struktural yang diwariskan lintas generasi.
Pendidikan dalam Islam: Hak, Bukan Bisnis
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan mendasar yang menjadi tanggung jawab penuh negara. Pendidikan adalah hak rakyat yang tidak boleh dikomersialisasi. Rasulullah ï·º bersabda:
“Siapa saja yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
Dalam sistem Islam, negara wajib menjamin pendidikan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyat, dari tingkat dasar hingga tinggi, tanpa diskriminasi status ekonomi. Negara dalam Khilafah Islam tidak menjadikan kampus sebagai ladang bisnis, melainkan sebagai pusat pencetak generasi berilmu dan bertakwa.
Dana pendidikan dalam sistem Islam diambil dari Baitul Mal—pos kepemilikan umum seperti pengelolaan kekayaan alam, jizyah, kharaj, hingga fa’i. Dalam sejarahnya, masa Kekhilafahan Islam mampu mendirikan universitas-universitas besar seperti Al-Azhar, Nizamiyah, dan Cordoba yang tidak menarik bayaran dari para pelajarnya. Bahkan, mahasiswa diberi fasilitas asrama, makanan, hingga buku.
Negara Islam tak mengenal konsep ‘swasta’ atau ‘PTNBH’ dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan tinggi. Semua dikelola negara dan diberikan cuma-cuma karena Islam memahami, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasi, bukan oleh besarnya pemasukan kampus.
Arahkan Perjuangan pada Perubahan Sistem
Gerakan mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan UKT adalah bentuk kepedulian yang patut diapresiasi. Namun, kita tidak bisa hanya menuntut penurunan biaya tanpa menyentuh akar persoalan. Selama sistem kapitalisme tetap dipertahankan, UKT akan selalu naik, dan pendidikan akan selalu jadi barang mahal.
Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa solusi sejati bukan sekadar revisi Permendikbud, atau peningkatan subsidi sesaat, tapi perubahan menyeluruh terhadap sistem yang rusak ini. Hanya dengan kembali pada sistem Islam kaffah, pendidikan akan kembali menjadi hak, bukan komoditas.
Penutup
Kenaikan UKT hari ini adalah peringatan keras bagi kita semua: bahwa negara telah gagal melindungi masa depan generasi muda. Mimpi anak-anak rakyat untuk kuliah dan meraih kehidupan yang lebih baik, kian sirna di tengah mahalnya biaya dan ketidakpedulian pemangku kebijakan.
Mari sadari, selama sistem kapitalisme bercokol, pendidikan akan selalu menjadi mimpi mahal. Kini, waktunya kita berjuang mewujudkan sistem yang memuliakan ilmu, mendekatkan rakyat pada pendidikan, dan memastikan tidak ada satu pun anak bangsa yang harus menyerah hanya karena tak mampu bayar kuliah.
Via
Opini
Posting Komentar