Opini
Benarkah Kemalasan Penyebab Kemiskinan?(Sebuah Perspektif Kritis)
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
TanahRibathMedia.Com—Menuding kemalasan sebagai penyebab kemiskinan adalah penyederhanaan yang berbahaya. Realita di Kabupaten Gunungkidul dengan 16.548 rumah tidak layak huni dan hampir 4.000 bayi mengalami stunting menunjukkan akar masalah kemiskinan jauh lebih kompleks dan sistemik.
Data tersebut disampaikan oleh Bupati Gunungkidul saat peluncuran program Kampung Berkah di Kelurahan Karangsari, yang digagas oleh Baznas Gunungkidul pada 17 Juni 2025. Bupati Endah menekankan bahwa kemiskinan berakar pada kemalasan, dan perubahan harus dimulai dari dalam diri. Oleh karena itu, ia menggandeng Baznas untuk menciptakan Kampung Berkah, sebuah program yang bertujuan membangkitkan semangat gotong royong dan kemandirian masyarakat (radarjogja.jawapos.com, 18-6-2025).
Pernyataan Bupati Gunungkidul yang mengaitkan kemiskinan semata-mata dengan kemalasan, meskipun bermaksud memotivasi, merupakan penyederhanaan yang berbahaya dan menyesatkan. Alih-alih menawarkan solusi, pernyataan ini justru menstigmatisasi masyarakat miskin dan mengabaikan akar permasalahan yang sebenarnya.
Pernyataan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa banyak warga Indonesia, terutama di pedesaan seperti Gunungkidul, bekerja keras berjam-jam namun tetap terhambat oleh akses terbatas pada pendidikan berkualitas, layanan kesehatan tidak memadai, dan infrastruktur yang buruk. Keterbatasan ini menghambat peningkatan taraf hidup mereka. Terutama bagi mereka yang bergantung pada pertanian dan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas, situasi ini semakin memperparah keadaan dan menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputuskan oleh individu sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah hasil kemalasan individu, melainkan akibat interaksi kompleks berbagai faktor struktural. Di antaranya adalah kebijakan ekonomi yang cenderung tidak berpihak kepada kelompok rentan, terbatasnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang merupakan pilar penting dalam meningkatkan kualitas hidup, minimnya lapangan kerja yang layak serta upah yang kecil dan kondisi infrastruktur yang sering kali tidak memadai terutama di wilayah terpencil. Faktor-faktor tersebut secara kolektif menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus sendiri tanpa adanya dukungan sistemik.
Lebih jauh lagi, pernyataan Bupati mengabaikan peran sistemik kapitalisme global. Bahkan dalam sebuah buku Capital in the Twenty-First Century, seorang ekonom yang bernama Thomas Piketty mengungkapkan, bahwa kapitalisme adalah penyebab akses terhadap modal dan sumber daya tidak tersebar merata, sehingga hanya terkonsentrasi di tangan segelintir elit kaya. Ketimpangan ini menyebabkan sebagian besar masyarakat, khususnya kelompok rentan, terus-menerus tertinggal dan kesulitan meningkatkan taraf hidupnya.
dengan kata lain sistem ini secara struktural telah memelihara kondisi-kondisi yang memungkinkan kemiskinan terus eksis dan bahkan meningkat.
Dengan demikian, menyalahkan individu tanpa mempertimbangkan konteks sistemik ini, bukan hanya tidak adil, tetapi juga kontraproduktif. Oleh karena itu, dalam mengatasi kemiskinan tidak cukup sekadar motivasi individual. Namun membutuhkan solusi efektif dan transformasi struktural meliputi reformasi sistem ekonomi, peningkatan akses merata terhadap pendidikan berkualitas, akses layanan kesehatan yang terjangkau dan layak, penciptaan lapangan kerja bermutu, serta pembangunan infrastruktur yang memadai untuk menunjang aktivitas ekonomi dan sosial.
Dalam perspektif Islam, kemiskinan adalah tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu, implementasi sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada prinsip keadilan menawarkan sejumlah mekanisme krusial. Salah satu di antaranya melalui pengaturan Kepemilikan yang adil. Contohnya sumber daya alam (SDA) sebagai milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat. Pendekatan ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang sering menimbulkan eksploitasi dan akumulasi kekayaan di tangan segelintir individu. Hasil dari kepemilikan umum digunakan oleh negara untuk membangun infrastruktur serta menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, termasuk pangan, sandang, papan, pendidikan, dan layanan kesehatan berkualitas.
Islam juga menegaskan bahwa setiap individu yang memiliki kemampuan dan kesempatan wajib mencari nafkah secara halal serta sesuai syariat. Prinsip ini merupakan landasan fundamental dalam kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam, karena mencari nafkah bukan sekadar memenuhi kebutuhan pribadi, melainkan juga tanggung jawab mendalam terhadap keluarga dan masyarakat luas. Dalam perspektif Islam, pekerjaan yang halal tidak hanya menjamin keberkahan bagi pelakunya, tetapi juga memastikan keadilan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Selain itu, salah satu pilar utama dalam sistem ekonomi Islam adalah mekanisme redistribusi kekayaan melalui zakat, infak, dan sedekah. Ketiga instrumen ini bukan sekadar tindakan amal sukarela, melainkan kewajiban yang diatur secara jelas dalam fikih dan hukum Islam. Zakat, misalnya, merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah mencapai nisab dan haul tertentu, bertujuan mensucikan harta sekaligus meringankan beban mereka yang kurang mampu. Melalui mekanisme ini, terjadi aliran dana secara sistematis dari kalangan kaya atau mampu kepada kelompok kurang beruntung, seperti fakir, miskin, anak yatim, dan kelompok rentan lainnya. Proses ini tidak hanya secara efektif mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekonomi serta mencegah penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial.
Lebih dari itu, sistem ekonomi Islam berorientasi pada ekonomi riil, yang berarti setiap aktivitas ekonomi harus berlandaskan pada produksi dan distribusi barang atau jasa konkrit, bukan spekulasi atau praktik merugikan pihak lain. Oleh sebab itu, negara dalam sistem Islam memegang peranan strategis dalam menciptakan dan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai bagi masyarakatnya. Dalam konteks ini, negara tidak hanya menjadi regulator, melainkan juga pelaku aktif dalam menciptakan iklim ekonomi kondusif agar seluruh warga negara memiliki akses terhadap pekerjaan halal yang mampu menjamin kelangsungan hidup secara baik dan bermartabat.
Oleh karena itu, mengatasi kemiskinan tidak sesederhana menyalahkan individu; dibutuhkan pemahaman kritis dan mendalam, yang dalam menyelesaikannya pun dibutuhkan pendekatan struktural yang komprehensif dan kolaboratif antara masyarakat dan negara. Islam yang bukan sebatas agama ritual melainkan juga ideologi, memiliki seluruh jawaban untuk menciptakan kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Wallahu’alam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar