opini
Profil Pemuda Muslim Rusak Akibat Hegemoni Ruang Digital Kapitalis Global
Oleh: Arifah Azkia N.H., S.E
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemuda merupakan sosok generasi penerus bagi generasi sebelumnya. Semangatnya yang membara, fisiknya yang kuat dan kepribadiannya yang tangguh. Ini membuat pemuda senantiasa digadang-gadang untuk menjadi penopang peradaban. Sebagaimana kutipan syair dalam bahasa arab, “Syubanu al-yaum rijalu al-ghaddi” (pemuda hari ini adalah tokoh pada masa yang akan datang). Tak cukup sampai di sini, bahkan sering kali kita mendengar kata-kata bijak seputar kehebatan dan kekuatan pemuda di antaranya: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 sosok pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” (Ir. Soekarno)
Namun kini era digitalisasi membuat profil pemuda muslim terjebak dalam arus sekularisme. Apalagi generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan lingkup teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan dalam berekspresi tanpa panduan batas. Pengaruh budaya barat acap kali menjadi tolak ukur perilaku para pemuda hari ini. Persaingan standar kecantikan yang nyaris sempurna, gaya hidup mewah yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik sukses menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z.
Banyak dari mereka merasa harus mengikuti tren tertentu agar diterima oleh lingkungan sosialnya, bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan dan kenyamanan pribadi mereka. Hal ini menjadikan gaya hidup Gen Z kini telah dipengaruhi oleh algoritma dan ekspektasi sosial yang tidak selalu realistis. Belum lagi pengaruh tayangan paylatter, judol, situs pornografi, video pendek yang merusak otak (brain rot), hingga lagu-lagu yang tak senonoh. Membuat tingkah laku dan perbuatan remaja muslim rusak.
Era Digital: Banyak Kemudahan Tapi juga Banyak Pengaruh Buruk
Sejatinya, ruang digital memang tidak netral karna didominasi nilai sekuler kapitalistik. Di lain sisi tentu juga ada positifnya, seperti adanya aktivisme global yang saling terhubung seluruh dunia untuk media mobilisasi dengan cepat. Memudahkan dalam belajar juga mengembangkan informasi, dan lain sebagainya.
Tak bisa dipungkiri, minus dari media sosial bisa menyebabkan krisis kesehatan mental. Di dalamnya, nilai-nilai baru tumbuh: inklusif, progresif, dan berani mempertanyakan otoritas lama termasuk agama dalam bentuk yang dianggap tidak lagi otentik. Media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi mesin pembentuk nilai yang sering kali memutus dialog dengan generasi tua. Sehingga muncullah gap antara dua generasi yang dianggap berbeda.
Begitupun dengan arah pergerakan pemuda muslim di era digital menjadikan idealisme yang memudar dan validasi yang dikejar. Perjuangan sering bersifat musiman, mengikuti tren dan algoritma, bukan berakar pada analisis mendalam terhadap akar persoalan.
Selamatkan Generasi dengan Islam
Islam memandang bahwasannya perilaku manusia ditentukan oleh pemahaman hidupnya. Pada dasarnya, media sosial adalah produk kemajuan iptek (madaniyah) yang netral, tetapi arah penggunaannya sangat ditentukan oleh ideologi yang melingkupinya. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab strategis untuk membangun generasi melalui sistem pendidikan berbasis akidah yang kokoh.
Pendidikan Islam tidak berhenti pada aspek kognitif semata, tetapi membentuk kepribadian pemuda yang senatiasa memperhatikan halal-haram, benar-salah, dan memiliki rasa tanggung jawab di hadapan Allah. Generasi dengan fondasi iman yang kuat akan mampu bersikap kritis, selektif, dan bermartabat dalam menghadapi arus digital.
Lebih luas lagi, perlu adanya dukungan terterapkannya syariat Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana dalam sistem Khilafah akan menciptakan ekosistem sosial yang sehat. Media akan diatur agar berfungsi sebagai sarana edukasi dan dakwah, bukan alat perusak moral. Negara tidak netral terhadap kemungkaran, tetapi hadir sebagai penjaga akhlak dan pelindung generasi.
Wallahu a'lam bissowab.
Via
opini
Posting Komentar