OPINI
Kota Layak Anak: Regulasi Baik, Sistem Masih Bermasalah
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—DPRD Batam menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kota Layak Anak sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah dalam melindungi hak-hak anak (deltakepri.co.id, 15 Desember 2025). Secara normatif, kebijakan ini patut diapresiasi karena menempatkan anak sebagai subjek yang harus dilindungi oleh negara. Namun, kebijakan ini juga perlu diuji secara kritis: apakah regulasi semata cukup untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan anak dalam kehidupan nyata?
Keamanan merupakan hak dasar anak. Namun dalam sistem kapitalisme, negara sering kali hanya berperan sebagai regulator, bukan penjamin kehidupan yang layak. Akibatnya, perlindungan terhadap anak berjalan parsial dan reaktif. Fakta menunjukkan bahwa anak di bawah umur masih menjadi korban kekerasan seksual, perundungan, eksploitasi, hingga penyimpangan perilaku akibat pergaulan bebas (Komnas Perlindungan Anak). Ini menandakan bahwa anak belum sepenuhnya mendapatkan rasa aman dalam sistem yang ada.
Konsep Kota Layak Anak pun kerap direduksi menjadi pemenuhan indikator administratif dan program simbolik. Padahal, kota yang benar-benar layak anak harus berbanding lurus dengan terpenuhinya kebutuhan pokok keluarga, tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai dan terjangkau, jaminan kesehatan yang merata, serta keamanan lingkungan yang nyata. Anak tidak hidup dalam ruang hampa. Mereka tumbuh dalam keluarga dan lingkungan sosial yang sangat menentukan kualitas hidupnya.
Lebih jauh, sistem kehidupan kapitalisme justru melahirkan lingkungan yang tidak ramah anak. Anak diposisikan sebagai objek industri—baik industri hiburan, digital, maupun komersialisasi gaya hidup. Ruang digital yang seharusnya aman dan edukatif justru dipenuhi konten kekerasan, pornografi, dan perundungan yang merusak psikologis anak (Kominfo.go.id, November 2023). Kondisi ini menunjukkan bahwa problem anak bukan persoalan sektoral, melainkan buah dari sistem kehidupan yang salah arah.
Dalam perspektif Islam, kehidupan yang layak bukan hanya hak anak, tetapi hak seluruh individu masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam memandang negara sebagai ra’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan dasar dan keamanan setiap warga. Dengan sistem ini, anak terlindungi secara otomatis karena keluarganya hidup dalam jaminan negara yang adil dan bertanggung jawab.
Islam menawarkan solusi yang menyeluruh: membangun masyarakat dan negara yang layak bagi semua, sehingga anak-anak benar-benar aman, terlindungi, dan bermartabat dalam kehidupan nyata. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap keluarga—pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan—melalui mekanisme Baitul Mal. Anak tidak boleh menjadi korban kemiskinan struktural. Jika keluarga tidak mampu, negara hadir menanggungnya, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar atau bantuan temporer.
Dalam bidang pendidikan, Islam membangun sistem pendidikan berbasis akidah dan akhlak. Pendidikan tidak sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk kepribadian yang beriman, berakhlak, dan bertanggung jawab. Anak dibekali pemahaman tentang kehormatan diri, batas pergaulan, dan nilai kemanusiaan, sehingga terlindungi dari pergaulan bebas, kekerasan seksual, dan penyimpangan moral sejak dini.
Perlindungan anak juga ditegakkan melalui sistem hukum Islam yang tegas dan menjerakan. Kejahatan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual dan eksploitasi, dipandang sebagai kejahatan serius yang merusak tatanan masyarakat. Sanksi yang tegas berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir), sehingga lingkungan sosial menjadi aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Sejarah mencatat praktik nyata perlindungan anak dalam negara Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, negara memberikan tunjangan dari Baitul Mal kepada setiap anak tanpa membedakan agama dan status sosial (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah). Bahkan, Umar bin Khattab segera mengoreksi kebijakan negara ketika mengetahui adanya bayi yang disapih terlalu dini karena tekanan ekonomi. Ini menunjukkan negara hadir secara sensitif dan bertanggung jawab terhadap dampak kebijakan pada anak.
Selain itu, Islam mengatur pergaulan dan media secara sistemik. Negara mengontrol ruang publik dan media agar tidak merusak fitrah anak. Konten pornografi, kekerasan, dan eksploitasi dicegah dari hulunya. Di saat yang sama, masyarakat dibangun dengan budaya saling menjaga melalui amar ma’ruf nahi munkar, sehingga anak tumbuh di lingkungan yang peduli dan aman.
Dengan demikian, Ranperda Kota Layak Anak di Batam semestinya tidak berhenti sebagai produk hukum administratif. Tanpa perubahan paradigma dan sistem yang melandasinya, kebijakan ini berisiko menjadi slogan kosong. Islam menawarkan solusi yang lebih mendasar dan menyeluruh: membangun sistem kehidupan yang adil, manusiawi, dan melindungi generasi sejak akar persoalan.
Kota layak anak sejatinya tidak lahir dari sekadar regulasi, melainkan dari sistem yang benar-benar menjamin kehidupan layak bagi semua. Ketika sistem itu tegak, anak-anak tidak hanya aman di atas kertas kebijakan, tetapi benar-benar terlindungi dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Via
OPINI
Posting Komentar