opini
Bencana Sumatra, Bukti Bahaya Bencana Perusakan Alam dalam Sistem Kapitalisme
Oleh: Irna Ummu Hanin
(Aktivis Muslimah Dompu)
TanahRibathMedia.Com—Jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di wilayah Sumatera hingga Senin (1/12) sore tercatat mencapai 604 orang. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa angka tersebut merupakan data paling mutakhir. Adapun rincian korban di Provinsi Aceh mencakup 156 orang meninggal, 181 orang hilang, dan 1.800 orang mengalami luka-luka. Sementara di Sumatera Barat tercatat 165 korban meninggal, 114 orang hilang, dan 112 orang terluka. Di Sumatera Utara, jumlah korban meninggal mencapai 283 orang, dengan 169 orang hilang dan 613 orang mengalami luka.
BNPB juga mencatat kerusakan fisik berupa 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, dan 20.500 rumah rusak ringan. Selain itu, terdapat 271 jembatan yang rusak serta 282 fasilitas pendidikan yang terdampak (Cnnindonesia.com, 01-12-2025).
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, turut memberikan penjelasan terkait belum ditetapkannya status bencana nasional untuk bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. Menurutnya, meskipun status bencana nasional belum diberlakukan, penanganan yang dilakukan di wilayah terdampak sudah setara dengan penanganan pada bencana nasional (kompas.tv, 02-12-2025).
Lemahnya Mitigasi Bencana
Banjir besar yang melanda Sumatra tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang merusak lingkungan, khususnya deforestasi masif. Data Global Forest Watch (GFW) menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan 10,5 juta hektare hutan sepanjang 2002–2023. Padahal, hutan primer tropis merupakan ekosistem yang paling stabil dan berfungsi penting menyerap curah hujan. Kini kawasan seluas itu mengalami kerusakan serius akibat perluasan lahan dan tekanan aktivitas manusia.
Kerusakan hutan di Indonesia tak lepas dari kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip syariah, karena banyak wilayah hutan diserahkan kepada sektor swasta untuk kegiatan pertambangan, penebangan, dan pembukaan kebun sawit. Dalam kasus banjir Sumatra Utara, Walhi menyebut adanya tujuh perusahaan yang berperan dalam kerusakan ekologis di Tapanuli, termasuk peristiwa banjir dan longsor.
Selain itu, negara juga gagal mengawasi praktik tambang ilegal dan pembalakan liar.
Temuan KPK menunjukkan bahwa aktivitas tersebut tidak hanya dilakukan perusahaan swasta, tetapi juga melibatkan oknum aparat serta pejabat, bahkan terhubung dengan aliran dana untuk Pemilu. Dengan demikian, bencana yang menimpa masyarakat Sumatra bukan sekadar fenomena alam, namun dampak dari kebijakan kapitalistik yang lebih mementingkan keuntungan dibanding keselamatan lingkungan dan rakyat. Keputusan-keputusan yang diambil telah menghadirkan ketidakadilan besar bagi masyarakat.
Banjir yang terjadi di Sumatera juga mengungkap lemahnya kesiapan pemerintah dalam mitigasi bencana. Padahal, BMKG sudah memberikan peringatan delapan hari sebelumnya terkait potensi hujan ekstrem. Saat bencana terjadi, pemerintah seolah tidak mampu melakukan langkah mitigasi yang efektif. Sampai saat ini, bencana di tiga provinsi tersebut pun belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Bahkan, pada awal peristiwa, BNPB sempat menyebut bahwa situasi genting itu hanya tampak mencekam di media sosial.
Mitigasi bencana merupakan rangkaian upaya yang bertujuan mengurangi risiko serta dampak terhadap manusia dan lingkungan. Mitigasi tidak hanya dilakukan pascabencana, tetapi juga melalui langkah pencegahan dan kesiapsiagaan sebelum bencana terjadi. Pemerintah seharusnya memastikan seluruh proses ini berjalan optimal. Namun yang terjadi adalah lemahnya sistem mitigasi yang tidak merata di seluruh daerah, sehingga memperlambat penanganan mulai dari tingkat individu, masyarakat, hingga negara.
Kelemahan ini terlihat dari luasnya wilayah terdampak, banyaknya korban jiwa, serta besarnya kerugian.
Seandainya mitigasi dijalankan dengan baik, berbagai strategi struktural dan nonstruktural dapat diterapkan, seperti perencanaan yang matang, edukasi publik, penggunaan teknologi, hingga kerja sama berbagai pihak. Mitigasi nonstruktural mencakup penyusunan kebijakan, edukasi masyarakat, dan perencanaan program pengurangan risiko. Contohnya adalah penentuan zona aman, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, serta peningkatan literasi kebencanaan melalui pelatihan.
Secara hukum, Indonesia sebenarnya memiliki dasar regulasi yang memadai, misalnya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menegaskan peran BNPB dan BPBD. Namun implementasinya belum maksimal karena pemerintah dinilai kurang serius dalam menjalankan aturan yang ada.
Paradigma Islam tentang Bencana dan Mitigasi
Dalam Islam, bencana dipahami melalui dua sudut pandang. Pertama, dimensi ruhiyah, yaitu bahwa bencana merupakan takdir Allah Swt.. Hujan pada dasarnya adalah rahmat-Nya, sementara manusia harus menjaga bagian bumi yang dapat ia kelola—baik individu maupun pemegang kebijakan. Bencana menjadi pengingat agar manusia tidak berbuat kerusakan, karena Islam telah menyediakan pedoman untuk mencegah kerusakan lingkungan, merawat alam, dan menghadapi bencana dengan langkah-langkah mitigasi.
Allah berfirman:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar" (TQS. Ar-Rum: 41).
Kedua, dimensi siyasiyah, yaitu tanggung jawab penguasa dalam menetapkan kebijakan tata ruang dan mitigasi bencana. Dalam Islam, seorang pemimpin (khalifah) berperan sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Ia akan menetapkan kebijakan berbasis politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan individu, serta menyediakan sistem keuangan negara yang mencukupi untuk mendukung kebijakan tersebut.
Di wilayah rawan bencana, kebijakan akan difokuskan pada manajemen kebencanaan yang menyeluruh, termasuk edukasi kebencanaan, pembangunan infrastruktur, sistem peringatan dini, dan mekanisme penanganan yang terkoordinasi. Negara juga menyediakan sistem logistik dan layanan kesehatan sebagai bagian penting dari penanganan bencana secara komprehensif. Hanya dengan hukum Allah Swt., negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat, Pemimpin atau Khalifah sebagai pemegang amanah dari Allah akan membuat kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya.
Karena Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: "Amir / Khalifah yang mengurus banyak orang adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka" (HR Al Bukhari ).
Wallahu'alam.
Via
opini
Posting Komentar