OPINI
Menjadi Ibu Generasi Ideologis, Siapkah?
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sejarah membuktikan bahwa kebangkitan dan kejatuhan peradaban tidak pernah lepas dari peran seorang ibu. Dari rahim dan didikan ibulah lahir generasi pemimpin, penakluk, ulama, dan pejuang yang mengubah arah sejarah umat manusia. Dalam Islam, peran ibu bukan sekadar fungsi biologis atau domestik, melainkan peran ideologis: mencetak generasi yang tidak takut kepada apa pun dan siapa pun kecuali Allah Swt., generasi visioner yang pandangan hidupnya menembus batas dunia, terarah pada ridha Allah dan surga-Nya.
Menjadi ibu generasi ideologis berarti memadukan peran keibuan dengan kesadaran dakwah dan politik Islam. Ibu tidak hanya mengurus kebutuhan fisik anak, tetapi menanamkan cara pandang hidup Islam sejak dini. Kesadaran politik yang tinggi membuat seorang ibu memahami bahwa anaknya kelak hidup di tengah sistem, bukan ruang kosong. Maka ia mendidik anak bukan sekadar agar “selamat secara pribadi”, tetapi siap memimpin umat dan memperjuangkan kebenaran.
Sejarah Islam mencatat contoh-contoh nyata keberhasilan peran ini. Ibu Imam Syafi’i, misalnya, adalah sosok yang memiliki visi jauh melampaui keterbatasan materi. Dalam kondisi yatim dan miskin, ia membawa Imam Syafi’i kecil dari Gaza ke Makkah demi memastikan anaknya tumbuh di lingkungan ilmu dan bahasa Arab yang lurus. Dari didikan ibu yang visioner inilah lahir seorang mujtahid besar yang pemikirannya hidup lintas zaman. Ini menunjukkan bahwa ibu ideologis melahirkan peradaban, bukan sekadar anak yang sukses secara individual.
Teladan lain adalah Al-Khansā’, seorang ibu yang menjadikan keimanan sebagai poros pendidikan anak-anaknya. Dalam Perang Qadisiyah, ia melepas empat putranya dengan nasihat agar berjuang demi Islam, bukan demi dunia. Ketika keempatnya gugur sebagai syuhada, ia tidak larut dalam ratapan, tetapi bersyukur atas kemuliaan yang Allah berikan. Inilah potret ibu yang menundukkan naluri keibuan pada visi akhirat, sesuatu yang mustahil lahir dari pendidikan sekuler.
Asma’ binti Abu Bakar juga memberikan teladan luar biasa. Ia mendidik Abdullah bin Zubair dengan keberanian dan keteguhan prinsip. Saat anaknya dihadapkan pada pilihan antara menyerah kepada penguasa zalim atau mati di atas kebenaran, Asma’ menegaskan agar anaknya tetap teguh. Dari ibunya, Abdullah bin Zubair belajar bahwa hidup bukan tentang keselamatan jasad, tetapi kemuliaan sikap di hadapan Allah.
Namun, peran ideal ibu ini hari ini menghadapi tantangan berat dalam sistem sekuler. Serangan pemikiran melalui narasi kesetaraan gender liberal, HAM versi Barat, dan moderasi beragama telah menciptakan lingkungan yang merusak orientasi perempuan Muslim. Peran ibu direduksi, bahkan dianggap penghambat aktualisasi diri. Di saat yang sama, dunia digital menjadi arena baru yang menyerang akal dan keimanan anak-anak tanpa henti.
Belum lagi tekanan sistem ekonomi kapitalisme yang memaksa perempuan memikul beban ganda. Ibu dituntut produktif secara ekonomi, tetapi tetap bertanggung jawab penuh atas rumah dan anak. Sistem ini tidak peduli pada kualitas generasi, yang penting roda ekonomi berputar. Akibatnya, peran strategis ibu sebagai pendidik ideologis semakin tergerus.
Di tengah realitas ini, peran riil ibu Muslim menjadi sangat menentukan. Pertama, ibu harus menetapkan visi pendidikan anak: menjadikan mereka sebagai abdullah, khalifah fil ardh, dan bagian dari khairu ummah. Visi ini harus hidup dalam keseharian, bukan sekadar jargon. Kedua, ibu wajib menjadi teladan—dalam akidah, akhlak, keberanian bersikap, dan komitmen terhadap Islam.
Namun, sejarah juga mengajarkan bahwa ibu-ibu besar tidak bergerak sendirian. Mereka hidup dalam sistem yang menopang nilai Islam. Karena itu, perjuangan ibu hari ini tidak cukup berhenti pada pengasuhan individu. Harus dibarengi dengan upaya mengubah sistem kapitalisme sekuler yang rusak menuju sistem Islam yang benar dan menyejahterakan. Sistem yang memuliakan peran ibu, melindungi generasi, dan menjadikan pendidikan ideologis sebagai prioritas negara.
Menjadi ibu generasi ideologis bukanlah jalan mudah. Ia adalah jalan perjuangan panjang. Namun dari tangan para ibu inilah, dahulu lahir para pemimpin peradaban Islam. Dan dari tangan para ibu yang sadar ideologi hari ini, kebangkitan umat itu akan kembali dimulai.
Via
OPINI
Posting Komentar