OPINI
Banjir Bandang Sumatra: Antara Bencana Hidro Meteorologi dan Pengrusakan Alam oleh Manusia
Oleh: Pitra Delvina, S.Pd.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Beberapa minggu terakhir, per tanggal 22-27 November 2025, sejumlah wilayah di pulau Sumatera sedang dilanda bencana banjir bandang dan tanah longsor. Wilayah terdampak yaitu Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Kondisi mencekam menyelimuti hati rakyat. Ini merupakan banjir terparah di penghujung tahun 2025. Kerugiannya ditaksir sampai triliunan. Selain kehilangan harta benda dan memakan korban jiwa, akses komunikasi dan transportasi juga putus total.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban tewas dalam bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat per Selasa (2/12) bertambah menjadi 659 orang. Jumlah korban hilang sebanyak 475 orang. Korban luka-luka mencapai 2.600 orang. Jumlah warga terdampak tembus 3,2 juta jiwa (CNN Indonesia, 2-12-2025).
Beberapa pakar dari Institut Teknologi Bandung menyatakan bahwa fenomena ini dipicu oleh kombinasi hujan ekstrim pengaruh Siklon Tropis Senyar, serta sistem atmosfer skala meso yang memperkuat pembentukan awan hujan di wilayah Sumatera Utara (Kompas.com, 30-11-2025).
Namun, mirisnya pemerintah tidak kunjung menetapkannya sebagai bencana nasional. Pemerintah mengklaim beberapa alasan di antaranya: pertama, bencana ini dianggap masih setingkat daerah. Kedua, korban jiwa belum memenuhi ambang batas skala korban yang ditetapkan sebagai bencana nasional. Ketiga, kondisi di tiga Provinsi tidak semencekam yang diberitakan di media sosial. Padahal sudah jelas betapa mencekamnya kondisi rakyat di wilayah terdampak.
Bahkan di Aceh ada 4 kampung yang hilang, yang paling miris kondisi di Kab. Tamiang, Aceh. Per tanggal (2/12) mereka belum mendapatkan akses bantuan sama sekali. Beredar luas di media sosial bahwasanya se-Kabupaten dilanda banjir, mayat bertebaran di mana-mana, listrik mati, penjarahan, banyak rakyat kelaparan, dan lain sebagainya. Astaghfirullah.
Belum lagi fakta tentang misteri kayu gelondongan yang hanyut terbawa arus menghantam rumah warga yang hanyut dan terendam lumpur akibat banjir. Minimnya akses bantuan, lambannya proses mitigasi bencana oleh pemerintah, kerusakan infrastruktur yang parah, akses jalan putus total, dan lain sebagainya.
Mirisnya lagi, bencana ini diklaim hanya sebatas bencana hidro meteorologi. Padahal alam sudah memperlihatkan secara jelas bahwa ada faktor lain yang menjadi pemicu bencana ini terjadi. Kerusakan alam yang sangat parah sudah mendera pulau Sumatra. Makanya ketika curah hujan tinggi berhari-hari, tanah sudah tidak memiliki daya tahan yang cukup untuk menampung curah hujan diakibatkan maraknya penebangan hutan secara illegal, diperparah oleh tata kelola ruang yang menyalahi aturan, alih fungsi lahan di sekitaran daerah aliran sungai, dan faktor lainnya. Makanya terjadilah bencana banjir bandang yang mencekam ini.
Memang benar, hujan turun merupakan qodho dari Allah Swt., tetapi kerusakan alam sejatinya adalah ulah perbuatan manusia. Ketika pohon ditebang, bukit digunduli, dan tanah kehilangan kemampuan dalam menyerap air, hujan yang seharusnya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana yang memakan korban jiwa.
Hal ini sudah disebutkan Allah Swt. dalam firman-Nya:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (T.Q.S. Ar-Rum 30: Ayat 41)
Semua itu dikarenakan dalam sistem kapitalis, alam bukan amanah yang seharusnya dijaga dan dilindungi, melainkan aset komersial yang dieksploitasi dan diperjualbelikan. Hutan dibabat tanpa memperhatikan aspek keasrian lingkungan. Daerah aliran sungai, wilayah perbukitan, dan pegunungan dialih fungsikan menjadi tempat wisata. Juga masifnya pembabatan hutan secara liar yang dilakukan oleh sejumlah korporasi yang diberi izin oleh negara.
Sedangkan di dalam Islam, merusak alam merupakan sebuah dosa. Apalagi sampai mebahayakan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Allah melarang keras praktik apapun yang merusak bumi. Seperti yang tertuang dalam firman-Nya:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya." (T.Q.S. Al-A'raf: 56)
Kerusakan hutan, eksploitasi yang berlebihan, tata ruang yang semrawut, hingga kongkalikong pengusaha dan penguasa adalah bentuk kefasadan, yang dalam Islam dianggap sebagai kejahatan. Di samping itu, Islam memposisikan negara sebagai pelaksana syariat dan penjaga kemaslahatan rakyat. Maka dari itu, hutan yang sejatinya milik umum tidak boleh diprivatisasi.
Negara juga wajib melarang pembukaan lahan yang membahayakan ekosistem. Pembabatan hutan secara liar dianggap jarimah (kejahatan) dalam Islam dan pelakunya akan dikenai sanksi yang tegas. Karena sejatinya penebangan hutan harus sesuai syariat demi kemaslahatan rakyat bukan para elit korporasi.
Selain itu, dalam syariah, wilayah al-imarah (departemen pemerintahan wilayah) bertanggung jawab mengatur zonasi pemukiman, pencegahan bangunan di area rawan, sistem drainase, sungai, dan irigasi. Semua dilakukan berdasarkan kaidah dar’u al-mafasid (menghindari kerusakan). Negara Islam juga akan mengontrol perusahaan dan industri. Seperti menghapus izin eksploitasi yang kapitalistik. Lalu menggantinya dengan pengelolaan publik oleh negara, dan negara akan menerapkan audit lingkungan yang berbasis syariat. Termasuk juga pelestarian daerah aliran sungai (DAS).
Adapun strategi penanggulangan saat dan setelah bencana. Komando tunggal berada di tangan Khalifah. Tidak seperti sekarang adanya tumpang tindih kewenangan antara pejabat daerah dan pusat. Khalifah akan menunjuk seorang amil yang khusus menangani urusan bencana. Proses evakuasi, bantuan logistik, dan upaya penyelamatan akan dilakukan secara cepat, tepat, dan terpusat.
Adapun terkait pendanaan pada saat penanganan bencana. Pembiayaan bersumber dari baitul mal. Penanganan bencana tidak akan menunggu proposal dana terlebih dahulu atau donasi dari rakyat seperti yang terjadi pada sistem Demokrasi sekarang.
Pendanaan akan diambil langsung dari pos nafaqat (biaya negara), fa'i dan kharaj, serta pos darurat yang ada di baitul mal. Khalifah juga akan memastikan rakyat mendapatkan haknya kembali pasca bencana, seperti pemukiman yang layak, akses kesehatan, akses jalan, pembangunan fasilitas publik, dan lain sebagainya.
Jika disinyalir ada faktor kelalaian dari pejabat daerah maupun perusahaan atau individu tertentu, maka penegakan hukum pasca bencana akan dilakukan oleh Khalifah. Mereka akan dikenai sanksi keras sesuai syariat (ta‘zir, denda besar, penjara, atau hukuman lain yang ditentukan oleh qadhi).
Demikianlah, syariat Islam dalam memberikan strategi komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi bencana ekologis melalui hal yang telah disebutkan di atas. Dengan sistem pemerintahan Islam yang shahih, bencana ekologis dapat dicegah sejak hulu dan ditangani secara efektif di hilir. Bukan hanya respon darurat atau insidental seperti sekarang, melainkan perubahan yang sifatnya struktural. Hanya saja hal ini hanya mungkin terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. Bukan sistem Demokrasi sekuler seperti saat ini.
Wallaahu a'lam bish-showab.
Via
OPINI
Posting Komentar