OPINI
Ponpes Ambruk: Cermin Kegagalan Negara dalam Menjamin Fasilitas Pendidikan
Oleh: Endah Dwianti, S.E., Ak., CA., M.Ak.
(Pengusaha)
TanahRibathMedia.Com—Tragedi runtuhnya musala Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, bukan sekadar insiden structural. Ini adalah alarm keras tentang gagalnya negara dalam memastikan keselamatan fasilitas pendidikan. Menurut laporan Detik.com (5 Oktober 2025), musala empat lantai tersebut ambruk saat para santri sedang melaksanakan salat asar di lantai dua. Dalam sekejap, rutinitas ibadah berubah menjadi tragedi yang merenggut sedikitnya 37 nyawa dan melukai lebih dari seratus korban lainnya.
Proses evakuasi yang berlangsung berhari-hari menggambarkan betapa besarnya skala bencana tersebut. Metro TV (5 Oktober 2025) menyebutkan bahwa hingga hari keempat pencarian, masih ada puluhan santri yang belum ditemukan. Ini menunjukkan bahwa bangunan itu bukan sekadar roboh; ia runtuh secara total, menimbun korban dalam reruntuhan yang menggunung.
Temuan awal tim teknis BNPB yang juga diberitakan Kompas.id (7 Oktober 2025) menunjukkan bahwa struktur bangunan tidak dirancang untuk menahan beban tambahan dari lantai empat yang dibangun belakangan. Artinya, ada pelanggaran serius dalam standar teknis konstruksi serta indikasi kuat bahwa bangunan tersebut beroperasi tanpa sertifikasi laik fungsi. Fakta ini bukan hanya memalukan, tetapi juga membahayakan ribuan santri yang tinggal dan belajar di pesantren serupa di seluruh Indonesia.
Pola Pembangunan yang Mengabaikan Keselamatan
Banyak pondok pesantren lahir dari semangat kemandirian umat: dibangun melalui swadaya wali santri, kas pesantren, dan bantuan donatur. Semangat ini mulia, tetapi ketika negara tidak hadir dalam hal teknis, kualitas, dan pengawasan, maka ruang kompromi keselamatan terbuka sangat lebar.
Aspirasi masyarakat yang ingin segera memiliki ruang belajar membuat mereka sering menekan biaya pembangunan. Ketika dana terbatas dan waktu diburu, kualitas bahan, kekuatan struktur, dan perhitungan teknis sering diabaikan. Ironisnya, justru bangunan-bangunan inilah yang menjadi tempat tinggal, belajar, tidur, dan ibadah ribuan anak setiap hari.
Semua ini menunjukkan adanya pergeseran tanggung jawab negara terhadap fasilitas pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas mewajibkan negara menjamin pendidikan yang aman, bermutu, dan berkeadilan. Tetapi dalam praktiknya, tanggung jawab ini sering dilempar kepada masyarakat. Negara baru tampak setelah bencana terjadi melakukan evakuasi, mengunjungi korban, dan memberikan santunan. Namun santunan tidak bisa mengganti nyawa.
Bagaimana Islam Memandang Pendidikan dan Peran Negara
Dalam perspektif Islam, pendidikan bukanlah urusan privat atau amal sukarela masyarakat. Ia merupakan kewajiban negara yang harus dipenuhi tanpa syarat.
Beberapa poin penting dalam pandangan Islam:
1. Negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang aman dan layak
Ini berdasar kaidah maslahah dan kewajiban hifzhun nafs (penjagaan jiwa). Rasulullah ï·º menegaskan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab seluruh rakyatnya: “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih.” Jika nyawa rakyat melayang karena kelalaian sistem, maka itu bentuk kegagalan negara dalam menunaikan amanah syar’i.
2. Dana pendidikan berasal dari baitulmal
Dalam Islam, pembiayaan fasilitas publik termasuk sekolah, pesantren, dan infrastruktur umumnya dibebankan kepada baitulmal. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat membangun sendiri fasilitas vital tanpa standar, karena keselamatan bukan perkara suka-rela.
3. Pengawasan negara harus bersifat preventif, bukan reaktif
Islam menekankan saddu dzari’ah mencegah kerusakan sebelum terjadi. Negara harus memastikan setiap bangunan pendidikan melalui proses perizinan dan audit struktur yang ketat sebelum digunakan.
4. Tidak boleh ada kesenjangan fasilitas karena perbedaan ekonomi masyarakat
Dalam sistem Islam, kualitas fasilitas pendidikan tidak boleh ditentukan oleh seberapa banyak donatur atau seberapa kaya wali santri. Seluruh anak tanpa memandang latar belakang ekonomi berhak mendapatkan lingkungan belajar yang aman.
Evaluasi Bukan Solusi Jika Tidak Ada Reformasi
Menteri Agama sempat menyatakan akan mengevaluasi bangunan pesantren dan rumah ibadah di seluruh Indonesia. Namun evaluasi tanpa pembiayaan dan pengawasan berkelanjutan hanyalah ritual administratif tahunan yang tidak menyentuh akar masalah.
Kita tidak membutuhkan janji evaluasi setelah bencana; kita membutuhkan reformasi infrastruktur pendidikan yang menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama. Negara harus hadir sebelum korban jatuh, bukan setelahnya.
Penutup
Pendidikan adalah hak, bukan proyek amal. Ketika negara gagal menjalankan amanahnya, maka runtuhnya sebuah bangunan bukan hanya tragedi fisik melainkan runtuhnya integritas konstitusi dan tanggung jawab moral yang seharusnya diemban penguasa. Setiap nyawa santri yang tertimbun adalah bukti bahwa sistem kita sedang sakit. Islam memberikan kerangka yang jelas yakni negara harus menjadi pelindung, bukan penonton.
Wallahualam bissawab.
Via
OPINI
Posting Komentar