OPINI
‘Marriage is Scary’, Narasi Kapitalisme yang Menyesatkan
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Unggahan yang menggambarkan anak muda lebih takut miskin dari pada takut tidak menikah viral di akun Threads akhir Oktober 2025. Unggahan ini disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna lainnya. Ini mengisyaratkan unggahan tersebut menunjukkan persetujuan terhadap pendapat pemilik akun (Kompas.com 22 Nopember 2025)
Hal ini menggambarkan betapa beratnya beban ekonomi hari ini. Lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian yang kian tinggi, dan persaingan kerja yang makin ketat membuat stabilitas finansial menjadi pertimbangan utama sebelum melangkah ke pernikahan. Mirisnya anak muda saat ini, 𝘮𝘢𝘳𝘳𝘪𝘢𝘨𝘦 𝘪𝘴 𝘴𝘤𝘢𝘳𝘺 memperkuat ketakutan akan pernikahan.
Akar Masalah
Sesungguhnya narasi "pernikahan itu menakutkan" bukan ketakutan pada pernikahan itu sendiri, tetapi pada ketidakpastian hidup yang lahir dari sistem kapitalisme. Ketakutan miskin karena biaya hidup tinggi, pekerjaan sulit, dan upah rendah. Sistem ini memaksa generasi muda mengejar standar hidup yang terus naik, menjadikan pernikahan seolah beban baru di tengah ketidakpastian ekonomi
Lebih jauh lagi, negara sebagai regulator justru semakin lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator pasar, bukan penanggung jawab kehidupan rakyat. Akibatnya, seluruh beban ditimpakan pada rakyat mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga hunian dipikul individu. Generasi muda merasa hidup seperti bertarung sendirian, sehingga pernikahan tampak menambah beban, bukan menenteramkan.
Apalagi gaya hidup materialis dan hedonis tumbuh subur, bersumber dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal. Anak muda dibentuk untuk mengejar standar sukses ala kapitalisme: kaya, bergaya, mapan, bebas. Pandangan ini memperkuat pikiran bahwa menikah membutuhkan modal besar, padahal itu hanyalah standar hidup yang dibentuk industri dan budaya konsumtif.
Dalam pola pikir sekuler, pernikahan dilihat sebagai beban, tambahan tanggung jawab finansial, potensi konflik, dan hilangnya “kebebasan pribadi”. Ketakutan terhadap pernikahan pada dasarnya bukan masalah individu semata, tetapi hasil dari lingkungan sosial yang dibentuk kapitalisme.
Solusi Terbaik
Padahal, dalam pandangan Islam, pernikahan adalah ladang kebaikan, penjaga kehormatan, sekaligus jalan melanjutkan keturunan yang berkah. Oleh karena itu negara harus menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya melalui sistem ekonomi Islam.
Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat berupa: pangan, sandang, papan adalah kewajiban negara, bukan beban individu seperti pada sistem hari ini. Negara juga memastikan setiap laki-laki memiliki akses lapangan kerja yang layak lagi halal. Dengan adanya jaminan ekonomi ini, rakyat merasa aman untuk melangkah ke pernikahan tanpa dibayangi kecemasan finansial.
Juga terdapat pengelolaan milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) berada di tangan negara, bukan swasta atau asing. Sumber daya strategis seperti energi, air, tambang, dan hutan dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Hasilnya kembali pada kesejahteraan publik sehingga biaya hidup bisa ditekan secara signifikan. Ketika harga kebutuhan stabil dan terjangkau, pernikahan tidak lagi dipersepsikan sebagai beban ekonomi.
Tidak kalah penting, pendidikan berbasis akidah melahirkan generasi yang berkarakter dengan pola pikir dan pola sikap Islam, menanamkan cara pandang lurus tentang pandangan hidup dan tanggung jawab di hadapan Allah Swt., sehingga mereka menjadi sosok bertaqwa yang siap memimpin, bukan generasi hedonis yang cuek terhadap kondisi negeri atau mengejar standar materialistis ala kapitalisme.
Penguatan institusi keluarga dengan menjadikan pernikahan sebagai ibadah. Islam mendorong pernikahan sebagai jalan menjaga kehormatan, menenteramkan jiwa, dan melanjutkan keturunan yang saleh. Negara turut memfasilitasi kemudahan pernikahan dari minimnya biaya hidup, stabilitas ekonomi, hingga lingkungan sosial yang mendukung. Dengan demikian, pernikahan kembali dipahami sebagai ladang kebaikan, bukan sumber ketakutan.
Penutup
Jika pernikahan terus dipandang menakutkan, maka pintu zina akan semakin terbuka lebar. Anak muda merasa tak perlu menikah karena standar hidup kapitalistik membuat mereka tak yakin mampu, sementara budaya permisif menawarkan hubungan bebas tanpa tanggung jawab. Inilah bukti nyata kerusakan sistem sekuler yang mempersulit yang halal dan memudahkan yang haram.
Padahal Islam menjadikan pernikahan sebagai benteng kehormatan dan jalan keberkahan. Ketakutan generasi muda hari ini hanya bisa diselesaikan dengan sistem yang menenteramkan. Sistem Islam yang menjamin kesejahteraan, menjaga moral, dan menguatkan institusi keluarga. Dengan kembali pada aturan Allah secara total, di mana Aturan Allah diterapkan mencakup urusan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, hukum, seluruhnya membentuk satu kesatuan sistem hidup yang menuntun manusia pada ketenteraman dan keberkahan. Sehingga pernikahan tidak lagi menjadi momok, tetapi menjadi pintu menuju kehidupan yang sakinah dan penuh rahmat.
Wallahualam bissawab.
Via
OPINI
Posting Komentar