OPINI
Penculikan Bilqis dan Gagalnya Negara Menciptakan Lingkungan Aman bagi Anak..,
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus hilangnya balita Bilqis di Makassar pada 2 November 2025 kembali menyayat hati publik sekaligus menegaskan bahwa anak-anak kita masih jauh dari rasa aman di ruang publik. Bilqis sempat tidak ditemukan selama enam hari sebelum akhirnya diselamatkan oleh aparat di Jambi, tepatnya di permukiman Suku Anak Dalam di Merangin. Fakta yang kemudian terungkap jauh lebih mengerikan: ia dijual berantai dalam jaringan TPPO hingga mencapai harga Rp 80 juta (Metro TV, 9-11-2025. Jaringan yang menculiknya rupanya bukan kelompok kecil, tetapi bagian dari sindikat lintas wilayah yang memperdagangkan anak-anak secara sistematis.
Dalam laporan Detik.com (12-11-2025), pelaku bernama MA (42) mengaku menipu komunitas Suku Anak Dalam dengan menunjukkan surat palsu yang ia klaim sebagai dokumen adopsi resmi, sehingga seolah-olah proses itu sah secara hukum. Ketua adat, Tumenggung Joni, dalam laporan Detik.com (13-11-2025), menyatakan bahwa mereka tidak bisa membaca surat tersebut, sehingga menerima informasi dari pelaku begitu saja. Motif kebaikan dan rasa kemanusiaan suku tersebut justru dimanfaatkan oleh sindikat demi keuntungan. Fakta ini menunjukkan kerentanan masyarakat adat terhadap manipulasi pihak luar, sekaligus menyingkap bagaimana kejahatan terorganisir tidak segan menunggangi ketidaktahuan dan ketulusan komunitas rentan.
Lebih jauh, Detik.com (10-11-2025) mengungkap bahwa perdagangan Bilqis terjadi melalui beberapa tahap: dimulai dari Makassar seharga Rp3 juta, kemudian berpindah tangan ke Jambi melalui transaksi Rp15 juta, hingga akhirnya dijual kembali seharga Rp80 juta kepada kelompok adat Merangin. Polisi kemudian menegaskan bahwa sindikat ini telah lama beroperasi. Dalam laporan Detik (14-11-2025), Kapolda Sulawesi Selatan menyebut jaringan ini menjangkau Bali, Jawa Tengah, Jambi, hingga Kepulauan Riau. Bahkan, dari penyelidikan lanjutan yang diberitakan IDN Times (15-11-2025), terungkap bahwa sembilan bayi dan satu anak pernah dijual melalui media sosial seperti TikTok dan WhatsApp. Ini memperlihatkan betapa digitalisasi kini memberi ruang bagi praktik perdagangan manusia.
Kesaksian masyarakat Suku Anak Dalam menambah lapisan luka dalam kasus ini. Dalam wawancara yang dimuat Detik.com (13 November 2025), Tumenggung Joni mengatakan bahwa mereka mengira sedang menolong anak yang dikatakan terlantar. Ketika polisi datang menjemput Bilqis, suasana perpisahan penuh haru karena mereka telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Suku Anak Dalam bukan pelaku utama dalam kisah ini—mereka korban manipulasi, sama seperti Bilqis. Fakta ini memaparkan betapa kuatnya jeratan sindikat yang mampu menipu bahkan komunitas yang dikenal menjunjung tinggi nilai kekeluargaan.
Rangkaian kejadian ini menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan jaminan keamanan bagi anak-anak. Hilangnya Bilqis dari sebuah taman kota menunjukkan lemahnya pengawasan di ruang publik. Sementara sindikat TPPO yang beroperasi lintas provinsi mencerminkan betapa hukum belum memiliki kekuatan efektif untuk memberikan pencegahan dan efek jera. Penegakan hukum tidak cukup hanya dengan penangkapan, tetapi membutuhkan reformasi sistemik, terutama dalam pengawasan digital dan perlindungan komunitas rentan.
Dalam perspektif Islam, tragedi Bilqis adalah pelanggaran berat terhadap maqāṣid al-syarīʿah, terutama ḥifẓ al-nafs (perlindungan jiwa) dan ḥifẓ al-‘irdh (perlindungan kehormatan manusia). Islam menempatkan anak sebagai amanah yang tidak boleh disakiti apalagi diperdagangkan. Dalam sistem Islam, negara—sebagai pelaksana syariah—memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan keamanan setiap jiwa, termasuk menyediakan lingkungan publik yang aman, menindak tegas pelaku kejahatan, dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi kelompok rentan.
Sanksi dalam sistem Islam dirancang bukan hanya sebagai hukuman, tetapi juga pencegah (zajr) bagi masyarakat luas. Kejahatan terhadap anak dan perdagangan manusia termasuk bentuk pelanggaran berat yang dalam hukum Islam berada di tingkat jarimah besar dan dapat dikenai sanksi keras. Namun penegakan hukum saja tidak cukup; negara juga wajib membentuk ekosistem masyarakat yang bertakwa, menguatkan pendidikan moral, serta menyediakan sistem sosial yang mencegah kejahatan sejak akarnya.
Kisah Bilqis menampar kesadaran kita bahwa negara belum optimal menciptakan lingkungan ramah anak. Keamanan publik yang rapuh, hukum yang tumpul terhadap TPPO, serta mudahnya pihak rentan dimanipulasi adalah bukti bahwa kita membutuhkan pembenahan menyeluruh. Dalam pandangan Islam, negara yang kuat adalah negara yang mampu melindungi jiwa setiap warganya—terutama anak-anak. Tragedi ini semestinya menjadi peringatan keras bahwa perlindungan anak bukan retorika, tetapi kewajiban moral, sosial, dan syar’i. Semoga kasus Bilqis menjadi titik balik menuju sistem yang lebih adil dan manusiawi bagi masa depan generasi kita.
Via
OPINI
Posting Komentar