OPINI
Nikah Beda Agama, Romantisme dalam Jerat Kapitalisme
Oleh: Nia Novita Sari, S.Pd
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Dikutip dari detik.com (07-11-2025), seorang pemuda bernama Muhammad Anugrah Firmansyah melayangkan gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) terkait aturan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang berisi larangan atas pernikahan beda agama. Anugrah yang beragama Islam tidak bisa menikahi kekasihnya yang beragama Kristen dikarenakan pasal yang berbunyi: ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’. Anugrah menilai UU tersebut menghasilkan praktik diskriminatif sehingga membuat dirinya merasa dirugikan, karena dalam penerapannya ada larangan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang memiliki perbedaan agama dan kepercayaan, seolah-olah hanya pernikahan seagama yang dapat dicatatkan atau dianggap sah dalam negara. Di mana hal itu berarti membuat posisi mereka tidak jelas, yaitu tidak bisa menikah di KUA karena berbeda agama, dan tidak diterima di catatan sipil karena dianggap bertentangan dengan ketentuan sahnya perkawinan. Ia merasa aturan ini multitafsir dan merugikan hak konstitusionalnya.
Tak memiliki jalan lain, kemudian ia mengajukan uji banding (judical review) terhadap UU Perkawinan tersebut dan gugatannya diterima dan diregistrasi oleh MK sebagai Perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025. Dalam sidang perdana, Anugrah memaparkan kerugian yang dialami dikarenakan UU tersebut, di mana ia tidak dapat menikahi kekasih yang sudah menjalin hubungan bersamanya selama 2 tahun. Ia meminta kepada MK memberikan kepastian hukum agar pernikahan beda agama bisa tercatat dalam negara tanpa harus memaksa salah satu pihak mengubah keyakinannya.
Setelah persidangan usai dan gugatan terpublikasi, media mulai ramai memberitakan hal tersebut. Sehingga muncul perdebatan di ruang publik, muncul dua kubu yang saling berlawanan. Ada yang pro terhadap gugatan tersebut karena menganggap itu hak warga negara dan kebebasan sipil. Kemudian tidak sedikit pula yang kontra, karena menganggap itu bertentangan dengan ajaran agama, karena dapat merusak tatanan keluarga dalam perspektif agama. Perdebatan masih terus berlangsung dan semua perhatian kini tertuju ke MK menanti bagaimana hasil putusan yang akan dikeluarkan.
Kebebasan di Luar Batas
Pernikahan beda agama bukan hal yang baru kita dengar. Mungkin jika ditanyakan kepada kawula muda saat ini, akan ada yang menganggap aksi yang dilakukan oleh Anugrah adalah tanda gentleman, mau memperjuangkan pasangan dengan mendobrak aturan. Padahal sejatinya yang dilakukan hanyalah hal semu. Karena di balik narasi indah ‘cinta harus diperjuangkan’, ada realita yang jauh lebih rumit di belakangnya, karena pernikahan bukan hanya perkara menyatukan dua hati yang sedang jatuh cinta, tetapi menyatukan dua keyakinan, dua pandangan, dan tujuan hidup, sampai dua arah masa depan. Dalam perjalanan rumah tangga, pasangan yang berbeda agama akan mengalami bentrokan dalam menjalani kehidupan, mulai dari pengaturan ibadah, pendidikan anak, hingga pengambilan keputusan yang pasti melibatkan aturan agama. Ketika pondasi iman yang tak sama, cinta yang awalnya terlihat seperti perjuangan justru akan menjadi beban ego untuk mempertahankan kepercayaan masing-masing, hingga akhirnya berujung konflik yang tak terhindarkan.
Jika kita menelisik lebih jauh, persoalan pernikahan beda agama adalah persoalan sistemik. Memang benar negara telah membuat aturan tentang hal itu, tapi seolah itu hanyalah tulisan di atas kertas, karena itu hanya aturan tertulis tanpa ada praktik. Bagaimana tidak? Negara seolah melarang pernikahan beda agama, tapi nilai-nilai liberalisme terus dibiarkan masuk tanpa filter. Masyarakat terus dicekoki dengan narasi hak kebebasan hak berpendapat. Dari sini kita bisa melihat kelemahan dan cacatnya sistem kapitalisme-demokrasi yang seolah melarang dengan satu tangan, tapi membebaskan dengan tangan yang lain.
Dalam sistem kapitalisme budaya pacaran dianggap hal yang boleh dilakukan, sehingga tercipta pandangan dalam masyarakat pacara itu normal, walaupun ia seorang muslim. Ditambah lagi media yang terus menyajikan konten romantisme, mulai dari lagu, film, sampai konten harian sosial media, semakin mengikis nilai agama. Dampaknya adalah kebebasan berperilaku untuk meraih kebahagian menjadi standar hidup. Inilah cerminan buruk kapitalisme-demokrasi yang di luar seakan tampak manis, akan tetapi mengandung racun yang mampu membius kaum Muslimin. Kapitalisme menjadikan seolah agama hanyalah identitas semata, bukan pedoman hidup yang harus diikuti.
Bagaima Islam Memandang?
Islam telah mengatur bagaimana pengaturan interaksi antara lelaki dan perempuan, bukan sebagai pengekangan akan tetapi sebagai upaya penjagaan hati, kehormatan, masa depan, dan nasab. Islam memahami bahwa rasa suka kepada lawan jenis adalah naluri yang pasti dimiliki oleh setiap manusia, akan tetapi kembali lagi bahwa naluri adalah sesuatu yang pemenuhannya tidak pasti. Jadi bagaimana pemenuhan naluri ini bergantung pada pola pikir dan pola sikap yang dimilikinya. Apabila seseorang memiliki pola pikir dan pemahaman Islam, dengan meyakini Allah Maha Melihat dan kita semua akan dimintai pertanggungjawaban atas segala hal yang dilakukan di dunia, sudah barang tentu pola sikap yang dihasilkan dengan selalu mengikuti rambu hukum syara yaitu dengan menjaga pandangan, menjauhi zina, dan jika sudah mampu maka akan melaksanakan pernikahan.
Islam dengan tegas melarang khalwat dan ikhtilat. Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan perempuan kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khalwat adalah aktivitas berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Ikhtilat adalah aktivitas campur baur antara laki-laki dan perempuan dalam suatu tempat, dan muncul aktivitas di dalamnya. Ikhtilat yang diperbolehkan dalam Islam hanya dalam 4 hal, yaitu jual beli, kesehatan, pendidikan, dan ibadah seperti haji. Pembatasan yang seperti ini bukan untuk membatasi ruang gerak akan tetapi sesungguhnya bentuk kasih sayang, rahmat dan penjagaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
Nilai liberalisme yang masuk dan meracuni pemikiran kaum Muslimin saat ini karena tak adanya sistem Islam yang memprotect segala pemikiran asing. Jika kembali ke permasalahan awal pernikahan beda agama, sudah barang tentu hal ini tidak akan terjadi karena Daulah akan memastikan tidak ada hubungan antara laki-laki dan perempuan kecuali dalam ikatan pernikahan dan landasan pernikahan adalah untuk meraih ridho Allah. Maka sudah pasti tidak diperbolehkan untuk menikahi orang musyrik.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman…” (TQS. Al-Baqarah: 221)
Sudah seharusnya di era modernisasi sekarang, kita lebih jeli melihat setiap masalah baru. Jangan sampai kita terjerumus ke dalam hal-hal yang bertentangan dengan hukum syarak. Hanya melalui penerapan Islam secara Kaffah lah, kita akan mampu membentengi diri, keluarga, dan negara dari hukum-hukum kufur seperti demokrasi, sekularisme, dan liberalisme.
Via
OPINI
Posting Komentar