OPINI
Niat Menikah karena Apa? Sebuah Renungan di Tengah Meningkatnya Kasus Perceraian
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Belakangan ini, publik Indonesia dibuat heboh oleh rentetan kabar perceraian dari kalangan artis dan influencer tanah air. Satu demi satu rumah tangga yang dulu terlihat harmonis kini harus rela kandas di tengah jalan. Tak berhenti di situ, kasus serupa juga ramai muncul dari masyarakat biasa yang tersebar di media sosial dengan berbagai latar belakang, mulai dari persoalan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, hingga diakibatkan perasaan hampa akibat pengabaian pasangan.
Rentetan kasus perceraian yang beriringan dengan maraknya perselingkuhan kini menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Seolah-olah badai sedang melanda banyak rumah tangga sekaligus. Di media sosial, para netizen bahkan berseloroh bahwa Jin Dasim (Jin yang dipercaya ditugaskan khusus untuk menganggu keharmonisan rumah tangga) ini sedang “kejar setoran” menjelang akhir tahun.
Angka perceraian di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini menimbulkan ketakutan tersendiri di tengah masyarakat, terutama bagi mereka yang belum menikah. Seolah-olah pernikahan kini menjadi sesuatu yang menakutkan. "Married is scary," kata sebagian orang. Bahkan tak sedikit yang akhirnya berpikir, lebih baik tidak menikah sama sekali daripada harus berakhir dengan perceraian yang menyakitkan.
Maraknya kasus perceraian membuat banyak orang bertanya-tanya: sebenarnya, mengapa perceraian itu terjadi?
Alasan yang sering muncul adalah karena “sudah tidak ada kecocokan.” Ungkapan itu terdengar sederhana, namun sesungguhnya menyimpan banyak hal di baliknya. Memang, tak sedikit rumah tangga yang retak diakibatkan oleh persoalan ekonomi, kekerasan, atau perselingkuhan. Namun di luar semua itu, ada akar atau pondasi yang hampir tak pernah dipertanyakan, yakni hilangnya kesadaran tentang niat di awal pernikahan.
Jika kita renungkan, dalam hubungan suami istri sebenarnya tidak ada yang benar-benar cocok seratus persen. Dua manusia dengan latar belakang, kebiasaan, dan cara berpikir yang berbeda pasti memiliki banyak perbedaan. Maka yang menyatukan bukanlah kesamaan, melainkan niat. Apa yang menjadi niat di awal pernikahan, itulah yang akan menjadi arah dan kekuatan untuk menjalaninya.
Acapkali, ketika calon pengantin ditanya tentang niat menikah, jawabannya hampir selalu sama, yakni untuk ibadah. Namun sayangnya, kalimat itu sering kali berhenti di bibir dan belum benar-benar meresap ke dalam hati. Sebab, jika kita jujur menelisik, banyak pernikahan justru berawal dari niat yang keliru.
Ada yang menikah karena merasa waktunya sudah “terlambat,” ada yang terdesak omongan tetangga, ada pula yang sekadar terburu oleh rasa cinta tanpa memahami sifat asli pasangan atau kemampuan diri dalam menoleransi perbedaannya kelak saat berumah tangga.
Ada yang menikah karena tertarik rupa; ia cantik, ia tampan. Ada pula yang tergoda status dan jabatan, PNS, pegawai mapan, atau orang yang tampak “stabil.” Tak sedikit juga yang ikut tren menikah muda, tanpa benar-benar siap secara mental dan spiritual. Bahkan ada yang menikah karena calon pasangannya seorang hafidz Qur’an, seolah jaminan bahwa hidup akan selalu damai dan penuh keberkahan. Namun, akhirnya yang muncul adalah kecewa.
Sebab setelah menikah, wajah yang dulu tampak sempurna ternyata biasa saja di balik letih dan rutinitas. Jabatan tak lagi menenangkan saat masalah datang. Harta bisa menipis, status bisa hilang, dan penghafal Qur’an pun tak menjamin berperilaku tanpa cela. Siapa pun yang menikah karena sesuatu yang fana, akan diuji dengan kefanaan itu. Karena pada akhirnya, yang tampak indah di awal bisa berubah menjadi ujian di tengah jalan.
Bahkan ketika seseorang menikah hanya demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari pasangannya, ujian akan datang dari arah yang tak disangka. Ekspektasi yang tinggi, ketika berhadapan dengan realitas yang jauh dari harapan, sering kali menjadi pemicu utama retaknya hubungan. Yang tersisa bukan lagi kebahagiaan, melainkan kekecewaan, bahkan trauma. Pertengkaran yang tak berkesudahan menjadikan rumah tangga seperti medan tuntutan. Suami dan istri saling meminta untuk dipahami, tanpa benar-benar berusaha memahami. Hingga hakikat dan tujuan pernikahan pun perlahan terlupakan.
Padahal, pernikahan adalah ibadah terpanjang dalam hidup manusia. Rasulullah ï·º bersabda bahwa menikah adalah penyempurna separuh agama. Namun betapa ironisnya, penyempurna separuh agama itu justru kerap berubah menjadi sumber luka, bahkan terasa seperti neraka dunia. Dan semua itu bermula dari satu hal, yakni niat yang salah di awal.
Bagi seorang laki-laki, tanggung jawab memberi nafkah adalah bentuk jihad, dan apabila ia wafat dalam perjuangan itu, maka kematiannya dihitung sebagai syahid. Sementara bagi seorang wanita, perannya sebagai istri bisa menjadi jalan menuju surga, selama ia menjaga shalatnya, berpuasa di bulan Ramadan, memelihara kehormatannya, menjaga harta suaminya, dan menaati suaminya dengan ikhlas. Semua itu tampak sederhana, tetapi sering kali tumbang oleh satu musuh yang paling berat, yakni ego manusia.
Untuk itulah ganjarannya surga. Sebab surga memang hanya pantas bagi mereka yang mampu menundukkan diri. Karena dalam kenyataannya, menjalani rumah tangga bukan perkara mudah. Ia adalah perjalanan panjang yang dipenuhi ujian. Menyatukan dua kepala, menahan amarah, mengalah, bersabar, dan bertahan, semua itu tidak mungkin bisa dilakukan jika niatnya bukan karena Allah.
Hanya dengan niat yang lurus, cinta bisa bertahan meski diterpa ujian. Hanya dengan niat karena Allah, rumah tangga bisa menjadi jalan menuju surga.
Karena ketika seseorang hendak berbuat hal yang melampaui batas, seharusnya ia segera teringat pada tujuan awal pernikahannya. Apa niatku dulu saat memutuskan menikah? Jika jawabannya adalah karena Allah, maka pertanyaan berikutnya akan muncul di hati: Apakah Allah akan ridha jika aku melakukan ini?
Pada titik itu, tak ada pilihan lain selain menahan diri, mengalah, dan bersabar. Sebab semua itu dilakukan bukan untuk manusia, tetapi karena Allah semata.
Pada akhirnya, pernikahan bukan tentang siapa yang paling kuat bertahan, atau siapa yang paling banyak berkorban. Pernikahan adalah tentang dua jiwa yang sama-sama belajar menundukkan ego demi ridha Allah.
Karena ketika cinta berpijak pada dunia, ia mudah rapuh. Namun ketika cinta berlabuh pada Allah, ia akan menemukan arah, sekalipun badai datang silih berganti. Di sanalah makna sejati dari pernikahan itu hidup. Bukan sekadar menyatu dalam rumah, tapi menyatu dalam doa yang sama, yakni agar Allah menjaga cinta ini sampai surga.***
Via
OPINI
Posting Komentar