OPINI
Lunturnya Jati Diri Lelaki, Krisis Maskulinitas di Era Modern
Oleh: Rahmayanti, S.Pd
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Di tengah derasnya arus globalisasi, masyarakat Indonesia mulai dihadapkan pada fenomena sosial yang kian mencuat yakni semakin banyaknya pria yang menampilkan perilaku gemulai, baik dalam gaya bicara, ekspresi, hingga cara berpakaian. Bagi sebagian orang, fenomena ini dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Namun bagi banyak lainnya, perubahan ini dipandang mengkhawatirkan terutama ketika menyentuh ranah identitas, moralitas, dan peran sosial laki-laki dalam masyarakat.
Fenomena sosial yang tidak berdiri sendiri, perilaku gemulai bukanlah muncul secara spontan ia timbul dari berbagai faktor seperti, gempuran budaya barat yang begitu mengagungkan kebebasan diaktualisasikan di media sosial, sehingga gaya feminis jadi popular. Terus faktor berikutnya adanya krisis figur ayah, banyak anak-anak tumbuh tanpa teladan dari sosok ayah yang menggambarkan kuatnya kemaskulinan lelaki. Kemudian faktor perubahan lingkungan sosial, dimana batasan gender menjadi kabur. Serta faktor kurangnya pendidikan karakter yang menguatkan jati diri laki-laki.
Wacana pembinaan karakter generasi muda kembali menjadi sorotan di Kutai Timur. Gagasan itu muncul dari pejabat daerah yang menilai perlu adanya langkah serius untuk membentuk keperibadian remaja di sekolah. Namun rencana tersebut justru menimbulkan beragam reaksi, terutama dari kalangan pemuda yang menilai pendekatan pemerintah perlu lebih berhati-hati. Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim), Mahyunadi, mewacanakan pendataan terhadap siswa laki-laki yang dianggap berperilaku seperti perempuan atau gemulai. Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari upaya pembinaan agar generasi muda tumbuh dengan karakter kuat dan berani. Ia menegaskan, pendataan itu tidak bermaksud memberikan stigma, melainkan sebagai bentuk perhatian khusus bagi siswa yang dianggap perlu diarahkan kembali pada perilaku yang sesuai dengan karakter pemuda menuju generasi emas 2045 (kaltimpost.id, 10 November 2025).
Senada, marak pembahasan soal penertiban siswa gemulai di beberapa daerah mendapat tanggapan dari Duta Pemuda Putra Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Riswan. Menurutnya, karakter gemulai tidak mesti ditanggapi secara berlebihan apalagi mendapat diskriminasi dari masyarakat. Menurutnya gemulai bukan berarti penyimpangan seperti boti (istilah bahasa gaul yang digunakan untuk merujuk pada pria gay yang memposisikan dirinya sebagai perempuan) namun semata sifat feminism yang dominan pada diri seseorang (katakaltim,com, 10 November 2025).
Maraknya siswa gemulai sudah membuat resah sehingga pemerintah berniat untuk mendata dan membantu agar kembali menjadi normal, namun rencana itu justru disambut negatif. Banyak dukungan, komunitas dan orang-orang berani muncul menjadi trigger mereka.
Ada guru, orang tua, ataupun lembaga pendidikan tidak punya pedoman yang jelas menghadapi fenomena ini, dikarenakan tidak ada aturan yang tegas. Hal ini berkaitan juga dengan cara pandang sekuler yang sempit hanya seputar ibadah ritual semata. Sementara persoalan pendidikan, hiburan, sosial dan budaya berjalan tanpa sentuhan agama. Akhirnya berdampak di persoalan remaja yang tidak memiliki standar moral yang mengatur batas-batas ekspresi gender, kebebasan bersuara dan berpendapat. Sekolah tidak punya pedoman berbasis agama. Segala perilaku dianggap memiliki hak azasi tanpa ada ukuran standar halal dan haram.
Sistem kapitalisme sekuler mengutamakan kebebasan berekspresi, kebebasan identitas, kebebasan berperilaku di tengah masyarakat. Kemudian membatasi peran negara, negara tidak boleh ikut campur mengatur moral atau perilaku sosial, negara hanya berperan tatkala ada pelanggaran hukum fisik. Karena adanya komunitas gaya hidup tertentu tidak dikenai pembinaan atau aturan. Dan lebih parahnya lagi di sekolah tidak mendapatkan instruksi kurikulum berdasarkan agama, ditambah tidak ada sanksi yang tegas terkait perilaku menyimpang yang merusak fitrah ini.
Islam mengatur agar laki-laki tampil dan berperilaku sebagaimana laki-laki dan perempuan sebagai perempuan, ketentuan ini bukan untuk mengekang, akan tetapi untuk menjaga fitrah, kehormatan dan stabilitas sosial. Rasulullah bersabda:
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari)
Artinya, Islam menegaskan batas-batas ekspresi gender untuk melindungi tatanan sosial dan keluarga. Perlu dicatat bahwa Islam melarang peruatannya bukan membenci individunya.
Di dalam Islam mendorong peran keluarga secara maksimal yaitu membangun keteguhan identitas dan fitrah pada diri remaja dengan melakukan penguatan fitrah sejak kecil, keluarga mengarahkan agar remaja memilih teman yang baik, bukan yang mendorong pada perilaku gemulai atau gaya hidup menyimpang. Dengan menyalurkan energinya ke hal-hal positif seperti olahraga, berorganisasi, kegiatan remaja masjid atau komunitas yang positif, mengurangi tontonan yang mendorong pada hal-hal negatif.
Masyarakat yang memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan sosial yang menjaga fitrah dengan cara memberikan ruang aman bagi remaja untuk mencari jati diri dengan bimbingan agama. Dan tidak memberikan panggung yang mendorong untuk mempromosikan perilaku menyimpang. Tidak menormalisasikan konten dan tontonan yang gemulai.
Yang tak kalah pentingnya juga adalah peran negara yang mengendalikan informasi dan budaya dengan cara memblokir tontonan yang mempromosikan feminisasi laki-laki. Cross gender humor, atau gaya hidup hedonis, kemudian mendorong tontonan yang positif, serta melarang menyebarkan kemungkaran dan penyimpangan fitrah. Di dunia Pendidikan, negara mengatur kurikulum pendidikan berbasis akidah dan akhlak. Di bagian hukum, negara dengan tegas memberikan sanksi kepada pelaku yang tidak mau bertaubat atas perbuatannya.
Wallahu a’lam.
Via
OPINI
Posting Komentar