SP
Hari Santri: Momen Aktivasi Santri sebagai Agen Perubahan
TanahRibathMedia.Com—Peringatan Hari Santri setiap tanggal 22 Oktober kembali digelar dengan meriah. Upacara, kirab, pembacaan kitab kuning, hingga festival sinema dan berbagai lomba menjadi agenda rutin di berbagai daerah.
Tahun ini, tema yang diusung adalah “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Presiden Prabowo Subianto mengajak para santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan, sekaligus mengingatkan semangat Resolusi Jihad yang dipelopori KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 (Setneg.go.id, 24-10-2025).
Namun, di balik semaraknya perayaan itu, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah semangat perjuangan santri hari ini masih searah dengan cita-cita jihad para ulama terdahulu — atau justru bergeser menjadi seremoni tanpa ruh perjuangan?
Fakta menunjukkan bahwa peringatan Hari Santri kini lebih banyak menonjolkan aspek simbolik ketimbang substansi. Padahal, hakikat santri sejati adalah faqih fiddin — mendalami agama hingga melahirkan cara berpikir yang cemerlang, tajam dalam memahami realitas, dan berani menegakkan kebenaran di tengah kebatilan.
Santri sejati bukan hanya yang pandai membaca kitab, tetapi juga yang peka terhadap kondisi umat serta memiliki kesadaran untuk menumpas segala bentuk kemungkaran yang merusak tatanan kehidupan.
Sayangnya, banyak santri hari ini diarahkan untuk sekadar menjadi penjaga moral yang pasif, bukan penggerak perubahan yang visioner. Realitas umat hari ini menunjukkan bahwa kemunduran dan kerusakan moral bukanlah hal yang berdiri sendiri. Kemungkinan terbesar penyebabnya adalah diterapkannya sistem kufur di tengah umat — sistem yang menyingkirkan hukum Allah dari pengaturan kehidupan.
Selama umat hidup dalam naungan sistem sekuler kapitalistik, nilai-nilai Islam hanya akan dijadikan pelengkap seremoni, bukan pedoman hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam kondisi ini, peran santri sering digiring untuk mendukung program “moderasi beragama” atau “pemberdayaan ekonomi” — dua agenda yang tampak indah, tetapi sejatinya menjauhkan santri dari misi utama: menjaga kemurnian akidah dan menegakkan syariat Allah sebagai solusi hidup.
Mengembalikan Peran Strategis Santri dan Pesantren
Pesantren seyogianya menjadi benteng peradaban Islam — tempat lahirnya generasi yang berilmu, berani, dan berpikir cemerlang dalam menghadapi tantangan zaman. Dari pesantrenlah semestinya lahir santri yang siap berdiri di barisan terdepan dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan menumpas kemungkaran — bukan santri yang hanya menjadi pelengkap wacana pembangunan.
Negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin eksistensi pesantren sesuai visinya: mencetak pejuang yang tangguh, faqih dalam agama, serta siap melawan segala bentuk penjajahan dan kezaliman.
Hari Santri semestinya menjadi momen kebangkitan kesadaran, bukan sekadar seremoni tahunan. Sudah saatnya santri mengambil kembali peran strategisnya sebagai agen perubahan sejati — yang berpikir dengan kecerdasan ruhiyah, berjuang menegakkan syariat Allah, dan berani menumpas segala bentuk kemungkaran yang menodai kehidupan umat.
Kemenangan hakiki bukan terletak pada banyaknya pujian dunia, melainkan pada keberanian menegakkan kebenaran dan menjaga cahaya Islam agar tetap menyala di tengah kegelapan zaman.
Mutmainah Iin
(IRT dan Pengemban Dakwah Ideologis)
Via
SP
Posting Komentar