OPINI
BLT dan Magang Nasional: Solusi Sesaat di Tengah Luka Struktural Ekonomi
Oleh: Raoda Boga, SE
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan stimulus ekonomi melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program magang nasional. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang mewakili Presiden Prabowo Subianto, menyebut langkah ini sebagai strategi cepat pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Jumlah penerima BLT ditingkatkan menjadi lebih dari 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) untuk periode Oktober hingga Desember 2025. Jika dihitung rata-rata empat jiwa per keluarga, program ini diperkirakan menjangkau sekitar 140 juta penduduk Indonesia (Antaranews, 17-10-2025).
Penerima bantuan difokuskan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama dari desil satu hingga empat, berdasarkan data sosial ekonomi nasional. Tambahan bantuan ini berada di luar program reguler seperti PKH dan sembako yang sebelumnya sudah menjangkau puluhan juta keluarga. Tujuannya sederhana: memberi napas sementara bagi masyarakat kecil di tengah tekanan ekonomi global yang tak menentu.
Selain itu, pemerintah juga mengaktifkan kembali program magang nasional yang diharapkan dapat menekan angka pengangguran. Diluncurkan pada 15 Oktober 2025, program ini ditujukan bagi lulusan baru Diploma dan Sarjana yang menyelesaikan pendidikan maksimal setahun sebelumnya. Hingga menjelang peluncuran, tercatat lebih dari 450 perusahaan berpartisipasi, dengan menyediakan ribuan posisi magang bagi sekitar 6.000 peserta. Peserta dijanjikan upah setara UMR daerah selama enam bulan. Meski tampak menjanjikan, berbagai kalangan menilai program ini belum cukup kuat menyentuh akar persoalan pengangguran, yang lebih bersifat struktural daripada teknis (Kemnaker, 05-10-2025).
Kemiskinan Struktural di Balik Bantuan Tunai
Kebijakan seperti BLT dan magang nasional memang bisa memberi harapan jangka pendek. Namun di balik semangat “pemulihan ekonomi”, tersimpan kenyataan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan semata akibat malasnya rakyat, melainkan hasil dari sistem ekonomi yang tidak berpihak.
Dalam logika kapitalisme, kesejahteraan kerap dimonopoli oleh mereka yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan, sementara masyarakat bawah harus berjuang di tengah keterbatasan.
Pendapatan masyarakat kecil jarang meningkat seiring kenaikan harga kebutuhan pokok, pendidikan, dan layanan publik. Bantuan tunai akhirnya hanya berfungsi sebagai penenang sementara, bukan penyembuh luka struktural. Setelah bantuan usai, rakyat tetap berhadapan dengan masalah yang sama: pekerjaan sulit, harga melambung, dan kebijakan ekonomi yang masih condong pada pemilik modal.
Sistem ekonomi hari ini ibarat mesin besar yang menggerus tenaga rakyat namun hanya mengembalikan remah hasil kerja mereka. Pemerintah seolah menutup luka sosial dengan plester uang tunai tanpa mengobati sumber penyakitnya. Akibatnya, kemiskinan terus diwariskan dari generasi ke generasi, bukan diselesaikan.
Paradigma Kapitalisme dan Akar Ketimpangan
Akar persoalan sebenarnya terletak pada paradigma ekonomi yang dianut negara, yaitu kapitalisme. Ideologi ini memberikan ruang seluas-luasnya bagi individu dan korporasi untuk menguasai sektor publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan sumber daya alam. Negara hanya berperan sebagai regulator pasar, bukan pelindung kesejahteraan rakyat.
Dampaknya terlihat jelas: kesenjangan sosial melebar. Mereka yang memiliki modal semakin kaya, sedangkan masyarakat kecil terus berjuang memenuhi kebutuhan hidup. Ironisnya, sistem pendidikan nasional kini lebih diarahkan untuk melayani kepentingan industri ketimbang membangun daya kritis dan kemandirian intelektual. Banyak lulusan akhirnya bekerja tidak sesuai bidang keahlian, atau bahkan terpaksa menerima pekerjaan jauh di bawah kompetensi akademiknya.
Kondisi ini semakin rumit dengan masuknya tenaga kerja asing yang bersaing dengan pekerja lokal. Di sisi lain, dorongan pemerintah agar masyarakat berwirausaha memang terdengar positif, tetapi dalam praktiknya justru menunjukkan gejala pengunduran negara dari tanggung jawab sosial. Warga dipaksa mandiri tanpa jaminan, sementara ketika usahanya mulai tumbuh, mereka dihadapkan pada beban pajak baru.
Padahal, menyediakan lapangan kerja dan menjamin kesejahteraan rakyat adalah fungsi dasar negara, bukan beban individu. Selama negara hanya menjadi penyalur bantuan sementara, kesejahteraan sejati akan tetap menjadi janji tanpa realisasi.
Islam Menawarkan Solusi Struktural, Bukan Sesaat
Islam hadir dengan sistem ekonomi yang adil dan menyeluruh, menempatkan negara sebagai pengelola urusan rakyat (ri’ayah syu’un al-ummah). Berbeda dengan kapitalisme yang menuntut rakyat bertahan sendiri, Islam menetapkan tanggung jawab besar pada negara untuk menjamin kesejahteraan setiap warganya.
Beberapa langkah konkret yang diajarkan Islam antara lain:
1. Negara menciptakan lapangan kerja.
Negara wajib mengelola sumber daya alam milik umum, dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat melalui penyediaan kebutuhan dengan harga murah atau bahkan gratis. Selain itu, pengembangan industri alat berat juga dilakukan untuk mendukung sektor-sektor strategis lain, sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
2. Distribusi tanggung jawab kerja yang proporsional.
Islam menugaskan laki-laki sebagai pencari nafkah, sementara perempuan diberi peran utama sebagai pendidik generasi. Ketentuan ini menghindari persaingan tidak sehat di pasar tenaga kerja dan memastikan stabilitas sosial.
3. Reformasi pertanian dan kepemilikan lahan.
Tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun bisa diambil alih negara untuk diberikan kepada rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan begitu, lahan produktif meningkat dan pengangguran di sektor pertanian berkurang.
4. Pendidikan dan kesehatan gratis untuk semua.
Dalam Islam, pendidikan dan layanan dasar adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi negara tanpa biaya. Dengan jaminan ini, masyarakat dapat berkembang tanpa terhambat beban ekonomi.
Langkah-langkah tersebut hanya dapat terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariat secara menyeluruh (kaffah). Dalam sistem ini, negara tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari)
Penutup
Selama sistem ekonomi masih berporos pada kapitalisme, setiap bantuan pemerintah hanya akan menjadi solusi sementara di tengah luka struktural yang dalam.
Islam menawarkan jalan keluar yang lebih mendasar: sistem ekonomi yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai amanah, bukan komoditas politik.
Negara yang berlandaskan syariat tidak sekadar menyalurkan bantuan, melainkan menata struktur ekonomi agar setiap individu bisa hidup dengan layak dan bermartabat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Via
OPINI
Posting Komentar