OPINI
Normalisasi dengan Zionis: Perangkap AS untuk Melanggengkan Penjajahan
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Baru-baru ini, Turki menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat Israel, buntut dari kejahatan perang yang dilakukan di Jalur Gaza. Langkah ini diumumkan oleh pihak otoritas Turki sebagaimana dilaporkan TVOne News (6 November 2025), setelah gelombang kemarahan publik terhadap kebiadaban Zionis terus meningkat. Namun, di balik sorotan terhadap Turki, muncul ironi besar: di saat satu negara tampak “mengecam”, negara-negara lain justru menjalin hubungan mesra dengan Israel.
Terbaru, Kazakhstan resmi bergabung dalam Abraham Accords — kesepakatan normalisasi diplomatik dengan Israel yang diprakarsai Amerika Serikat. Antara.News (2-11-2025) melaporkan bahwa Hamas mengecam keras langkah tersebut, menyebutnya sebagai pembenaran terhadap agresi Israel atas Gaza. Normalisasi ini menjadi babak baru dari strategi geopolitik AS yang bertujuan untuk memperluas legitimasi rezim Zionis di dunia Islam.
Tak berhenti di situ, banyak negeri Muslim yang sebelumnya mengaku pro-Palestina kini mulai menunjukkan sikap ambivalen. Mereka mengutuk Israel di forum publik, tetapi tetap menjalin kerja sama ekonomi, pertahanan, dan teknologi di belakang layar. Fenomena ini menunjukkan bahwa normalisasi dengan Zionis bukan sekadar diplomasi, melainkan bagian dari perangkap strategis Amerika untuk melanggengkan penjajahan atas Palestina.
Normalisasi: Strategi Perangkap Amerika dan Sekutunya
Sejak awal, Abraham Accords bukanlah perjanjian damai, tetapi alat politik untuk menundukkan dunia Islam agar mengakui keabsahan negara penjajah. Dengan menggandeng negara-negara Muslim melalui iming-iming investasi, bantuan keamanan, dan dukungan politik, AS berhasil mengubah isu Palestina dari perjuangan pembebasan menjadi sekadar urusan bilateral.
Normalisasi hubungan dengan Israel sama artinya dengan menutup mata terhadap genosida dan penjajahan yang berlangsung selama puluhan tahun. Gaza hancur, ribuan nyawa bayi dan anak tak berdosa melayang, bencana kelaparan yang sedemikian parah, wabah penyakit akibat sanitasi buruk, rumah sakit runtuh, namun para penguasa Muslim sibuk berunding soal kerja sama ekonomi dan “stabilitas kawasan”. Inilah wajah nyata pengkhianatan modern—pengkhianatan yang dibungkus dengan narasi diplomasi damai.
Bahkan Turki yang kini tampak berani mengeluarkan surat penangkapan terhadap Netanyahu, sejatinya masih mempertahankan hubungan dagang dan diplomatik dengan Israel. Mereka mengecam di podium, tapi kapal dagang tetap berlayar. Sikap kontradiktif ini menunjukkan bahwa kepentingan nasional dan tekanan politik global lebih diutamakan ketimbang pembelaan tulus terhadap umat Islam di Gaza.
Ketika Nasionalisme dan Ketundukan pada Barat Membungkam Umat
Selama isu Palestina diletakkan dalam bingkai nasionalisme sempit, maka penjajahan akan terus berlanjut. Para penguasa Muslim menolak bersatu karena terikat oleh batas buatan kolonial: Turki dengan kepentingannya sendiri, Mesir dengan politiknya, dan negara Teluk dengan kalkulasi ekonominya. Padahal, penderitaan Palestina bukan isu lokal, melainkan masalah seluruh umat Islam.
Amerika dan sekutunya paham betul kelemahan ini. Mereka menciptakan ilusi bahwa perdamaian bisa dicapai melalui perundingan dan normalisasi, padahal hakikatnya itu hanyalah legitimasi terhadap status quo penjajahan Zionis. Bahkan, saat Turki mengusulkan pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza, Israel dengan tegas menolak, dan AS pun mendukung penolakan itu (CNN Indonesia, 6 November 2025). Artinya, bahkan langkah-langkah simbolik pun tidak akan pernah menembus tembok dominasi Barat.
Islam Menawarkan Solusi Nyata: Jihad dan Khilafah
Islam memandang penjajahan atas tanah umat sebagai kejahatan yang harus dicabut hingga ke akar-akarnya. Tidak ada ruang kompromi dengan penjajah. Maka, solusi tuntas atas penderitaan Gaza bukanlah normalisasi atau konferensi damai, melainkan jihad fi sabilillah di bawah kepemimpinan satu otoritas politik umat—Khilafah.
Khilafah adalah junnah (perisai) bagi kaum Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim)
Dalam sistem Khilafah, pembelaan terhadap negeri Muslim bukanlah opsi politik, tapi kewajiban syar’i. Negara akan mengerahkan kekuatan militer untuk menghentikan agresi, bukan hanya mengirim bantuan simbolik. Khilafah juga akan menghentikan seluruh kerja sama politik dan ekonomi dengan entitas penjajah, serta memimpin umat untuk membebaskan Palestina secara hakiki, bukan sekadar retorika diplomasi.
Kesadaran Umat: Jalan Menuju Kemerdekaan Sejati
Umat Islam hari ini harus sadar bahwa selama penguasa mereka tunduk pada tekanan Barat, penderitaan Gaza tidak akan pernah berakhir. Normalisasi hanyalah bentuk baru penjajahan, dan nasionalisme hanyalah alat untuk memecah-belah kekuatan umat.
Kebangkitan sejati hanya akan datang ketika umat kembali kepada identitas Islamnya yang utuh, menolak sistem buatan penjajah, dan memperjuangkan tegaknya kembali kehidupan Islam yang menyatukan seluruh negeri Muslim dalam satu kepemimpinan. Inilah jalan yang ditempuh Rasulullah ï·º di Madinah—perjuangan dakwah dan pembinaan yang melahirkan kekuatan politik independen di bawah bendera Islam.
Penutup
Normalisasi hubungan dengan Zionis adalah pengkhianatan terhadap darah para syuhada Palestina. Ia bukan langkah damai, melainkan strategi Amerika untuk memastikan penjajahan tetap langgeng. Sementara para penguasa Muslim sibuk mempertahankan kursinya, anak-anak Gaza terus berguguran di bawah bom dan blokade.
Sudah saatnya umat Islam tidak lagi tertipu oleh jargon diplomasi dan normalisasi. Solusi yang hakiki bukanlah perundingan, tetapi kembali kepada sistem Islam yang melahirkan kepemimpinan politik sejati—Khilafah—yang akan mencabut akar penjajahan dari bumi Palestina dan seluruh negeri umat.
Via
OPINI
Posting Komentar