OPINI
Menangkal Perundungan Bukan sekadar Nobar: Saatnya Kembali ke Sistem Pendidikan Islam
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena perundungan atau bullying di kalangan pelajar kembali mencuat ke permukaan. Baru-baru ini, pelajar SD dan SMP di Tanjungpinang mengikuti kegiatan nonton bareng (nobar) film bertema cyberbullying yang digagas untuk menumbuhkan kesadaran dan mencegah aksi perundungan di kalangan pelajar (TribunBatam.id, 5-11-2025). Upaya ini tentu patut diapresiasi, sebab menandakan adanya kepedulian terhadap isu sosial yang kian mengkhawatirkan. Namun, perlu diingat bahwa sekadar nobar bukanlah solusi yang menyentuh akar persoalan, apalagi jika dilihat dari sudut pandang sistem kehidupan yang melingkupinya.
Dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, kegiatan seperti nobar sering kali dilakukan tanpa memperhatikan batas-batas interaksi antara laki-laki dan perempuan. Campur-baurnya pelajar tanpa pengawasan yang ketat bisa menimbulkan ikhtilat, yakni percampuran bebas yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Niat awalnya edukatif, tetapi secara tidak langsung membuka ruang bagi pelanggaran nilai moral yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Di sisi lain, menonton film hanyalah stimulus emosional sesaat; tidak cukup kuat membentuk kesadaran mendalam untuk menolak perilaku perundungan dalam keseharian.
Lebih jauh, akar dari perilaku perundungan sejatinya terletak pada sistem dan lingkungan sosial yang membentuk kepribadian manusia. Dalam masyarakat kapitalistik, standar perilaku sering diukur dari kepuasan pribadi, popularitas, dan gengsi sosial. Media sosial memperparah kondisi ini — dengan menormalisasi ejekan, hinaan, dan konten yang merendahkan orang lain demi like dan followers. Akibatnya, perilaku kasar, mengejek, bahkan kekerasan verbal dianggap biasa dan bahkan menjadi simbol kehebatan. Lingkungan seperti ini jelas tidak mendidik, dan justru melahirkan generasi yang kehilangan arah moral.
Sebaliknya, Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar. Dalam sistem pendidikan Islam, pembentukan akhlak menjadi fondasi utama. Tujuan pendidikan bukan hanya mencetak generasi pintar, tetapi juga melahirkan pribadi yang salih dan berkepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah). Seorang Muslim sejati tidak akan melakukan perundungan, sebab setiap tindakannya diukur dengan hukum syariat, bukan hawa nafsu. Rasulullah ï·º bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dalam kesusahan).” (HR. Bukhari dan Muslim). Prinsip inilah yang menjadi tameng moral bagi setiap individu dalam masyarakat Islam.
Dalam sejarah kekhilafahan Islam, kasus-kasus perundungan atau penghinaan terhadap sesama bukanlah hal yang dibiarkan begitu saja. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra., pernah terjadi peristiwa di mana seorang pejabat memarahi bawahannya dengan kasar dan mempermalukannya di depan umum. Ketika kasus ini sampai ke telinga Khalifah, Umar segera menegur sang pejabat dengan keras. Ia menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan orang lain, karena setiap Muslim memiliki kehormatan yang dijamin oleh syariat. Umar bahkan memerintahkan pejabat tersebut untuk meminta maaf secara langsung di hadapan publik — sebuah bentuk keadilan sosial yang nyata.
Kisah lain datang dari masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Saat itu, seorang Yahudi menuduh Khalifah mencuri baju besinya. Ali tidak menggunakan kekuasaan untuk menekan lawan bicaranya, tetapi justru memilih jalan hukum dan membawanya ke pengadilan. Hakim memutuskan kemenangan untuk si Yahudi karena bukti-bukti lebih mendukungnya. Melihat keadilan Islam yang begitu tinggi, Yahudi itu pun akhirnya masuk Islam. Peristiwa ini menggambarkan betapa sistem Islam menolak segala bentuk ketidakadilan — termasuk penghinaan atau perundungan, karena semua manusia setara di hadapan hukum Allah.
Inilah bukti bahwa sistem Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga menjamin kehormatan dan harga diri setiap individu. Dalam Islam, bullying atau perundungan termasuk bentuk kezaliman yang memiliki konsekuensi hukum. Jika terbukti melukai fisik, maka pelakunya wajib dihukum sesuai tingkat pelanggaran; jika berupa penghinaan, maka pelakunya bisa dikenai sanksi ta’zir yang mendidik, bukan sekadar hukuman tanpa arah. Sistem hukum Islam tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab moral di tengah masyarakat.
Media dalam Islam pun memiliki peran penting. Ia bukan alat hiburan bebas seperti dalam sistem kapitalisme, tetapi berfungsi untuk mendidik, mengokohkan akidah, dan menyebarkan dakwah. Melalui media yang sehat dan terarah, generasi muda akan dibimbing untuk mencintai ilmu, menegakkan kebenaran, serta menjauhi perilaku yang merusak seperti perundungan.
Selain itu, keluarga juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak. Orang tua bukan hanya bertugas mencukupi kebutuhan materi, tetapi juga wajib menanamkan nilai iman dan adab sejak dini. Di tengah derasnya arus teknologi dan media sosial, pengawasan orang tua menjadi benteng utama. Anak-anak perlu dibimbing untuk menggunakan media dengan bijak, memahami batasan dalam berinteraksi, dan membangun empati terhadap sesama. Tanpa peran keluarga yang kuat, pendidikan formal akan kehilangan daya pengaruhnya.
Sekolah pun harus bertransformasi dari sekadar tempat belajar akademik menjadi pusat pembinaan moral dan spiritual. Guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga teladan akhlak bagi peserta didik. Sistem kurikulum berbasis Islam akan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai iman. Dengan begitu, pelajar tidak hanya tahu mana yang benar dan salah secara teori, tetapi juga terdorong untuk berbuat benar karena kesadaran spiritual, bukan sekadar takut pada sanksi dunia.
Pada akhirnya, upaya menanggulangi perundungan tidak cukup dengan nobar atau kegiatan seremonial lainnya. Diperlukan perubahan sistemik yang berpijak pada nilai-nilai Islam secara menyeluruh — mulai dari keluarga, pendidikan, hingga media. Islam telah membuktikan selama berabad-abad mampu melahirkan generasi beradab, saling menghormati, dan menjunjung tinggi kehormatan sesama manusia. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam kaffah, kita akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki akhlak mulia, empati tinggi, dan kesadaran penuh bahwa setiap manusia memiliki martabat yang dijaga oleh Allah Swt.
Via
OPINI
Posting Komentar