OPINI
Bisakah Nobar Cyberbullying Atasi Bullying?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dinas Pendidikan Kota Tanjungpinang menjadi salah satu instansi yang menindaklanjuti program nonton bersama (nobar) film bertema cyberbullying sebagai upaya mencegah kasus perundungan dan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan (Batam.tribunnews.com, 5-11-2025).
Kegiatan nonton bareng (nobar) film edukasi sering dipromosikan sebagai langkah untuk meningkatkan kesadaran pelajar terhadap isu-isu sosial. Upaya ini tampak positif di permukaan. Namun pertanyaan pentingnya adalah: benarkah nobar saja mampu menuntaskan masalah bullying yang kian marak di era digital?
Pertama, perlu disadari bahwa nobar dalam sistem pendidikan dan kehidupan masyarakat yang berlandaskan kapitalisme seringkali bukan hanya sekadar kegiatan menonton. Ia dapat membuka peluang terjadinya ikhtilat, yakni interaksi campur antara laki-laki dan perempuan tanpa batasan yang jelas, yang pada akhirnya membawa konsekuensi sosial lainnya. Kegiatan yang diklaim edukatif bisa saja berjalan tanpa pengawasan ketat terhadap adab dan batas pergaulan, sehingga tidak sepenuhnya membawa manfaat sebagaimana yang diharapkan.
Kedua, mencegah tindakan perundungan tidak bisa hanya mengandalkan tontonan satu kali, apalagi dalam format hiburan. Perundungan muncul bukan semata karena kurangnya pengetahuan tentang dampaknya, tetapi karena karakter, lingkungan, dan standar perbuatan yang longgar. Banyak anak paham bahwa bullying itu salah, tetapi tetap melakukannya karena dorongan pergaulan, tekanan kelompok, atau sekadar mengikuti arus media sosial. Karena itu, nobar, meskipun itu membuka wawasan, tetap tidak akan pernah menyentuh akar permasalahan.
Harus disadari bahwa, salah satu faktor terbesar yang memicu perundungan adalah lingkungan yang tidak menuntun. Anak-anak saat ini tumbuh dengan konsumsi media sosial yang tidak terkontrol. Seperti maraknya konten hinaan, prank kasar, kompetisi popularitas, hingga kultur ketenaran yang sering membenarkan perilaku merendahkan orang lain. Sehingga, ketika standar nilai benar dan salah, baik dan buruk itu disandarkan dari dunia maya yang bebas, maka wajar jika kasus bullying menjadi tumbuh subur, baik secara langsung maupun digital.
Oleh karenanya, untuk mencegah maraknya kasus bullying dari akarnya, kita perlu memahami bahwa masalah tersebut merupakan dampak dari sistem sekuler-kapitalisme yang tidak hanya diterapkan dalam sistem bernegara, tetapi juga meresap ke dunia pendidikan. Sistem ini menonjolkan prestasi akademik semata, tanpa dibarengi pembentukan akidah dan akhlak yang seharusnya menjadi pondasi perilaku para pelajar.
Situasi ini semakin diperparah oleh lemahnya sistem hukum. Pelaku perundungan sering kali hanya menerima hukuman ringan, bahkan bisa terbebas sama sekali jika dinilai belum cukup umur karena masih di bawah 18 tahun. Padahal secara syariat mereka sudah baligh, akal mereka sudah dapat membedakan dengan jelas mana baik dan buruk, serta menjadi pribadi yang dapat bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
Keringanan hukuman ini tetap berlaku meskipun tindakan mereka menyebabkan korban cacat, trauma berat, atau bahkan kehilangan nyawa. Dengan hukum yang longgar seperti ini, tentu saja membuat para pelajar di bawah 18 tahun ini merasa dapat bertindak semaunya tanpa rasa takut terhadap konsekuensi. Inilah salah satu faktor besar yang turut menyuburkan maraknya kasus bullying.
Nah, di sinilah sistem pendidikan Islam menawarkan solusi yang jauh lebih mendasar dan menyeluruh. Pendidikan dalam Islam tidak hanya mencetak pelajar yang cerdas, tetapi juga berkepribadian Islam, yakni individu yang pola pikir dan pola sikapnya dibangun berdasarkan akidah Islam, bukan hawa nafsu atau tren sosial.
Seorang Muslim yang berkepribadian Islam akan menjadikan syariat islam sebagai standar dalam menilai dalan mengukur suatu perbuatan. Dengan standar yang jelas ini, tindakan seperti mengejek, mencaci, merendahkan, atau menyakiti orang lain bukan hanya dianggap tidak sopan, tetapi dihukumi serta diyakini sebagai dosa dan perbuatan zalim yang memiliki konsekuensi.
Selain itu, Islam juga memiliki aturan dan sanksi yang tegas terhadap tindakan kejahatan, termasuk di dalamnya kasus perundungan, jika hal tersebut sudah masuk kategori menyakiti, melukai, atau merampas hak. Sanksi yang jelas dan ditegakkan secara konsisten akan menimbulkan efek jera dan menjaga masyarakat dari perilaku semena-mena.
Selain itu, peran media dalam sistem Islam tidak dibiarkan liar sebagaimana sekarang. Media berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi yang meneguhkan akidah, mendidik masyarakat, dan memperkuat dakwah ke seluruh penjuru wilayah Islam. Media tidak memproduksi konten yang merusak adab atau mendorong perilaku negatif demi popularitas.
Oleh karenanya, upaya mencegah bullying sebenarnya membutuhkan perubahan sistemik, yakni: lingkungan yang sehat, pendidikan yang menuntun, media yang terarah, hukum yang tegas dan standar moral yang kokoh. Nobar cyberbullying mungkin bisa menambah pengetahuan sesaat, namun tidak cukup untuk mengubah karakter dan perilaku secara mendalam. Sementara, solusi yang hakiki hanya akan lahir dari sistem yang membentuk manusia menjadi pribadi yang takut berbuat zalim dan berpegang pada aturan Allah. Dengan dasar inilah masalah bullying dapat benar-benar diatasi, bukan sekadar peringatan semata.
Via
OPINI
Posting Komentar