Nafsiah
Bersandar ke Allah adalah Obat, Bersandar ke Makhluk bisa Patah Hati Hebat
Oleh: Kartika Soetarjo
(Penulis dan Pengasuh Pengajian Anak-Anak Raudhatul Jannah)
TanahRibathMedia.Com—Dinginnya penghujung malam menusuk tubuh‑tubuh yang lelah, membuat kebanyakan orang lebih memilih hangatnya selimut tebal daripada menghadap Sang Maha Kekal. Mereka memang tahu bahwa kasih‑Nya, cinta‑Nya, dan dekapan‑Nya, serta doa-doanya akan nyata di penghujung malam. Namun hati mereka lebih condong pada kepahitan dunia yang dibungkus manisnya kasur empuk, selimut hangat, dan mimpi lelap.
Tidak sedikit pula yang terbujuk oleh kemuliaan sepertiga malam. Mereka berjuang melawan dingin yang menusuk sum‑sum, melemparkan kantuk yang menggelayut manja, dengan harapan bisa menggapai kesempatan emas. Dihapusnya dosa, dikabulkannya doa, serta meraih kemuliaan di dunia dan akhirat yang pasti adanya.
Di atas sajadah, di sebuah mihrab kecil yang sangat sederhana, ada seseorang yang merasa dirinya biasa. Ia memaksa tubuh dan hatinya untuk khusyuk mengadu pada Sang Maha Pencemburu. Entah berapa lama ia menahan semua sesak yang selalu menyeruak dalam setiap napas dan gerak.
Ia tampak ceria dan aktif di luar. Ia sering menjadi penghibur bagi teman‑teman dan keluarganya, bercanda seolah hidupnya tanpa beban. Namun di balik keceriaan itu tersimpan lautan penyesalan atas kesalahan‑kesalahan yang pernah ia lakukan pada orang‑orang yang ia anggap penting. Penyesalan itu membuat hari‑harinya gelisah. Hatinya penuh riak, penuh badai, tetapi tak pernah bisa ia ceritakan kepada siapa pun.
Ia pernah curhat kepada orang-orang terdekat, namun jawabannya justru menambah berat. Ia diam, tapi hatinya bergejolak. Raganya tenang, namun jiwanya berontak. Tubuhnya selalu disuruh untuk sembuh, jiwanya dipaksa untuk selalu ceria, dan mulutnya dituntut untuk selalu tersenyum. Ketika semua itu tak mampu ia lakukan, sesekali ia jujur bahwa ia pernah kecewa, pernah dihantui rasa bersalah, pernah menyesal yang tak kunjung usai, dan pernah terluka.
Namun, orang‑orang di sekitarnya memberi batas, menjaga jarak, meninggalkan ruang yang dulu penuh tawa dan kata kini menjadi kosong, hampa, dan sepi tanpa cerita. Ia terdiam, mengisi hari‑hari dengan cermin yang memantulkan bayangan aibnya sendiri. Malam‑malam panjangnya selalu dipenuhi pertanyaan:
“Apakah aku cukup baik?”
"Apakah aku harus terus membuat mereka tertawa?”
“Apakah aku harus pura‑pura bahagia?”
“Apakah orang yang suka bercanda tidak boleh terluka?”
Ketika ia butuh suara sebagai obat hati yang sedikit tergores, tak satu pun hadir. Di tengah kebisingan pikiran itu, ia teringat nasihat guru ngajinya:
“Jika Allah menjauhkan manusia darimu, bukan berarti perlakuan mereka buruk kepadamu, bukan pula karena Allah membencimu; melainkan Allah merindukan tangis dan keluh kesahmu. Allah ingin engkau menjadikannya satu‑satunya tempat mengadu, karena Allah itu Maha Pencemburu.”
Sekejap ia terhenyak, menyadari betapa ia terlalu bergantung pada manusia. Ia pun teringat pada ucapan Ibnu Qayyim Al‑Jauziyah:
"Dan cukuplah Allah yang Mengerti isi hatimu, ada saat di mana engkau merasa asing. Bukan karena tak ada yang mendengarkan, tetapi karena tak satu pun mampu memahami bahasa hatimu.
Engkau bicara tentang luka, mereka menasihati.
Engkau bicara tentang rindu, mereka mentertawakan, dan ketika engkau diam, mereka mengira kau baik-baik saja.
Padahal, dibalik senyum yang tipis itu, ada doa-doa yang tak bersuara. Ada air mata yang jatuh tanpa disadari siapa pun, kecuali Allah.
Maka, jangan berharap dunia mengerti isi hatimu. Ia terlalu bising untuk memahami bisikan jiwa yang lembut.
Cukup Allah yang tahu mengapa kau menangis di malam yang sepi. Mengapa dadamu sesak tanpa sebab, dan mengapa kau tetap tersenyum meski dunia terasa berat. Sebab Allah lah yang menulis setiap getar di hatimu, menghitung setiap air mata yang jatuh, dan menyiapkan penawar bahkan sebelum luka itu terasa.
Jadi, tenanglah! Tak semua rasa harus dipahami manusia. Ada rahasia yang hanya layak dibisikan dalam sujud, dan di sanalah hatimu akan mengerti, bahwa tidak perlu dimengerti oleh siapa pun, asal di dengar oleh Dia yang Maha Mengerti segalanya.
Cukuplah Allah yang menjadi sandaranmu saat semua pergi."
Ia sujud. Air matanya datang tanpa diundang, sajadah basah, hati menjerit menembus langit. Ia menyesali kebiasaan bersandar pada manusia; ketika mereka pergi, ia terjatuh tanpa satu pun tangan yang merengkuh. Dulu, ia mengira bersandar pada manusia adalah obat. Namun ternyata patah hati paling hebat!
Ia mengakhiri sujudnya dengan doa:
"Rabb, terimakasih. Engkau masih menunggu hamba di sepertiga malam ini. Beri hamba kekuatan agar bisa menjalani hidup dengan tenang, dan menjadikan-Mu satu-satunya tempat sandaran ternyaman.”
Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’mana nashir
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.
Via
Nafsiah
Posting Komentar