OPINI
Remaja Korban Bullying, Akibat Sistem Sekuler
Oleh: Rey Fitriyani, Amd.KL
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Seorang santri pada Jumat (31 Oktober 2025), ditetapkan sebagai tersangka, atas kasus terbakarnya asrama putra Dayah (Pesantren) Babul Maghfirah, pimpinan Tgk. Masrul Aidi, di Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Diketahui santri tersebut sengaja membakar asrama pondok pesantren tempat dia belajar, lantaran sakit hati karena kerap menjadi korban bullying oleh teman temannya.
Polisi mengungkapkan santri tersebut sengaja melakukannya, karena ia tertekan secara mental hingga berniat membakar gedung, agar barang-barang milik teman yang sering mengganggunya habis terbakar. “Pelaku mengaku membakar gedung asrama karena sering mengalami bullying dari beberapa temannya,” kata Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Joko Heri Purwono, saat konferensi pers di Meuligoe Rastra Sewakottama, Kamis (6/11). Polisi menggunakan Pasal 187 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara untuk menjerat pelaku. Namun karena pelaku masih di bawah umur, penanganan dilakukan sesuai Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (beritasatu.com, 08-11-2025)
Setelah kejadian di Aceh, dua hari kemudian (7 November 2025), dua ledakan mengguncang SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ledakan tersebut terjadi saat salat Jumat berlangsung. Lebih dari lima puluh lebih siswa dan guru terluka. Pelakunya diduga adalah siswa kelas 12 yang merupakan korban bullying. Seorang siswa SMAN 72 yang bernama Sena menceritakan detik detik saat ledakan terjadi. “Pelakunya terindikasi siswa, karena dia korban bully jadi mau balas dendam," kata Sena (kumparan.com, 07-11-2025).
Dua lokasi berbeda, tetapi dua motif yang sama, yaitu perundungan. Keduanya menggambarkan bagaimana di Lembaga Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang tumbuh yang aman, namun justru terjadi tindakan kriminal yang dapat mengakibatkan terjadinya korban luka hingga nyawa melayang. Dalam dunia pendidikan, komunikasi sering dipahami sebatas penyampaian informasi. Padahal, komunikasi sejatinya adalah ruang empati, tempat seseorang merasa dilihat dan dihargai.
Di Aceh, santri yang dibully dengan kata “idiot” dan “bodoh” merasa tak punya ruang aman untuk bicara. Ia menanggung diam terlalu lama, hingga akhirnya nekat membakar asramanya. Sedangkan di Jakarta, siswa yang terus dirundung tega mengebom teman temannya, karena ia tidak menemukan kenyamanan saat berada di sekolah. Keduanya menegaskan ketika pesan emosional tak tersampaikan secara verbal, tindakan ekstrem akan mengambil alih peran bahasa.
Bullying yang terus berulang di Lembaga Pendidikan menunjukkan bukti bahwa, kasus ini merupakan problem sistemik yang akan terus terjadi jika tidak diselesaikan mulai dari akarnya. Kondisi ini tentu berdampak secara psikologis dan sosial bagi korban bullying. Korban bisa mengalami gangguan mental, kecemasan, depresi, bahkan kehilangan kepercayaan diri. Lebih parahnya akan memicu tindakan kriminal dan aksi bunuh diri. Normalisasi kekerasan secara verbal juga bisa menjadi pemicunya, mulanya bercanda secara lisan, lalu dibiarkan, kemudian dianggap normal, dan akhirnya menjadi kebiasaan sehingga memicu perundungan yang lebih ekstrem.
Kondisi ini akan terus berulang di negara yang menerapkan sistem sekulerisme sebagai landasan kehidupan. Dalam sistem ini agama dijauhkan dari kehidupan, sehingga agama tidak lagi berperan sebagai panduan hidup, akhirnya generasi yang lahir dari sistem ini menjadi pribadi yang lemah dalam akidah, miskin adab, dan jauh dari tuntunan agama.
Generasi yang jauh dari agama membuat mereka bertindak semaunya, tanpa memikirkan halal haram, benar atau salah. Alhasil jika ada masalah, mereka akan menyelesaikan dengan gegabah, emosi tidak terkontrol, dan mengutamakan hawa nafsunya. Selain itu, pendidikan dalam sistem sekuler hanya transfer ilmu dan mengejar nilai semata.
Agama sebatas pelajaran formal yang diajarkan di sekolah dengan durasi yang sangat minim. Akibatnya pendidikan tidak menghasilkan generasi yang berkepribadian mulia, justru mereka menjadi generasi yang krisis adab dan miskin moral.
Penerapan UU dan sanksi yang tidak tegas dalam sistem sekuler, juga tidak memberikan efek jera bagi para pelaku bullying. Ini karena mereka berlindung dibalik definisi anak di bawah umur. Dalam pandangan hukum sekuler, anak di bawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Definisi ini terkadang menjadi tameng bagi remaja pelaku kriminal serta orang tua pelaku, untuk melindungi perbuatan anak mereka yang melakukan kejahatan. Meski pelaku sudah akil baligh, seperti pelajar SMP atau SMA, mereka masih disebut sebagai anak di bawah umur yang nantinya sanksi yang diberlakukan berbeda dengan usia dewasa. Paradigma semacam ini akhirnya membuat anak kurang bertanggung jawab atas setiap tindakannya.
Kondisi ini tentu berbeda jika sistem Islam dijadikan sebagai aturan dalam suatu negara. Dalam Islam sikap dan karakter anak dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama. Pembinaan kepribadian dan penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam dilakukan melalui pendidikan dan pengamalan hidup sehari-hari yang bersumber dari keluarga, terutama orang tua.
Selain itu, keluarga dalam Islam memiliki pola pikir dan pola sikap Islam, serta bervisi akhirat, artinya semua tindakannya di dunia ini berkonsekuensi di akhirat. Pola pikir dan pola sikap ini akan membentuk anak untuk memiliki keimanan dan ketakwaan, serta rasa takut untuk berbuat maksiat.
Masyarakat yang hidup dalam aturan Islam bernuansa amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka akan mengingatkan jika ada anak yang melakukan kesalahan maupun kekerasan. Mereka tidak akan membiarkan atau berdiam diri jika melihat kemungkaran dihadapan mereka. Budaya saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah jika ada kemungkaran, terus ditumbuhkan dalam lingkungan masyarakat. Ini semua agar nilai kepedulian dan empati terhadap sesama manusia terus hidup dalam diri mereka.
Dalam negara Islam (Khilafah) berkewajiban untuk menerapkan kurikulum pendidikan yang disusun berdasarkan akidah Islam. Strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami dan pola jiwa Islami. Kemudian, tujuan pendidikan membentuk kepribadian Islam dan membekali dengan ilmu pengetahuan, serta permasalahan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Sehingga mereka nantinya akan menjadi generasi yang bertakwa, berakhlak mulia, jauh dari maksiat dan tindak kekerasan. Khalifah juga akan menjamin kebutuhan rakyatnya melalui baitu mal, dengan menyediakan sekolah, layanan kesehatan, serta fasilitas umum secara berkualitas, terjangkau dan gratis. Sesuai dengan mekanisme yang sudah ditetapkan syariat. Sesuai sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Sistem Islam menjamin kesejahteraan dan keamanan dalam keluarga dan lingkungan sosial sehingga tidak mudah memicu segala hal yang mengarah pada tindak kekerasan atau bullying. Khilafah akan menerapkan sanksi yang tegas bagi siapa pun yang melanggarnya. Ini karena sanksi dalam islam dapat mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal. Demikianlah, penerapan syariat Islam secara kaffah akan menciptakan generasi generasi yang tidak hanya kuat keimanan dan ketakwaannya, tapi juga kuat kepribadiannya dan paham dalam melaksanakan syariat Islam.
Wallahualam
Via
OPINI
Posting Komentar