Opini
Robohnya Gedung Ponpes: Cermin Abainya Negara dalam Menjamin Fasilitas Pendidikan
Oleh: Safiati Raharima, S.Pd
(Aktivis Muslimah Dompu, NTB)
TanahRibathMedia.Com— Musibah robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Gedung lantai empat yang difungsikan sebagai musala sekaligus ruang belajar itu runtuh pada Senin sore, 29 September 2025, ketika ratusan santri tengah berada di dalamnya. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) telah menutup operasi pencarian dan pertolongan korban di hari ke-9, Selasa (7/10). Data terakhir korban runtuhan Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur usai operasi ditutup ialah sebanyak 67 korban meninggal dunia yang berhasil ditemukan, termasuk delapan bagian tubuh (body part). Dengan demikian total korban terevakuasi mencapai 171 orang, terdiri 104 korban selamat, 67 meninggal dunia termasuk delapan di antaranya potongan tubuh (CNNIndonesia, 8-10-2025).
Abainya Negara
Tragedi ini menimbulkan duka mendalam terhadap keluarga, masyarakat, dan seluruh umat Islam. Peristiwa ini bukan sekadar peristiwa tragis, namun menjadi alarm keras tentang pentingnya mengutamakan aspek keselamatan dalam pembangunan, terlebih lagi untuk fasilitas pendidikan yang dihuni banyak pelajar.
Dugaan awal penyebab robohnya bangunan ini adalah karena lemahnya konstruksi dan buruknya pengawasan. Basarnas dan Pakar ITS menilai bahwa gedung tersebut mengalami kegagalan konstruksi total. Kondisi seperti ini disebut dengan pancake collapse yaitu situasi di mana sebuah struktur bangunan runtuh total secara tiba-tiba. Pada hari kejadian, pengecoran lantai tiga baru saja selesai pada siang hari. Menurut ahli teknik sipil, Yudha Lesmana, beton memerlukan waktu minimal 14 hari untuk mencapai kekuatan yang memadai, dan idealnya 28 hari. Kemungkinan besar, beton belum mencapai kekuatan yang diharapkan saat bangunan runtuh (detik.com, 06-10-2025).
Peristiwa ini menunjukkan bukti nyata lemahnya sistem pengawasan teknis terhadap bangunan pendidikan, terutama di lembaga-lembaga keagamaan yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol langsung pemerintah. Mirisnya, sebagian besar pondok pesantren di Indonesia dibangun dari hasil swadaya masyarakat berupa sumbangan wali santri, donatur, maupun alumni. Penyebabnya karena keterbatasan proses pembangunan yang sering dilakukan seadanya dengan bahan bangunan murah, tidak ada pengawasan dari tenaga ahli, dan minim standar keamanan. Maka berakibat kepada keselamatan santri yang menempati gedung tersebut menjadi taruhannya.
Hal ini menunjukkan satu fakta pahit terkait tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang layak telah digeser menjadi beban masyarakat. Pada sistem kapitalis, pembangunan infrastruktur seringkali didorong oleh potensi keuntungan yang didapatkan perusahaan swasta daripada kepentingan masyarakat luas. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan besar dalam mencetak generasi gemilang, justru sering terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan nasional.
Alih-alih menyediakan dana, pemerintah sering menyerahkan sepenuhnya urusan pendirian dan pemeliharaan pesantren kepada pihak yayasan atau masyarakat. Padahal, pendidikan merupakan hak dasar warga negara dan negara bertanggung jawab secara langsung terkait hal itu. Ketika pondok-pondok harus berdiri dengan modal sumbangan, maka akan jauh dari standar keselamatan dan mutu.
Solusi Islam
Dalam pandangan Islam, pendidikan menjadi kebutuhan vital yang wajib dipenuhi negara bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh membiarkan pendidikan dikelola secara swadaya tanpa dukungan sistemik. Islam mewajibkan negara menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar keamanan, kenyamanan, dan kualitas terbaik baik bagi lembaga negeri maupun swasta.
Islam memiliki mekanisme dalam pembiayaan pendidikan. Melalui Baitul Mal, negara mengelola pemasukan zakat, jizyah, kharaj, fa’i, ghanîmah dan pendapatan dari kepemilikan umum. Dengan pemasukan yang banyak dari baitulmal, negara Islam akan merawat dan merenovasi gedung dan fasilitas sekolah agar senantiasa dalam kondisi baik dan layak.
Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam bukan sekadar penguasa. Ia adalah pelayan umat yang wajib menjamin kesejahteraan mereka. Sebagai pemimpin, Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Melalui sistem ini, negara akan memastikan setiap bangunan pendidikan baik pesantren, madrasah, maupun sekolah umum, dibangun dengan perencanaan matang, kontrol yang ketat, dan standar keselamatan yang dijaga. Semua lembaga pendidikan yang mencerdaskan umat adalah bagian dari tanggung jawab negara.
Robohnya gedung Ponpes Al Khaziny bukan sekadar musibah teknis, melainkan potret nyata dari abainya negara. Negara telah gagal menjalankan amanahnya untuk menjamin keselamatan peserta didik dan menyediakan fasilitas pendidikan yang layak.
Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan negara bertanggung jawab penuh atas pendidikan rakyat, menyediakan sarana yang aman, bermutu, dan terjangkau bukan membebankan kepada masyarakat.
Saatnya negeri ini menerapkan sistem Islam atas dasar keimanan dan ketakwaan yang akan mendatangkan keberkahan. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
“Jika saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami pun menyiksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka itu.” (TQS al-A’raf [7]: 96)
WalLâhu a’lam bi shawâb.
Via
Opini
Posting Komentar