IBRAH
Orang Buta Melihat, Tak Boleh Membuang Tongkat
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Manusia adalah makhluk sosial, yang mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi memerlukan bantuan orang lain. Bukan makhluk individu, yang semuanya bisa dilakukan sendiri.
Sejak diciptakan oleh Allah Swt. dari setetes nutfah dan menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging, hingga terbentuk sempurna menjadi manusia seutuhnya, dan akhirnya terlahir ke dunia. Itu sudah lebih dari satu bantuan dari orang lain yang kita terima.
Dari mulai bersatunya ayah dan ibu kita, lalu rahim tempat tinggal kita, asupan-asupan saripati makanan, doa dari orang yang mencintai, dan dokter atau bidan yang menangani proses kelahiran. Semua itu jasa orang lain yang menjadi tongkat atau penyebab kita lahir dan tumbuh hingga sekarang ini.
Bahkan, meninggal pun kita masih saja memerlukan tongkat atau bantuan orang lain. Jika kita sudah menjadi jenazah, tidak mungkin mandi sendiri, mengafani sendiri, shalat sendiri, bahkan sangat tidak mungkin kita berjalan sendiri ke pemakaman. Bayangkan!
Semua pasti dikerjakan oleh orang lain. Tak ubahnya orang buta yang memerlukan tongkat untuk penopang langkahnya. Begitupun dalam sebuah pencapaian.
Saudaraku, pencapaian yang telah kita raih sekarang ini, bukan hasil keringat sendiri. Bukan hasil usaha sendiri. Bukan sama sekali!
Kita berada dalam manisnya sebuah pencapaian, karena adanya ilmu dari para guru kita.
Dikutip dari kitab Pangandika karangan Syekh Abdul Jalil, Sesepuh Pondok Pesantren Cikalama. "Seseorang yang memberikan kita ilmu walaupun hanya satu huruf itu sudah termasuk guru", apalagi kalau ilmu itu terus dimanfaatkan oleh sang penerimanya.
Guru, martabatnya sejajar dengan orang tua kita. Seperti halnya ayah dan ibu yang tidak boleh dilupakan, dan tidak akan pernah ada bekasnya. Guru pun sama. Tidak boleh dilupakan, dan guru tidak akan pernah ada bekasnya. Tidak ada kata "mantan" untuk seorang guru. Karena kata "mantan" hanya berlaku bagi orang pernah hadir, tetapi tak pernah menjadi takdir. Eaaa!
Pun, kita ada di posisi sekarang ini adalah jasa kedua orang tua kita dan jasa guru kita. Kadang, kita merasa bahwa keberhasilan kita ini mutlak hasil perjuangan kita.
Tidak, Rudolfo!
Ini jasa mereka. Kita ditakdirkan hanya sebagai pengembang. Mengembangakan ilmu yang telah kita dapatkan dari mereka, agar ilmu tidak berhenti tanpa arti, dan membeku tanpa tujuan tertentu. Ilmu harus disebarkan agar bermanfaat. Karena ilmu yang tidak memberi manfaat bagi kita juga bagi sesama, adalah ilmu yang sia-sia.
Dulu, kita buta! Tidak tahu satu ilmu pun, lalu dibimbing oleh orang tua kita yang menjadi tongkat pertama dalam menuntun langkah kita di jalan-Nya. Kemudian datang guru sebagai tongkat kedua yang membantu langkah kita, agar tidak bingung yang mengakibatkan kita tersandung, karena hidup tak berilmu. Tongkat itu, yang menjadi penyebab kita ada di posisi sekarang ini.
Begitupun aku. Aku yang dulu buta dalam ilmu agama, ayahkulah yang menjadi tongkat pertama dalam langkahku menyusuri ilmu-Nya. Lalu para guru ngaji menjadi tongkat selanjutnya. Ditambah sekarang aku menjadi seorang penulis. Allah kenalkan aku dengan seseorang sebagai tongkat dalam langkahku di dunia kepenulisan.
Aku, yang dulu ‘buta’, alhamdulillah sekarang bisa melihat. Namun, walaupun langkahku lancar dan cepat, aku tidak akan pernah membuang tongkat.
Selapuk apapun tongkat kayuku, tetap akan kusimpan. Andai pun satu hari nanti tongkat itu menjauh dan hilang, aku akan tetap mengingatnya. Karena tongkat itu pernah menuntun langkah gelapku hingga aku ada ditempat ini.
Alhamdulillah, syukurku tak putus kepada-Mu. Karena dengan takdir indah-Mu, aku dipertemukan, dan dikenalkan dengan tongkat-tongkat yang hebat, yang menuntun langkahku di jalan-Mu.
Rabb... Terima almarhum ayahku, maafkan khilaf dan salahnya, limpahkan selalu ampunan dan rahmat-Mu kepadanya. Karena ayahku adalah orang yang menjadi tongkat pertamaku menyusuri jalan-Mu.
Rabb... Panjangkan usia ibuku dalam keberkahan dan beri aku kesempatan untuk terus berbuat baik kepadanya. Ibuku adalah tongkat abadiku, yang selalu menjadi peganganku ketika aku hampir terjatuh di jalan-Mu
Rabb...Titip guru-guruku, panjangkan usianya, sehatkan lahir batinnya. Yang sekarang sedang sakit, cepat angkat penyakitnya.
Ya Syafi… Limpahkan selalu keberkahan dalam kehidupannya. Karena mereka yang menjadi tongkat keduaku yang dulu kegelapan dalam menapaki arah-Mu. Aamiin.
Jangan pernah menyebut kacang lupa akan kulitnya pada si buta yang sudah bisa melihat dan berjalan dengan cepat tanpa memegang tongkat!
"Karena si buta yang terang jiwanya, tidak akan pernah membuang tongkatnya, walau penglihatan telah singgah dimatanya"
Wallahu 'alam bisshawwab.
Via
IBRAH
Posting Komentar