SP
Kumpul Kebo Berujung Mutilasi
TanahRibathMedia.Com—Akhir akhir ini bumi Pertiwi diguncang duka dari aksi demo yang anarkis hingga mahasiswi yang dimutilasi. Sungguh ironi negeri yang katanya penuh toleransi nyatanya hidup dibayang bayangi hal ngeri. Sejatinya negeri ini sedang terkena infeksi nurani yang semua disebabkan paham sekularisme. Anak muda negeri ini sudah tak malu lagi hidup gaya liberal. Anak muda ini disayangi orang tua tetapi di luar kelakuannya bak binatang, rela demi cinta bersedia hidup seatap tanpa ikatan pernikahan. Sungguh miris kehidupan pergaulan saat ini, banyak orang sudah tidak lagi menjadikan halal haram sebagai landasan dalam bertingkah laku.
Seperti yang terjadi di daerah Jawa Timur, yang diawali kumpul kebo berujung mutilasi. Temuan puluhan bagian tubuh di Mojokerto, setelah diidentifikasi ternyata milik seorang wanita muda. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ada ratusan potongan potong bagian tubuh yang disimpan di kamar kosnya di Surabaya. Pelakunya adalah pacarnya sendiri karena alasan kesal tidak dibukakan pintu kos dan kesal karena tuntutan ekonomi dari korban. Alvi membunuh dan memutilasi Tiara di kamar indekos yang mereka sewa di Lidah Wetan, Lakarsari, Surabaya (Kompas.id, 22-9-2025).
Kisah ini menyisakan catatan fakta tren kehidupan bebas anak-anak muda sekarang, yaitu living together atau kohabitasi atau kumpul kebo. Tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan atau kohabitasi makin banyak dipilih oleh generasi muda saat ini. Alasannya pun beragam, mulai dari ingin lebih mengenal pasangan sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, sampai pertimbangan praktis seperti efisiensi biaya hidup.
Menurut Psikolog Virginia Hanny, ada tiga hal yang bisa jadi pertimbangan oleh pasangan sebelum memutuskan kohabitasi. Pertama, tinggal bersama ini merupakan kemauan dari kedua belah pihak tanpa adanya paksaan sama sekali. Kedua, Menentukan lokasi tinggal (berkaitan dengan biaya hidup, sewa, listrik, dll.). Ketiga, mengetahui apa tujuan dari tinggal bersama dan menentukan batasan yang jelas.
Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat seseorang merasa bebas bertindak dalam kehidupannya. Ketika marah, cinta, senang, seseorang akan melampiaskan dengan cara apa pun sesuka hatinya. Tidak peduli halal-haram.
Normalisasi kumpul kebo di kalangan anak muda tren toksik buah sekularisme. Dalam masyarakat sekuler-liberal saat ini, aktivitas pacaran bukan lagi hal yang tabu. Bahkan tinggal serumah dan membagi tugas rumah tangga dengan pacar adalah hal yang wajar.
Negara tidak membentuk rakyatnya agar memiliki pemahaman yang benar dalam menjalani kehidupan, yakni pemahaman Islam. Bahkan, mendukung aktivitas pacaran dan perzinaan, tidak termasuk dalam tindak pidana. Baru akan dipidana jika ada korban.
Kita perlu memahamkan sistem sosial dalam Islam di tengah-tengah umat, termasuk juga kepada generasi muda agar mereka tidak mudah terbawa arus pergaulan bebas. Juga perlu menanamkan ketakwaan individu sebagai benteng awal bagi seseorang agar mampu bertindak sesuai tujuan penciptaan. Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, bukan malah bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan halal haram. Dalam Islam, perilaku bepacaran dan pembunuhan kepada sesama muslim atau kaum kafir yang tidak memerangi Islam adalah termasuk perbuatan haram.
Perlu kontrol masyarakat terhadap pergaulan bebas dan tindak kekerasan yang sekarang masif terjadi,dan perlu aktif juga mengingatkan masyarakat untuk berperilaku amar ma'ruf nahi munkar, agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Selain itu dibutuhkan juga negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah. Karena negara memiliki peran aktif membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menerapkan sistem pergaulan Islam, serta melaksanakan sistem sanksi Islam pada pelaku jarimah (pelanggaran terhadap hukum syariat).
Wallahu'alam bi shawab.
Rini Ummu Aisy
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Via
SP
Posting Komentar