Opini
Kesejahteraan untuk Wakil Rakyat, Bukan Milik Rakyat
Oleh: Marsha
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Membahas tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ia adalah lembaga legislatif di tingkat daerah yang memiliki peran penting di dalam sistem pemerintahan Indonesia. Tugas utamanya membentuk aturan daerah bersama pemerintah daerah, mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah, dan paling utamanya ialah memperjuangkan aspirasi rakyat. Dapat disimpulkan, bahwa DPRD ialah pihak yang mewakili kepentingan rakyat.
Sebagai pejabat publik, anggota DPRD memperoleh sejumlah hak keuangan berupa gaji, tunjangan, juga fasilitas lainnya yang diatur oleh peraturan perundang undangan. Salah satunya ialah tunjangan perumahan, yang diberikan ketika pemerintah daerah belum mampu menyediakan rumah dinas. Namun, besaran tunjangan ini sering menjadi sorotan publik, karna dianggap tidak sebanding dengan kondisi masyarakat yang masih menghadapi berbagai persoalan, seperti kemiskinan, pengangguran, infrastruktur yang terbatas, hingga pelayanan publik yang masih belum merata.
Ada pernyataan dari ketua DPRD Kabupaten Bandung, Renie Rahayu Fauzi. Ia menerima tunjangan perumahan Rp 54,525 juta per bulan, dengan tunjangan bersih sekitar Rp 38 juta setelah pajak. Tunjangan ini diatur dalam Peraturan Bupati dan PP No. 17 Tahun 2018, karena pemerintah daerah belum menyediakan rumah dinas. Besaran tunjangan juga berlaku untuk Wakil Ketua dan anggota DPRD dengan nominal yang berbeda (tribunjabar.com, 11-9-2025).
Melihat berita tersebut, sontak memicu berbagai argumen terutama rakyat. Terdapat beberapa hal yang ingin dipertanyakan setelah mendapat kabar ini. Lantas apa pantas seorang wakil rakyat mendapat tunjangan perumahan hingga puluhan juta setiap bulan, sementara masih banyak rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal?
Jika tugas DPRD ialah menyuarakan aspirasi rakyat, apakah tunjangan besar ini sudah sejalan dengan prinsip keadilan sosial? Mengapa kesejahteraan wakil rakyat lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya? Apakah kenaikan tunjangan ini benar mencerminkan kinerja nyata DPRD dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat?
Bukankah sejatinya “tuan” dari para wakil rakyat adalah rakyat itu sendiri, sehingga seharusnya kesejahteraan rakyat lebih dulu diperhatikan daripada fasilitas wakilnya? Apakah sistem ini benar-benar adil, ketika pejabat menikmati tunjangan mewah sementara sebagian besar rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar? Beragam pertanyaan ini ramai dipertanyakan oleh masyarakat. Tapi sayang tak ada solusi.
Pandangan Islam tentang Pemimpin/Wakil Rakyat
Dalam Islam, seorang pemimpin, termasuk wakil rakyat, yang dilihat sebagai pelayan umat, bukan "tuannya". Jabatan adalah amanah (titipan Allah) yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Pemimpin yang lalai atau menyalahgunakan wewenang akan dimintai pertanggungjawaban yang berat di akhirat nantinya.
Tugas utama pemimpin menurut Islam adalah:
1. Menjaga keadilan, dengan memperlakukan rakyat adil, tidak membeda-bedakan.
2. Mengutamakan kesejahteraan rakyat, dengan mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi.
3. Mengelola harta umat dengan amanah, dengan memastikan anggaran negara/daerah digunakan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk memperkaya pejabat.
4. Menjadi teladan, dengan hidup sederhana dan rendah hati, bukan menumpuk fasilitas mewah.
Dalil Al-Qur’an yang terkait.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (TQS. An-Nisa ayat 58)
Ayat ini menegaskan bahwa jabatan adalah amanah, dan keadilan harus ditegakkan dalam setiap kebijakan.
"Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (TQS. Al-Baqarah ayat 188)
Ayat ini sangat relevan dengan pengelolaan anggaran negara/daerah. Harta publik tidak boleh dipakai secara berlebihan untuk kepentingan pejabat.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti atas apa yang kamu kerjakan." (TQS. Al-Maidah ayat 8)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa pemimpin harus menjaga keadilan dalam setiap kebijakan.
Sebagai contoh, para khalifah hidup sederhana dan mendahulukan rakyatnya. Umar bin Khattab menolak makan makanan yang enak saat rakyat kelaparan. Bahkan beliau turun langsung mengangkat gandum untuk fakir miskin. Abu Bakar Ash-Shiddiq hanya mengambil tunjangan kecil sekadar mencukupi kebutuhan dasar, sementara Ali bin Abi Thalib menolak hak istimewa dan hidup layaknya rakyat biasa.
Prinsipnya, pemimpin harus merasakan penderitaan rakyat lebih dulu, kesederhanaan jadi standar, dan kesejahteraan rakyat diutamakan sebelum fasilitas pemimpin.
Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, justru kebalikannya: pejabat menikmati tunjangan besar sementara rakyat masih kesulitan. Dalam pandangan Islam, hal ini jelas bertentangan dengan teladan kepemimpinan para khalifah yang memegang amanah dengan penuh tanggung jawab.
Dengan ini, maka solusi Islam dalam menghadapi masalah tunjangan DPRD saat ini ialah;
1. Pemimpin Harus Kembali pada Prinsip Amanah
Islam menekankan bahwa jabatan adalah amanah. Solusinya, setiap pejabat termasuk DPR harus sadar bahwa tunjangan dan fasilitas bukan untuk dimanfaatkan demi gaya hidup, tapi sebagai sarana menunjang tugas melayani rakyat.
Solusi praktis: pembatasan fasilitas agar sesuai kebutuhan, bukan kemewahan.
2. Menerapkan Sifat Zuhud dan Kesederhanaan
Rasulullah ï·º dan para Khulafaur Rasyidin hidup sederhana meski punya wewenang besar.
Seharusnya DPR menjadikan kesederhanaan sebagai teladan. Dengan begitu, rakyat merasakan bahwa wakil mereka benar-benar dekat, bukan terpisah oleh jurang kemewahan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam Islam, harta umat harus dikelola secara jujur dan terbuka. Upaya terbaik: DPR wajib membuka secara transparan penggunaan anggaran, termasuk rincian tunjangan. Mekanisme audit syariah atau lembaga pengawas independen dapat diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan.
4. Mengutamakan Kesejahteraan Rakyat Sebelum Fasilitas Pejabat
Prinsip Islam: pemimpin adalah pelayan rakyat. Maka kebutuhan dasar rakyat (pendidikan, kesehatan, perumahan, lapangan kerja) harus lebih dahulu terpenuhi dibanding fasilitas pejabat.
Upaya terbaik: skema tunjangan baru yang hanya berlaku jika indikator kesejahteraan rakyat tercapai (misalnya angka kemiskinan menurun).
5. Hisbah (Kontrol Sosial dalam Islam)
Dalam sejarah Islam ada lembaga hisbah untuk mengawasi perilaku pejabat dan masyarakat agar tetap sesuai syariat.
Solusi: peran masyarakat, ulama, dan lembaga pengawas diperkuat untuk mengoreksi DPR jika menyimpang.
6. Hukuman bagi Pejabat yang Tidak Amanah
Dalam Islam, pemimpin yang zalim atau tidak amanah akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Upaya terbaik: tegakkan aturan hukum tegas bagi DPR yang menyalahgunakan kewenangan, misalnya pemotongan tunjangan, sanksi etik, atau bahkan pencopotan jabatan.
Wallahualam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar