Opini
Kesadaran Politik Gen Z Dikriminalisasi
Oleh: Hani
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena tumbuhnya kesadaran politik di kalangan Gen Z menandai kebangkitan generasi muda yang mulai melek terhadap realitas ketidakadilan sosial dan politik di negeri ini. Mereka tak lagi sekadar menjadi penonton sejarah, tetapi turun langsung ke jalan, bersuara lantang menuntut perubahan, dan menolak kebijakan yang dianggap menindas rakyat. Ironisnya, ketika kesadaran politik itu mulai tumbuh dan suara mereka mulai bergema, justru mereka dicap sebagai ancaman. Anak-anak muda yang kritis dan berani mempertanyakan ketidakadilan malah menjadi sasaran kriminalisasi, intimidasi, dan upaya pembungkaman.
Fakta menunjukkan bahwa aparat penegak hukum merespons gelombang kesadaran politik anak muda dengan pendekatan yang cenderung represif. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Syahardiantono, pada 24 September 2025 mengumumkan bahwa terdapat 959 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam rentang demonstrasi yang terjadi antara 25–31 Agustus 2025 di berbagai daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 295 di antaranya merupakan anak-anak. Kasus-kasus ini ditangani langsung oleh Bareskrim Polri dan 15 kepolisian daerah, mulai dari Polda Metro Jaya yang menangani 232 tersangka, hingga Polda Jawa Timur dengan 325 tersangka. Mereka dijerat dengan tuduhan penghasutan, penyebaran provokasi di media sosial, pembakaran fasilitas umum, hingga penggunaan bom molotov.
Dalam keterangan resminya, Polri menyatakan bahwa seluruh tersangka adalah “pelaku kerusuhan” dan bukan peserta demonstrasi. Namun pertanyaan kritis muncul: benarkah seluruhnya pelaku kerusuhan, atau justru ada suara-suara muda yang dikorbankan demi menutupi wajah represif kekuasaan? Komnas HAM memperingatkan adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam proses penetapan para tersangka tersebut, terutama karena proses penyelidikan sering kali diwarnai ancaman dan intimidasi.
Kronologi peristiwa menunjukkan bahwa demonstrasi besar itu pada awalnya berlangsung damai dan tertib. Aksi yang digerakkan oleh buruh, mahasiswa, serta pengemudi ojek online di depan Gedung MPR/DPR RI, Senayan, berawal dari penolakan terhadap tunjangan fantastis anggota parlemen. Namun situasi berubah drastis setelah aparat melakukan pembubaran paksa, yang menyebabkan tewasnya seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan akibat tertabrak kendaraan Brimob Polda Metro Jaya. Tragedi ini memicu gelombang kemarahan publik. Malam itu juga, massa bergerak mengepung Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, sebagai bentuk protes atas tindakan brutal aparat.
Di sinilah akar persoalannya. Ketika rakyat bersuara karena keadilan diinjak, negara justru merespons dengan kekerasan dan kriminalisasi. Kesadaran politik generasi muda yang seharusnya disambut sebagai tanda lahirnya perubahan malah dilabeli sebagai “anarkisme” dan “provokasi.” Ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi bentuk nyata dari upaya sistematis untuk membungkam kesadaran politik, agar generasi penerus bangsa tidak tumbuh menjadi pribadi yang kritis terhadap kekuasaan.
Dalam sistem demokrasi kapitalistik saat ini, ruang berekspresi bagi masyarakat pun kerap bersyarat dan terbatas. Suara hanya dihargai ketika sejalan dengan kepentingan elite politik dan ekonomi, sementara kritik yang mengganggu tatanan kekuasaan dianggap berbahaya. Aspirasi rakyat yang menentang kebijakan menindas sering kali disepelekan, dijegal, atau bahkan dipersekusi secara hukum. Demonstrasi yang seharusnya menjadi sarana konstitusional untuk menyalurkan pendapat justru sering berakhir dengan represi aparat, kriminalisasi, atau labeling sebagai “anarkis” dan “provokatif.”
Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi dalam sistem kapitalis sering mengutamakan stabilitas kekuasaan elite dibandingkan keadilan bagi rakyat. Akibatnya, generasi muda yang kritis dan berani bersuara menghadapi tekanan ganda: di satu sisi mereka terdorong oleh nurani untuk menolak ketidakadilan, di sisi lain mereka terjebak dalam sistem hukum dan politik yang meminggirkan keberanian dan aspirasi mereka. Dengan kata lain, demokrasi yang seharusnya menjadi ruang kebebasan dan keadilan, justru berubah menjadi alat kontrol bagi penguasa, sehingga kesadaran politik pemuda dipandang sebagai ancaman bagi status quo, bukan sebagai motor perubahan yang diperlukan bangsa.
Itulah gambaran mengenai sistem kapitalisme yang rusak. Ia menempatkan kepentingan segelintir elite di atas kepentingan rakyat banyak. Kekayaan dan kekuasaan dikonsentrasikan pada kelompok tertentu, sementara kebutuhan dasar, keadilan, dan aspirasi rakyat sering diabaikan. Hukum dan kebijakan di bawah sistem kapitalistik sering kali dibuat untuk melindungi kepentingan penguasa dan pemilik modal, sementara suara yang menuntut perubahan atau menolak ketidakadilan justru dibungkam. Dengan kata lain, kapitalisme secara struktural menekan rakyat dan membungkam kesadaran politik, karena perubahan yang nyata akan mengancam dominasi mereka.
Adapun dalam pandangan Islam, kesadaran politik bukanlah sesuatu yang perlu dicurigai, melainkan tanda hidupnya umat. Rasulullah ï·º bersabda:
“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak berhenti pada ranah individu, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan politik. Pemuda justru memiliki peran besar dalam hal ini. Mereka adalah motor penggerak perubahan dan penjaga nurani umat. Menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa bukanlah kejahatan, melainkan puncak keberanian seorang mukmin. Maka, ketika penguasa hari ini menuduh para pemuda yang sadar politik sebagai perusuh, ketahuilah—sesungguhnya mereka sedang takut. Takut terhadap kesadaran, takut terhadap kebenaran, dan takut terhadap generasi yang tak lagi bisa dibodohi oleh narasi palsu kekuasaan.
Wahai generasi muda Islam, sadarilah bahwa kalian bukan sekadar pelajar, mahasiswa, atau anak muda biasa. Kalian adalah ummatan wahidah—generasi pembawa risalah. Kalian tidak diciptakan untuk diam di tengah kezaliman, bukan untuk menjadi penonton di panggung kebobrokan, melainkan untuk menjadi ashhabul kahfi masa kini: pemuda-pemuda yang beriman dan teguh menolak tunduk pada kekuasaan yang batil. Sebagaimana Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (TQS. Al-Kahfi: 13)
Adapun arah kesadaran politik generasi muda harus dipandu agar tidak terjebak dalam tindakan destruktif atau stigma “anarkisme.” Kesadaran itu harus tumbuh di atas pondasi akidah Islam, agar perjuangan mereka memiliki arah yang jelas yakni menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai syariat Allah.
Dalam sistem Khilafah Islamiyah, pemuda tidak hanya dilatih berpikir kritis, tetapi juga dibentuk menjadi pribadi yang matang secara spiritual dan moral. Mereka tidak melawan sekadar karena emosi, melainkan karena dorongan iman dan tanggung jawab kepada Allah ï·». Kesadaran politik mereka bukan untuk kepentingan duniawi, tetapi untuk memperjuangkan ridha Allah serta penerapan hukum-Nya secara kaffah di muka bumi.
Sebab, sejatinya perubahan hakiki tidak lahir dari sistem yang zalim, melainkan dari kesadaran politik yang berlandaskan syariat Islam. Generasi muda hari ini harus menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya menolak kebijakan yang menindas, tetapi juga memperjuangkan sistem yang menegakkan keadilan sesuai firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (TQS. Al-Ma’idah: 8)
Oleh karena itu, membungkam kesadaran politik generasi muda sama artinya dengan melakukan kejahatan terhadap umat dan mematikan semangat perubahan. Membungkam mereka berarti menutup pintu bagi perbaikan dan membuka jalan bagi kehancuran. Tugas para pemimpin dan pendidik bukan menakuti atau mengkriminalisasi mereka, tetapi mengarahkan kesadaran itu agar berpijak pada syariat Islam. Sebab, dari tangan-tangan pemuda yang sadar, beriman, dan terdidik dengan akidah inilah akan lahir perubahan besar menuju kehidupan yang penuh keberkahan, di bawah naungan khilafah Islamiyyah.
Via
Opini
Posting Komentar