OPINI
Di Balik Panggung Hari Guru: Ketidakadilan Struktural yang Tak Pernah Usai
Oleh: Dyah Ayu Cempaka
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Hari Guru kembali dirayakan dengan penuh seremonial, pujian, dan ucapan terima kasih. Namun di balik itu semua, terdapat kenyataan pahit yang tak mampu disembunyikan oleh panggung perayaan: profesi guru masih dihantui ketidakadilan struktural. Banyak guru honorer yang harus bekerja dengan gaji di bawah standar hidup layak, status yang tidak jelas, serta beban kerja yang jauh lebih berat dibanding apresiasi yang mereka terima. Ketimpangan antara guru ASN dan honorer masih menganga, sementara proses sertifikasi dan birokrasi administratif hanya menambah tekanan tanpa menyelesaikan akar persoalan. Fenomena ini menunjukkan bahwa guru yang seharusnya menjadi pilar utama pencerdasan bangsa, belum mendapatkan tempat terhormat dalam sistem yang berlangsung hari ini.
Jika ditarik lebih dalam, problem ini tidak dapat dilepaskan dari fondasi sistem sekularisme–kapitalisme yang kini mengatur negeri. Dalam paradigma sekuler, pendidikan dipisahkan dari nilai spiritual dan moral, ia berubah menjadi mekanisme teknis yang mengikuti standar-standar material. Sementara itu, kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai komoditas, sebuah industri yang bergerak mengikuti logika pasar. Akibatnya, guru sering dipandang sebagai tenaga murah, bukan aset strategis peradaban. Anggaran lebih banyak terserap pada pembangunan fisik dan proyek-proyek besar, sementara kesejahteraan guru dan kualitas pengajaran menjadi urusan kesekian. Negara membuka pintu outsourcing tenaga pendidik, menciptakan tumpukan guru honorer yang hidup dalam ketidakpastian bertahun-tahun. Profesionalisme guru tidak dihargai sebagaimana mestinya, karena di mata sistem, mereka adalah bagian dari pasar tenaga kerja, bukan penjaga generasi.
Padahal, Islam sejak awal sudah menegaskan kemuliaan yang sangat besar bagi para pengajar. Allah berfirman, “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah: 11). Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan ilmu dan pengajarnya bukan sekadar apresiasi sosial, tetapi ketetapan Ilahi.
Pada masa Khilafah, kemuliaan ini bukan hanya konsep teologis, tetapi sistem praktis yang nyata. Para guru digaji dengan layak dari Baitul Mal. Bukan dari pungutan murid atau dana Pendidikan, karena pendidikan dipandang sebagai kebutuhan publik yang wajib dipenuhi negara. Gaji guru stabil, cukup, dan bahkan setara dengan pejabat negara lainnya. Banyak guru kuttab memperoleh gaji 1–2 dinar setara dengan sekitar 9,7–19,5 juta rupiah per bulan,, sementara para mudarris dan ulama besar mendapatkan 10–15 dinar setara dengan sekitar 97–147 juta rupiah per bulan dalam kitab Muqaddimah karya ibn Khaldun, jumlah yang jauh melampaui standar hidup saat itu. Negara menyediakan fasilitas mengajar seperti kuttab, madrasah, perpustakaan, hingga asrama bagi guru dan murid, memastikan mereka bisa mengajar dalam kondisi terbaik. Tidak ada konsep guru honorer, outsourcing, atau kontrak yang menggantung masa depan mereka.
Guru juga mendapatkan kedudukan sosial yang tinggi, dihormati masyarakat, dan sering dijadikan penasihat pemimpin. Dalam sejarah, para khalifah dan sultan mendudukkan guru pada posisi terhormat, karena mereka memahami sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari No. 5027).
Hadis ini menjadi landasan mengapa profesi pengajar ditempatkan pada derajat tinggi dan diperlakukan layak baik secara material maupun moral. Sistem Islam menempatkan ilmu sebagai kemuliaan, sehingga yang mengajarkannya pun dimuliakan secara struktural, bukan sekadar seremonial tahunan. Itulah sebabnya peradaban Islam mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Ghazali—semuanya tumbuh dalam atmosfer pendidikan yang memuliakan guru, bukan menindas mereka.
Hari Guru seharusnya bukan hanya momen untuk memberikan ucapan, tetapi momentum untuk bertanya: selama pendidikan berada dalam cengkeraman sistem sekularisme–kapitalisme, mungkinkah guru benar-benar dimuliakan? Atau kita membutuhkan sistem yang menempatkan guru sebagai fondasi peradaban sebagaimana yang Islam pernah wujudkan selama berabad-abad? Sejarah membuktikan bahwa Islam memiliki jawabannya—sebuah sistem yang tidak hanya menghormati guru dengan kata-kata, tetapi memuliakan mereka melalui kebijakan nyata, adil, dan berpijak pada nilai ilahiah.
Via
OPINI
Posting Komentar