Opini
Kenapa Masih Kesepian, Padahal Scroll Medsos Seharian?
Oleh: Gesti Ghassani
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Timeline rame, notifikasi nggak berhenti, video TikTok ngalir terus. Tapi kok tetap aja ada rasa kosong yang nggak bisa hilang? Kalau kamu pernah ngalamin ini, berarti kamu nggak sendirian. Fenomena ini bahkan udah diteliti sama mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Mereka bikin riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”.
Hasilnya, dunia digital sering terasa lebih “nyata” daripada realitas. Emosi yang dibangun lewat konten audiovisual bisa bikin kita ketawa, terharu, atau semangat sesaat, tapi kadang justru ninggalin rasa kosong setelah layar ditutup (Detik.com, 18-09-2025).
Gen Z: Paling Online, Tapi Juga Paling Sepi
Kita tahu Gen Z adalah generasi paling dekat sama gadget dan media sosial. Tapi ironisnya, banyak dari mereka justru ngerasa kesepian, insecure, bahkan struggling sama kesehatan mental. Jadi masalahnya bukan sekadar kurang literasi digital, tapi gimana kita memaknai interaksi sosial di era serba online ini.
Platform media sosial memang didesain biar bikin kita betah scroll tanpa henti. Sayangnya, efek sampingnya adalah hubungan nyata jadi renggang. Bahkan di rumah sendiri, keluarga bisa terasa jauh karena semua sibuk sama HP masing-masing.
Kalau kondisi ini dibiarkan, generasi muda bisa tumbuh rapuh. Padahal, mereka punya potensi besar buat produktif, berkarya, dan peduli sama sekitar. Jadi, solusinya apa dong?
1. Sadar kalau medsos itu pedang bermata dua
Medsos memang bisa jadi ruang belajar, silaturahmi, bahkan peluang kerja. Tapi algoritma dibuat untuk bikin kita kecanduan, bukan bahagia. Kalau kita nggak sadar dari awal, kita bisa gampang hanyut, ngerasa “rame” di timeline padahal hati makin sepi. Kesadaran ini penting biar kita bisa ambil kendali, bukan dikendalikan.
2. Bangun interaksi nyata
Likes dan views itu menyenangkan, tapi nggak bisa gantiin pelukan ibu, tawa sahabat, atau diskusi hangat di komunitas positif. Justru interaksi nyata sering bikin hati lebih kuat menghadapi masalah.
Memang, interaksi juga bisa bikin hati rapuh karena kadang ada konflik, kadang disakiti. Tapi di situlah kita belajar sabar, empati, dan tumbuh bareng orang lain. Kalau kita cuma sembunyi di dunia digital, kemampuan ini bisa tumpul.
3. Sandarkan hati pada Allah
Pada akhirnya, interaksi manusia ada batasnya. Bahkan orang terdekat bisa bikin kecewa. Hanya Allah yang nggak pernah meninggalkan.
Kalau kita mentadabburi Surat An-Nas, Allah mengajarkan kita untuk selalu minta perlindungan kepada-Nya sebagai Rabb (yang ngurus hidup kita), Malik (yang punya kuasa penuh), dan Ilah (yang pantas disembah). Jadi, ketika dunia digital bikin kita rapuh, sepi, dan mudah terluka, Allah lah tempat pulang. Islam bukan cuma ngajarin doa, tapi juga gaya hidup yang bikin hati tenang: shalat, zikir, tilawah, hingga kontribusi nyata buat umat.
4. Negara harus hadir
Kesepian bukan cuma masalah individu, tapi juga sistem. Kalau negara membiarkan industri digital dikuasai logika profit, rakyat akan terus jadi korban algoritma yang memicu kecanduan.
Negara harus hadir mengatur arah pemanfaatan teknologi: memfilter konten yang merusak, membatasi arus informasi yang toxic, sekaligus mendorong anak muda biar produktif, berkarya, dan peduli sama problematika umat. Tanpa itu, kita akan terus jadi “generasi online” yang aktif di layar tapi pasif di dunia nyata.
Kesepian di tengah keramaian digital itu problem nyata kita semua hari ini. Jadi, jangan sampai kita cuma jadi generasi yang rame di timeline, tapi sepi di hati. Pegang erat Allah, dan dorong hadirnya sistem yang adil. InsyaAllah hati kita bakal tetap kuat meski dunia makin bising.
Via
Opini
Posting Komentar