Opini
Kapitalisme Meniscayakan Kerusakan Tata Kelola Tambang
Oleh: Afifah
(Muslimah Brebes)
TanahRibathMedia.Com—Fakta mengejutkan datang lagi dari Indonesia yakni terkait besarnya kerugian negara akibat praktik tambang illegal yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. dikutip dari www.tempo.co (7-10-2025), Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya saat menyaksikan penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk. menyebut kerugian negara akibat kejahatan ini mencapai sekitar Rp300 triliun..
Aset yang disita berupa alat berat, logam timah, tanah, hingga fasilitas melter dengan nilai mencapai 6 hingga 7 triliun rupiah.
Ia menegaskan bahwa tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap kepentingan bangsa karena merampas kekayaan alam milik rakyat.
Data menunjukkan jumlah tambang bermasalah di Indonesia mencapai ribuan dengan lebih dari 2000 titik pertambangan tanpa izin atau peti tersebar di berbagai daerah (www.CnnIndonesia.com, 16-9-2025). Fakta ini menegaskan bahwa kerusakan tata kelola sumber daya alam telah menjadi masalah sistemik.
Selama bertahun-tahun, pengelolaan tambang di Indonesia berjalan dalam pola yang merugikan negara, namun dibiarkan tanpa penyelesaian berarti. Sumber daya alam yang semestinya menjadi milik dan sumber kemakmuran rakyat justru dikuasai segelintir korporasi besar demi menumpuk keuntungan.
Sementara masyarakat di sekitar tambang hidup dalam kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini menegaskan betapa lemahnya pengawasan dan minimnya keberpihakan negara terhadap rakyat sekaligus menggambarkan rapuhnya sistem tata kelola yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal daripada amanah pengelolaan kekayaan publik.
Lebih jauh lagi, terjadi swastanisasi tambang yakni menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan-perusahaan swasta termasuk asing. Pada hakikatnya adalah bentuk perampasan terhadap hak kepemilikan umum (rakyat). Akar dari semua kesalahan tata kelola ini terletak pada penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang menjadikan keuntungan materi sebagai tolok ukur utama dalam setiap kebijakan. Dalam sistem ini, negara berperan hanya sebagai fasilitator bagi kepentingan korporasi, bukan pelindung bagi rakyat. Ketika agama dipisahkan dari urusan ekonomi dan politik, jadilah urusan umat termasuk pengelolaan sumber daya alam diatur berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia. Akibatnya pengelolaan sumber daya alam berubah menjadi eksploitasi tanpa batas.
Semua itu berdampak pada terjadinya kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan struktural terus berulang.
Hanya dengan mengganti paradigma kapitalistik ini menuju sistem Islam kaffah, pengelolaan tambang dapat dikembalikan pada tujuan asalnya yakni sebagai amanah yang dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang. Dalam paradigma Islam, tambang termasuk kategori kepemilikan umum yakni kekayaan yang diciptakan Allah untuk dimanfaatkan seluruh rakyat, bukan dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya:
"Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Para ulama memahami bahwa yang dimaksud api dalam konteks ini mencakup berbagai sumber energi dan kekayaan alam seperti minyak, gas, batu bara, dan hasil tambang lainnya. Artinya, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada swasta karena tambang bukan objek bisnis, melainkan amanah publik yang wajib dijaga dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Imam Asy- Syafi'i dalam Al-Um menjelaskan bahwa penguasa tidak boleh memberikan izin kepemilikan pribadi atas sesuatu yang menjadi kebutuhan bersama umat. Dalam konteks ini, menyerahkan tambang kepada perusahaan swasta apalagi asing sama halnya dengan menyerahkan urat nadi ekonomi umat kepada pihak yang tidak memiliki tanggung jawab syar'i. Pandangan ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizham al-Iqtisadi fii al- Islam bahwa segala sesuatu yang secara alami diperlukan masyarakat secara umum dan jika dikuasai individu dapat menimbulkan kemudaratan besar bagi orang lain maka termasuk kepemilikan umum yang haram dikuasai individu. Beliau menambahkan, negara tidak berhak menjual, menyewakan, atau memberikan izin eksploitasi sumber daya alam yang termasuk dalam kepemilikan umum kepada pihak swasta. Karena tindakan itu berarti memindahkan hak umat kepada segelintir orang. Negara dalam Islam sejatinya berperan sebagai raa'in (pengurus rakyat).
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Imam atau pemimpin adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hakikat pengelolaan tambang dalam Islam bukanlah untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi untuk menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Negara berkewajiban mengelola hasil tambang dan mendistribusikan manfaatnya secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam bentuk fasilitas publik, pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun subsidi kebutuhan dasar masyarakat. Keuntungan dari sektor tambang akan masuk ke Baitul Maal, yaitu lembaga keuangan negara dalam sistem Islam yang menyalurkan dana untuk kepentingan umat. Dengan demikian, kekayaan alam benar-benar menjadi sumber keberkahan dan kemakmuran, bukan alat penghasil kekayaan bagi segelintir elit atau perusahaan raksasa. Hal ini hanya mungkin terwujud di bawah sistem politik dan ekonomi Islam dimana negara berfungsi sebagai pelindung rakyat dan pelaksana hukum Allah secara total.
Dalam negara Islam yakni Khilafah, setiap kebijakan ekonomi berpijak pada hukum syara, bukan pada keuntungan semata. Negara akan menutup peluang korporasi menguasai sumber daya strategis serta memastikan seluruh pengelolaannya dilakukan dengan prinsip amanah dan tanggung jawab di hadapan Allah. Maka hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, tambang dan sumber daya alam lainnya dapat menjadi instrumen kesejahteraan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar