Opini
Generasi Fatherless, Lahir dari Sistem Sekuler-Kapitalistik
Oleh: Reni Susanti, S.A.P
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena Fatherless, kini banyak muncul ditengah-tengan masyarakat akibat dari sistem kehidupan sekuler-kapitalistik. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024. Ada 15,9 Juta anak atau 20,1 persen dari total 79,4 Juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun yang berpotensi mengalami fatherless. Sebanyak 4,4 Juta karena tidak tinggal bersama ayah. Adapun 11,5 Juta anak karena ayahnya sibuk bekerja atau separuh harina lebih banyak bekerja diluar rumah.
Hasil survei kualitatif pada 16 psikolog klinis di 16 kota di Indonesia, sembilan psikilog mengatakan fatherless memberikan dampak rasa minder dan emosi/mental yang labil. Adapun tujuh psikolog menjawab kenakalan remaja. Lima psikolog menyebutkan sulit berinteraksi sosial dan empat lainnya menjawab motivasi akademik rendah sebagai dampak berikutnya.
Psikilog di Toraja, Sulawesi Selatan Lindarda S Panggolo menyebutkan, anak yang tumbuh tanpa figur ayah bisa bertumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri dan kerap menjadi korban kekerasan.
Dipublikasi dari Tagar.co (8-10-2025), Prof. Triyo Supriyatno Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengatakan ketiadaan figur ayah dalam proses pengasuhan anak tidak selalu ketiadaan ayah secara fisik. Justru sebagian besar kasus fatherless di Indonesia menunjukkan bahwa ayah memang hadir secara fisik, namun absen secara emosional. Banyak ayah bekerja lebih dari 60 jam perpekan sehingga waktu interaksi dengan anak sangat terbatas. Ayah kerap merasa sudah berperan besar ketika sudah menyediakan kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal tidak demikian, anak membutuhkan kehadiran emosional, teladan moral, interaksi sehari-hari.
Menurut Prof. Triyo Supriyatno, setidaknya ada dua faktor penyebab kasus fatherless di Indonesia. Pertama, budaya patriarki menanam pandangan bahwa ayah yang mampu bekerja keras, menghasilkan uang dan menafkahi keluarga adalah sosok ayah sejati. Nilai ini telah menggeser makna pengasuhan menjadi sekadar tanggung jawab finansial. Kedua, tekanan ekonomi yang mendorong ayah untuk bekerja lembur atau merantau keluar daerah, sehingga fatherless menjadi dampak yang tidak terelakkan lagi.
Sekuler-Kapitalis Merenggut Peran Ayah
Jutaan anak Indonesia mengalami fatherless, akibat ketiadaan peran ayah baik secara biologis maupun psikis. Fatherless dilatarbelakangi secara dominan oleh kesibukan seorang ayah mencari nafkah dan ketidakhadirannya sebagai pendidik. Generasi fatherless bukanlah hadir secara tiba-tiba, kondisi ini lahir dari sistem hidup kapitalistik. Para ayah tersita waktunya untuk memenuhi kebutuhan nafkah. Sehingga waktu untuk membersamai anak sangat minim. Hal ini menghilangkan fungsi qawwam dalam diri para ayah, karena ayah bukan hanya sebagai pemberi nafkah, namun juga sebagai teladan dan pendidik bagi anak hingga memberikan rasa aman bagi anak.
Sebagian besar isu fatherless di Indonesia terjadi disebabkan karena faktor ekonomi. Meskipun tidak bisa dipungkiri juga terjadi karena kurangnya kesadaran bahwa pengasuhan anak adalah tugas kedua orangtua, bukan hanya ibu. Namun sulit dielak bahwa desakan ekonomi disistem kehidupan saat ini kerapkali memaksa orangta bekerja lebih keras hinga menyita waktu. Hanya saja, solusinya bukanlah sekedar memaksa para ayah untuk menyediakan waktu atau mengadakan kelas parenting saja. Ada masalah yang jauh lebih serius yang membutuhkan pandangan lebih mendalam.
Fenomena fatherless tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi yang dibentuk oleh sistem ekonomi kapitalis yang telah melahirkan kesenjangan ekstrem hingga membuat orang kaya semakin kaya, orang miskin menjadi miskin. Tentu saja mayoritas masyarakat adalah orang miskin yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan orang kaya. Kesenjangan inilah yang menyita waktu para ayah untuk bekerja lebih lama.
Negara telah absen dalam memberikan jaminan ekonomi masyarakat. Padahal hal tersebut adalah kewajiban mendasar bagi negara. Jaminan ekonomi bisa berupa lapangan kerja yang layak dan adil, harga pangan, pendidikan, kesehatan yang murah dan terjangkau. Hal ini sangatlah mungkin dilakukan karena Indonesia mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah. SDA tersebut akan memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia jika dikelola sendiri oleh pemerintah. Sayangnya saat ini SDA yang melimpah tersebut dikelola dan dimanfaatkan untuk asing dan segelintir pihak. Kondisi berbalik dari harapan, lapangan kerja yang sulit, harga kebutuhan pokok mahal, kesehatan dan pendidikan apalagi.
Pandangan Islam
Dalam Islam, ayah dan ibu sama-sama punya fungsi yang penting. Ayah sebagai pemberi nafkah dan teladan dalam mendidik anak sebagaimana kisah Lukman dalam surah Luqman ayat 13. Allah telah memberikan seperangkat aturan agar ayah dapat optimal dalam menjalankan perannya dalam keluarga. Allah menetapkan kepemimpinan berada ditangan laki-laki sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 34. Ayah bertanggung jawab atas spiritual/pendidikan agama, emosional (membimbing keluarga), dan material berupa menafkahi.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memang kunci pendidikan anak berada di tangan ibu, namun keberhasilan pendidikan tersebut tetaplah di tangan ayah. Peran ayah dalam pengasuhan anak ada pada proses pembentukan kepribadian anak, yakni kasih sayang, perhatian, dan keteladanan. Dari sosok ayah, anak mendapatkan keteladanan keimanan, kepemimpinan, daya tahan, daya tarung. Dari sosok ayah juga, anak laki-laki siap menjadi qawwam dan anak perempuan siap menjadi al-umm wa rabbatul bait dan madrasah ula.
Allah mewajibkan bukan hanya untuk mencari nafkah, namun juga jihad fiisabilillah dan kewajiban lainnya yang menuntut mereka harus keluar rumah. Peran ini tentu tidak mudah, karena itu, Allah Taala memerintahkan negara sebagai pihak yang berfungsi sebagai pelayan umat untuk menopang kewajiban para ayah ini agar terealisasi dengan optimal.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :
”Imam atau khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Negara yang menerapkan sistem Islam akan men-support peran ayah dengan membuka lapangan kerja dengan upah yang layak dan memberikan jaminan kehidupan sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak.
Negara Islam memastikan ekonomi negara berjalan sebagaimana mestinya. Harga kebutuhan pokok terjangkau oleh gaji para ayah. Selain itu juga menjamin kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis untuk masyarakat.
Ayah tidak perlu mencari kerja sampingan demi kebutuhan keluarga. Bahkan seandainya sosok ayah telah tiada, Islam memiliki sistem perwalian yang menjamin setiap anak akan tetap memiliki figur ayah. Perwalian itu diserahkan kepada kakek dan paman dari jalur ayah, islam tidak akan membiarkan anak-anak tanpa pengasuhan sosok ayah.
Hari ini, negara Kapitalisme absen dari peran ra’in atau pengurus rakyat. Faktor inilah yang membuat anak-anak banyak mengalami fatherless. Karena itu, umat harus menyadari bahwa fenomena fatherless ni akibat manusia tidak menaati aturan Allah dalam segala aspek, baik secara individu hingga level negara.
Via
Opini
Posting Komentar