Opini
Fatherless Society: Luka Sunyi di Balik Hilangnya Kepemimpinan Ayah
Oleh: Eka Sulistya
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dalam sistem kapitalis, nilai manusia sering diukur dari produktivitas ekonomi, bukan peran sosial atau spiritualnya. Seorang ayah dinilai “berhasil” jika ia bekerja keras dan menghasilkan pendapatan tinggi. Meski harus mengorbankan waktu, perhatian, bahkan kedekatan dengan anak dan keluarga.
Sistem ekonomi ini memaksa banyak ayah lebih loyal kepada pekerjaan daripada keluarga. Mereka meninggalkan rumah sebelum subuh dan kembali setelah anak tertidur, sementara anak tumbuh tanpa sentuhan kasih dan bimbingan. Akhirnya muncul generasi fatherless, bukan karena ayah meninggal atau bercerai. Tetapi karena ayah diambil oleh sistem yang memuja materi.
Selain kapitalisme yang merenggut peran keayahan, sekularisme juga turut andil. Sekularisme adalah faham yang memisahkan urusan agama dari kehidupan sosial. Konsekuensinya, pernikahan dan keluarga dianggap urusan pribadi, bukan ibadah dan amanah dari Allah.
Dalam pandangan sekuler, ayah hanyalah “partner biologis” atau “penyedia kebutuhan material,” bukan pemimpin spiritual. Nilai-nilai kepemimpinan (qawwamah) dan tanggung jawab syar’i pun terkikis.
Di beberapa negara besar, satu dari empat anak hidup tanpa ayah (data sensus atau pendaftaran rumah tangga menunjukkan proporsi tinggi anak yang tinggal di rumah tanpa ayah biologis atau asal). Di Indonesia, menurut pernyataan resmi BKKBN/antaranews, sekitar 20.9% anak dilaporkan tumbuh tanpa figur ayah yang aktif. Angka yang dipandang sebagai fenomena sosial penting yang perlu perhatian kebijakan. Menurut riset ilmiah berkualitas menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah berkaitan secara konsisten dengan beberapa hasil negatif pada anak, meskipun ukuran efeknya bervariasi dan dipengaruhi faktor-faktor lain (misalnya kemiskinan, dukungan sosial, kualitas hubungan dengan ibu) (Kompas.id, 10-10-2025).
Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah yang aktif dalam kehidupan anak, kini menjadi isu sosial yang mengkhawatirkan. Tidak hanya berdampak pada aspek emosional dan psikologis anak, tetapi juga menyentuh akar ketahanan keluarga dan moralitas masyarakat. Dalam perspektif Islam, hilangnya peran ayah berarti hilangnya salah satu tiang penyangga utama rumah tangga yang seharusnya menjadi sumber kasih sayang, keteladanan, dan kepemimpinan.
Ayah Sebagai Qawwam, Pilar Kepemimpinan dalam Islam
Islam menempatkan peran ayah dalam posisi yang mulia dan strategis, Allah berfirman:
“Kaum laki-laki adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (TQS. An-Nisa: 34)
Konsep qawwam menunjukkan tanggung jawab seorang ayah dalam memimpin, melindungi, menafkahi, serta membimbing keluarganya menuju kehidupan yang diridhai Allah. Namun, dalam realita modern, peran ini sering tergerus oleh gaya hidup materialistik, kesibukan dunia kerja, maupun lemahnya pemahaman agama. Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa figur ayah yang hadir secara utuh baik secara fisik maupun emosional.
Dampak Fatherless bagi Generasi
Ketidakhadiran ayah tidak hanya menimbulkan kesenjangan kasih sayang, tetapi juga mempengaruhi pembentukan karakter dan akhlak anak. Banyak penelitian modern menunjukkan bahwa anak yang tumbuh tanpa bimbingan ayah cenderung memiliki tingkat stres emosional lebih tinggi, rentan terhadap kenakalan remaja, serta memiliki pencapaian akademik yang lebih rendah.
Namun, lebih dari sekadar data, Islam menilai fenomena ini sebagai krisis dan kepemimpinan keluarga. Tanpa bimbingan ayah yang menanamkan nilai-nilai tauhid, disiplin, dan tanggung jawab, anak kehilangan sosok panutan yang meneguhkan identitasnya sebagai hamba Allah.
Solusi Islam terhadap Fenomena Fatherless
Pertama, Islam menawarkan solusi komprehensif untuk menghadapi persoalan ini. Penguatan spiritual ayah harus menjadi prioritas. Seorang ayah hendaknya menyadari bahwa tanggung jawab kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, pembangunan ketahanan keluarga perlu berbasis nilai-nilai Islam, bukan sekadar kesejahteraan materi. Ayah harus menjadi figur yang mendidik dengan kasih sayang, menuntun dengan teladan, dan menegakkan nilai syariat di rumah tangga.
Ketiga, masyarakat dan lembaga Islam serta komunitas perlu turut berperan aktif dalam mendampingi keluarga yang kehilangan figur ayah. Masjid, lembaga Islam, ilmu parenting dan komunitas keislaman dapat menjadi tempat pembinaan dan perlindungan sosial agar anak-anak tetap mendapatkan bimbingan spiritual dan moral.
Fenomena fatherless bukan hanya krisis keluarga, tetapi juga cerminan lemahnya kesadaran akan tanggung jawab keislaman seorang ayah. Ketika ayah tidak lagi menjadi pemimpin bagi keluarganya, maka runtuhlah satu sendi penting dalam peradaban umat. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk mengembalikan fungsi ayah sebagai pemimpin yang beriman, pengasih, dan bertanggung jawab. Hanya dengan menghidupkan kembali peran ayah sesuai tuntunan Islam, generasi mendatang dapat tumbuh menjadi pribadi yang kuat, berakhlak mulia, dan berkontribusi bagi kemuliaan umat.
Jika ayah kembali kepada perannya sebagai qawwam, maka rumah tangga akan kembali menjadi taman iman dan rahmat.
Peran Negara: Menegakkan Sistem yang Menyokong Keluarga
Fenomena fatherless tidak lepas dari sistem kapitalisme yang menekan manusia bekerja tanpa henti. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara berperan memastikan laki-laki dapat menjadi qawwam tanpa terbebani tekanan ekonomi yang melumpuhkan.
Peran Negara Islam:
1.Menjamin kebutuhan dasar setiap keluarga (sandang, pangan, papan).
2.Mengatur sistem kerja yang adil agar ayah tidak teralienasi dari rumah.
3.Menghadirkan pendidikan berbasis iman agar nilai kepemimpinan ayah tertanam dalam masyarakat.
Dengan sistem seperti ini, ayah tidak lagi sekadar pencari nafkah, tetapi pemimpin rohani yang berperan utuh ada dii rumah.
Ayah yang hadir dengan iman adalah pelita bagi keluarganya. Jika setiap ayah memimpin dengan takwa, dan setiap keluarga berdiri di atas kasih sayang dan syariat, maka tak akan ada lagi generasi yang kehilangan arah. Islam menuntun agar setiap ayah kembali menjadi pelindung keluarga, bukan sekadar pencari nafkah. Dari pundak merekalah lahir pemimpin masa depan yang akan menegakkan cahaya Islam di bumi.
Via
Opini
Posting Komentar