OPINI
Miris, Bencana Sumatra Bukan Bencana Nasional
Oleh: Harnita Sari Lubis
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menjelaskan alasan pemerintah belum menetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional dikarenakan banjir dan longsor di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh masih berada pada tingkat daerah provinsi (Kompas.com, 28-11-2025).
Suharyanto beranggapan bahwa bencana nasional di Indonesia sangat jarang terjadi. Menurut kepala BNPB tersebut, yang pernah ditetapkan Indonesia sebagai bencana nasional itu hanya Covid-19 dan tsunami Aceh 2004. Sementara itu, bencana besar lain seperti gempa Palu, NTB, dan Cianjur pun tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Parameter Bencana Nasional dinilai belum terpenuhi karena penetapan bencana nasional memiliki parameter utama, mulai dari kerusakan absolut, lumpuhnya pemerintahan daerah, sampai hilangnya kendali layanan publik. Struktur pemerintahan daerah disebut masih bisa menangani keadaan dengan bantuan pusat yang terus mengalir.
Berkenaan dengan pernyataan kepala BNPB tersebut dapat memicu kemarahan masyarakat karena masyarakat menganggap pemerintah abai dalam mengurusi rakyatnya. Banyak para netizen berkomentar di sosmed yang menyayangkan bahkan marah terhadap pernyataan Suharyanto tersebut. Seolah-seolah kepala BNPB ini tidak merasakan kesulitan dan penderitaan yang dialami rakyat yang terkena dampak bencana ini di Sumatra Utara, Aceh dan Padang.
Namun karena dikritik netizen di medsos akhirnya Suharyanto meminta maaf kepada masyarakat tentang pernyataannya bahwasanya bencana alam tidak terlalu mengerikan seperti berita di medsos. Dia meminta maaf atas pernyataan tersebut. Ternyata kondisi di lapangan lebih berat (Kompas TV, 30-11-2025).
Para pemimpin sekarang menganggap bahwasanya bencana alam yang terjadi hanya bencana alam yang bisa terjadi setiap tahunnya. Mereka menganggap bencana alam itu memang selalu terjadi. Padahal sejatinya bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh penambangan dan penebangan kayu yang ugal-ugalan. Sehingga tidak ada lagi penahan air digunung ketika musim hujan tiba yang mengakibatkan longsor dan banjir di Sumatra. Walhi sudah mengingatkan kepada pemerintah melalui data yang mereka punya bahwasanya dari tahun 2016 sampai tahun 2025 walhi mencatat seluas 1,4 juta hektar hutan di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh telah terdeforestasi dikarenakan aktivitas 631 perusahaan yang memegang izin tambag, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.
Akibatnya, banjir dan longsor hebat terjadi pada akhir tahun 2025 yang mengakibatkan infrastruktur di Sumatra Utara, Sumatra barat, dan Aceh banyak yang rusak. Jembatan banyak yang putus sehingga ketika air surut bantuan untuk daerah tertentu sulit dijangkau seperti Gayo, Takengon, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Sigli, Kuala Simpang. Begitu juga yang ada di Tapteng dan Tapsel, dan juga Padang .
Begitupun bencana ini tidak juga menjadi pusat perhatian oleh pemerintah pusat. Padahal berita terjadinya bencana ini sudah masuk berita dunia. Akhirnya banyak bantuan dari luar negeri untuk membantu daerah yang terkena dampak banjir, sperti Malaysia sudah mengirimkan bantuannya ke Aceh. Adapun Jepang juga ingin membantu Indonesia tetapi karena Jepang belum mendapat izin dari pemerintah pusat untuk membantu Indonesia sehingga utusan dari Jepang datang untuk melihat kondisi terlebih dahulu barulah akan dikirim bantuan dari Jepang.
Pemerintah Indonesia acuh tak acuh menolong masyarakat yang terkena dampak.
Kondisi ini terjadi akibat diterapkannya sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan mementingkan materi semata sehingga ketika rakyatnya susah dan kesulitan hidup, pemerintahnya tidak mau peduli. Yang ada hanya formalitas belaka membawa bantuan di depan kamera agar masyarakat tidak marah terhadap pemerintahnya.
Sementara masih banyak lagi daerah-daerah yang terisolir yang belum dapat bantuan sedikit pun. Inilah sistem yang merusak manusia dan nir empati.
Islam memandang bencana adalah kemarahan dari Allah baik itu banjir longsor maupun gempa. Di dalam sistem pemerintahan Islam, manusia berserikat dalam tigal hal yaitu bumi air dan api. Maksudnya adalah sumber daya alam yang ada di negeri ini baik itu air, tambang, api yaitu energi bumi baik itu gas atau pun minyak di kelola oleh negara dan diberikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Boleh saja menebang pohon untuk kebutuhan masyarakat tetapi ada batasnya. Tidak menebang ugal-ugalan seperti yang dilakukan oleh para perusahaan sekarang yang diberi izin oleh para pejabat pemerintah sehingga akhirnya bencana longsor dan banjir yang terjadi.
Seperti yang sudah diperingatkan Allah di dalam Al-Qur'an surah Ar-rum ayat 41 yang artinya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Islam memandang boleh saja menebang hutan untuk kepentingan masyarakat seperti untuk membangun rumah dan untuk kayu bakar, akan tetapi hanya sebatas keperluan masyarakat saja sehingga pohon tidak ditebang habis seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Akhirnya mengakibatkan hutan kehilangan fungsinya untuk menyerap curah hujan yang tinggi sehingga terjadilah bencana alam longsor dan banjir.
Maka dari itu, umat harus sadar bahwasanya hanya dengan peraturan Islamlah bumi dan kekayaan alam akan terjaga dengan baik dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyatnya bukan untuk menyejahterakan segelintir orang saja. Adapun peraturan Islam hanya dapat diterapkan ketika institusi khilafah tegak sehingga peraturan-peraturan yang bersumber dari Allah yaitu Al Quran dan hadits dapat diterapkan secara sempurna dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Wallahu a'lam.
Via
OPINI
Posting Komentar