Opini
Gen-Z di Persimpangan, antara Koneksi Virtual dan Kesepian yang Nyata
Oleh: Amanah Andriani, S.Pd
(Aktivis Muslimah Dompu)
TanahRibathMedia.Com—Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, memungkinkan akses instan untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Di Indonesia, Gen-Z adalah pengguna media sosial paling aktif, dengan 81% pengguna Instagram, 70% pengguna TikTok, dan 69% pengguna YouTube. Mereka menghabiskan rata-rata lebih dari 3 jam sehari di media sosial untuk hiburan, interaksi, dan informasi (Goodstats.id, 10-02-2025).
Namun, dampak buruk media sosial tidak bisa diabaikan. Interaksi di platform media sosial sering kali terasa kurang autentik, dan tekanan untuk terhubung dan mengikuti tren dapat menyebabkan FOMO (Fear of Missing Out), ketergantungan, dan dampak negatif pada kesehatan mental. Banyak pengguna merasa kesepian dan terasing dari dunia nyata.
Fenomena ini menarik perhatian peneliti, seperti mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) yang melakukan riset tentang kesepian di TikTok melalui teori hiperrealitas. Menurut teori ini, representasi digital dapat dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri, memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang (Detik.com, 18-09-2025).
Akar Masalah Kesepian
Fenomena Gen-Z yang merasa kesepian di tengah keramaian merupakan dampak turunnya kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial, tidak lain karena sekularisme itu sendiri. Sistem yang rusak ini mengakibatkan Gen-Z bergaya hidup bebas, hedonistik, konsumerisme dan individualis.
Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama mereka. Perasaan khawatir atau cemas bahwa para gen z akan ketinggalan momen pengalaman atau informasi penting yang sedang viral membuat mereka fokus ke media sosial dan tidak terlalu memperhatikan dunia nyata termasuk interaksi secara nyata.
Bayangkan, jumlah Gen-Z di Indonesia pada tahun 2025 di perkirakan sekitar 75 juta jiwa (Indonesiabaik.id, nd-02-2025). Dengan jumlah yang demikian besar jika tidak di arahkan dengan benar akan menyia-nyiakan potensi Gen-Z untuk berkarya dan berprestasi lebih baik serta menghalangi potensi mereka sebagai agen membawa perubahan menuju kebaikan.
Gaya hidup yang mengacu pada orientasi hidup yang lebih fokus pada kesenangan dan kenikmatan serta kepuasan diri dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, moral dan etika, itu menjadikan Gen-Z individualis. Gaya hidup FOMO ini lebih mementingkan kepuasan pribadi dan seringkali mengabaikan nilai-nilai moral memengaruhi integritas sosial dan akhlak individu serta merusak norma sosial yang ada. Gen-Z yang mengikuti gaya hidup tersebut memprioritaskan hal-hal materi dan konsumtif berlebihan, yang dapat menjadi penyebab ketimpangan sosial. Gaya hidup tersebut pun mengarah pada pola hidup yang rusak, fokus kepada diri sendiri enggan untuk berinteraksi dengan dunia nyata yang penting bagaimana dirinya di dunia maya.
Islam Solusi Kesepian
Melihat potret menyedihkan pemuda hari ini, umat Islam harus bersegera menyelamatkan Gen-Z dari dampak negatif sistem kapitalis sekuler liberal dan membangun visi menjadikan mereka generasi khairu ummah.
Islam dapat menjadi solusi hakiki dari permasalahan Gen-Z, seperti rasa kesepian dan masalah mental. Dengan mengarahkan para pemuda tentang tujuan penciptaan mereka, mereka dapat berinteraksi sesuai dengan hukum syara dan memaksimalkan potensi mereka sebagai agen pembawa perubahan.
Peran negara sangat penting dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital dan mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat. Negara dapat mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung penggunaan teknologi digital yang positif dan produktif, mengadakan program edukasi dan pelatihan, serta mengembangkan infrastruktur digital yang memadai tentunya dengan berasaskan hukum Islam.
Dengan demikian, negara dapat membantu masyarakat, khususnya generasi muda, untuk tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat. Generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang positif dan memajukan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi digital secara bijak dan produktif sesuai dengan hukum syara.
Rasulullah ï·º dan orang -orang yang mengikuti beliau telah membuktikan keberhasilan dalam membina generasi muda di masanya dengan sistem Islam, menjadikan mereka generasi yang tangguh, kuat, dan berkepribadian Islam. Sebagaimana Ali bin Abi Tholib yang menjadi panglima perang di Badar di usia 25 tahun, kemudian Muhammad Al Fatih yang menaklukkan kota konstantinopel di usia 21 tahun.
Sudah seharusnya Gen-Z melakukan perubahan, dan itu mampu terealisasi jika dalam sistem Islam, sebagaimana tinta emas telah mengukir prestasi generasi-generasi dalam sistem Islam di masa kejayaan dalam bingkai khilafah.
Via
Opini
Posting Komentar