SP
Gaji Guru PPPK Minim, Islam Punya Mekanisme Adil
TanahRibathMedia.Com—Fenomena getir tengah dialami ribuan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Mereka yang seharusnya menjadi tiang penopang peradaban justru diperlakukan bak roda produksi. Ada yang bergaji di bawah satu juta rupiah per bulan, ada yang harus menanggung utang bank dan jeratan pinjol demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka memiliki latar belakang pendidikan tinggi, bahkan bergelar S2 dan S3, tetapi tetap tanpa jenjang karir, tanpa uang pensiun, dan tanpa kepastian masa depan.
Apakah pantas pengabdi ilmu diperlakukan seperti ini?
Inilah wajah kapitalisme. Sistem yang hanya melihat guru sebagai angka dalam neraca keuangan negara. Ketika APBN terbatas, ketika utang menumpuk, ketika pajak menjadi sumber utama, guru pun akhirnya diposisikan sekadar “beban” yang harus ditekan serendah mungkin. Padahal di sisi lain, kekayaan alam negeri ini mengalir deras ke kantong swasta dan asing dengan dalih investasi. Minyak, gas, tambang, hutan—semua dieksploitasi, tapi hasilnya tak kembali ke rakyat, apalagi ke guru yang mendidik generasi penerus.
Inilah ketidakadilan yang nyata. Guru PPPK seakan didiskriminasi negara, diperlakukan berbeda hanya karena status kepegawaian. Seolah mereka bukan pendidik mulia yang layak dimuliakan, melainkan tenaga kontrak murah yang bisa diberi upah sekadarnya.
Lalu, apakah ada jalan keluar?
Islam telah memberi jawabannya. Dalam sistem Islam, mekanisme pengelolaan keuangan negara terpusat pada Baitul Maal, bukan pada APBN yang penuh jebakan utang dan pajak. Pemasukan negara tidak hanya bertumpu pada pungutan rakyat, tetapi berasal dari tiga pos utama: kepemilikan umum (seperti tambang, air, energi), kepemilikan negara (seperti harta fai’ dan kharaj), serta pos zakat yang khusus untuk mustahik.
Dari sinilah pendidikan dibiayai. Dalam pandangan Islam, guru bukan sekadar pekerja kontrak, melainkan pegawai negara yang jasanya tak ternilai. Maka gajinya tidak ditentukan oleh status ASN atau PPPK, melainkan oleh nilai peran yang ia emban dalam membentuk generasi. Guru digaji dengan layak, bahkan dimuliakan, karena pendidikan adalah sektor vital yang menentukan keberlangsungan peradaban.
Lebih jauh lagi, dalam sistem Islam, pendidikan disediakan secara gratis dengan kualitas terbaik. Begitu juga dengan kesehatan dan keamanan. Bukan karena negara “baik hati”, melainkan karena itu memang kewajiban negara dalam Islam.
Maka jelaslah, persoalan guru PPPK bukan sekadar soal nominal gaji. Ini adalah cermin dari karut-marutnya tata kelola negara dalam sistem kapitalisme. Selama kekayaan negeri ini terus dijarah swasta dan asing, guru akan tetap berada di posisi terpinggirkan. Namun, dalam sistem Islam yang berlandaskan keadilan, guru akan ditempatkan di posisi yang semestinya—sebagai pilar utama peradaban, bukan sekadar angka dalam laporan anggaran.
Guru mulia butuh sistem yang mulia. Dan Islam telah membuktikan, ia memiliki mekanisme adil untuk menjamin itu semua.
Risna Ayu Wulandari
(Aktivis Muslimah Jakarta)
Via
SP
Posting Komentar