IBRAH
Datang dengan Menangis, Pergi dengan Tersenyum Manis
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dia terlahir dalam keadaan suci, tak ada satupun noda dan dosa di tubuhnya. Dia lahir dengan menangis, dan disambut oleh insan dewasa dengan tersenyum manis.
Dia tumbuh dan menjadi dewasa. Di depannya terbentang dua jalan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Balad: "Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan".
Maksud "dua jalan" dalam ayat tersebut adalah jalan kebaikan dan jalan keburukan
Dia pun mulai belajar memilih. Karena, menurutnya hidup ini pilihan, dan memilih jalan yang benar adalah satu keharusan.
Dia mulai melangkah menapaki setiap jalan yang Allah tunjukkan. Dia temui insan-insan kamil yang aliman dan mujahidan. Dia mencerna setiap kata yang dia dengar dari musyrifnya. Dia abadikan dalam carik-carik putih setiap fatwa yang dia tuai dari mereka. Tak berhenti di situ. Dia tabur biji-biji ilmu yang dia raih dari para gurunya ke setiap mata, agar setiap mata itu dapat menangkap taburan ilmu yang dia ungkap. Dia mempunyai misi ingin membimbing moral dan etika umat agar tidak tersesat, serta meningkatkan amal kebaikan. Dia juga berharap agar umat ini benar dalam beribadah.
Dia ingin hidupnya bermanfaat bagi umat, berguna bagi sesama. Sebagaimana dalam hadis yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Khairunnas, anfauhum linnas. "Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lainnya"
Sepenuh hati, dia dededikasikan seluruh hidupnya untuk agama Allah, tetapi dia pun hati-hati dengan hatinya. Kerena hati adalah poros amal manusia, di mana segala amal tergantung niatnya, sedangkan niat itu sendiri tempatnya di dalam hati. Jika niat melenceng sedikit saja dari ingin meraih ridha Allah menjadi ingin ridha manusia, maka lelah amalnya akan sia-sia. Karena dia tidak ingin, banyak "bergerak tapi tak berdampak".
Sudah menjadi keniscayaan. Dua perkara harus ada di dunia. Jika ada tangis, pasti ada tawa, jika ada kuat, pasti ada lemah, jika ada awal, pasti ada akhir, dan jika ada sehat, pasti ada sakit. Begitupun dia, raganya yang dulu kuat, Allah uji dengan lemah. Raganya yang dulu sehat, Allah terpa dengan sakit. Sakit itu mengerogoti tubuhnya, dan daya tubuhnya pun kian melemah.
Namun, dia insan yang tegar. Tubuhnya mungkin sakit, raganya mungkin lemah, tetapi hatinya tetap sehat, jiwanya tetap kuat. Karena imanya yang kokoh, serta semangat dakwahnya yang tak pernah roboh.
Pejuang khilafah yang tangguh itu, tetap menjadi pelita bagi jiwa-jiwa lain, walau daya tubuhnya hampir redup. Dia tetap berkarya, disamping mesin yang mencuci darahnya.
Dia berusaha untuk "kuat di balik luka".
Butiran kata yang dia takar menjalar ke setiap ruh yang lapar akan rambu-rambu jalan kehdupan yang benar. Setiap kalimat yang dia pahat mengundang decak, menyulut kagum, dan memancing bulir bening agar turun dari mata sang pembaca.
Pelan, hayatnya merayap mendekati putaran detik yang siap berhenti. Matanya pun mulai lelah, raganya semakin tak berdaya, tetapi rindu akan ilmu tak pernah membeku. Hanya butran air mata yang mewakili keeinduannya.
Jiwa ingin melangkah bebas menerabas setiap jalan ilmu tanpa pembatas. Namun apadaya raga lemah tak berdaya. Dia habiskan tenaga yang tersisa, rasa rindu dia ukir di layar kecil itu.
"Aku rindu bermajlis ilmu".
Dia terkulai, jarinya tak lagi lincah berdakwah, raganya membeku tak kuasa lagi menebar ilmu. Karena Allah lebih merindu.
Dia pun menemui Sang Maha Pemilik Jiwa dan Raga. Dia pergi untuk selamanya, meninggalkan karya-karya berlian, menitipkan gemerlap pesan kebaikan, dan mewariskan bongkahan-bongkahan tulisan emas nan menyilaukan.
Kini, dia pergi dengan tersenyum manis, di antar oleh beribu insan bersama sejuta tangis.
Beribu doa kebaikan tak berhenti, terus bergemuruh menggebu untuk dia yang kini terlelap bak pengantin baru.
Wallahu 'alam bissawwab.
Via
IBRAH
Posting Komentar