Opini
Reshuffle Menteri dalam Pusaran Kapitalisme: Rakyat Tetap Menanggung Lelah
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Presiden Prabowo Subianto baru saja melakukan perombakan terhadap lima pos kementerian penting di Kabinet Merah Putih. Keputusan ini datang secara tiba-tiba, dipandang sebagai reaksi dari evaluasi kinerja pemerintahan serta upaya menjawab dinamika politik dan ekonomi nasional. Reshuffle tersebut merupakan yang kedua dalam kurun waktu kurang dari setahun sejak kabinet terbentuk pada Oktober 2024. Pemerintah menyebut langkah ini sebagai strategi memperbaiki kualitas layanan publik, mempercepat pembangunan, sekaligus merespons tekanan global yang semakin terasa.
Kursi menteri yang berganti di antaranya adalah:
- Menteri Keuangan: Sri Mulyani.
- Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam): Budi Gunawan.
- Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia: Abdul Kadir Karding.
- Menteri Koperasi: Budi Arie Setiadi.
- Menteri Pemuda dan Olahraga: Dito Ariotedjo.
Selain itu, untuk membentuk Kementerian Haji dan Umrah Presiden juga menandatangani Keputusan Presiden (Keppres). Lembaga baru ini lahir sebagai kelanjutan dari pembahasan RUU Haji bersama DPR RI, dan dalam waktu dekat akan ditunjuk pejabat yang akan menahkodainya.
Namun, dalam sistem politik demokrasi-kapitalis, perombakan kabinet pada hakikatnya tidak mengubah arah kebijakan. Semua tetap bernafas sama: melayani kepentingan pemilik modal. Dengan kata lain, reshuffle tetap saja sebatas ritual politik tanpa menyentuh akar persoalan rakyat. Kursi menteri sering kali menjadi komoditas tawar-menawar politik, bukan amanah yang benar-benar ditujukan untuk melayani masyarakat.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa jabatan menteri lebih banyak diperlakukan sebagai jatah partai atau kelompok tertentu. Alih-alih menata kebijakan yang dibutuhkan rakyat—seperti penyediaan pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—reshuffle lebih condong diarahkan pada pemenuhan kepentingan politik praktis.
Akibatnya, rakyat terus menanggung beban. Biaya hidup semakin berat, harga kebutuhan pokok tidak menentu, lapangan pekerjaan terbatas, sementara janji perubahan yang pernah disampaikan tetap sulit diwujudkan. Perombakan kabinet pun kerap dipersepsikan hanya sebagai bagi-bagi kursi kekuasaan, sarana menjaga stabilitas koalisi, atau sekadar alat pencitraan.
Pertanyaannya, bagaimana dengan sistem Islam dalam negara Khilafah. Adakah praktik reshuffle seperti dalam sistem kapitalisme?
Dalam pandangan Islam, jabatan menteri atau disebut wazir berfungsi membantu Khalifah dalam melaksanakan syariat. Pemilihan pejabat didasarkan pada kompetensi, keahlian, dan ketakwaan, bukan atas dasar kepentingan partai atau kelompok. Rasulullah saw. maupun para khalifah setelahnya mengangkat sahabat yang memiliki kemampuan mumpuni. Mu‘adz bin Jabal, misalnya, ditugaskan untuk urusan zakat, sementara Amr bin Ash dipercaya mengelola administrasi Mesir. Dengan cara ini, pejabat negara mudah dimintai pertanggungjawaban, bukan sekadar diganti demi kepentingan politik.
Di dalam sistem Khilafah tidak dikenal kementerian agama sebagaimana dalam negara sekuler-kapitalis. Sebab seluruh urusan negara dijalankan berdasarkan hukum Allah, sehingga tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan agama. Pengelolaan haji dan umrah, misalnya, berada langsung di bawah tanggung jawab Khalifah melalui pejabat khusus atau wazir yang ditunjuk.
Sejarah mencatat Khalifah Utsman bin Affan menyiapkan kebutuhan logistik jamaah haji, termasuk pasokan air, keamanan, serta jalur transportasi. Pada masa Abbasiyah dan Utsmaniyah, bahkan ada amir al-Hajj yang ditugaskan untuk mengatur keberangkatan, keamanan, hingga pembangunan fasilitas bagi jamaah. Negara juga membangun ribath (pos jaga) serta jalan khusus bagi kafilah haji dari Syam, Mesir, dan Irak.
Pada sistem Khilafah menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Negara menjamin pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan pokok rakyat. Sumber daya alam dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan pada korporasi. Pajak hanya dipungut pada kondisi tertentu dan itu pun terbatas pada orang kaya, jika Baitul Mal sedang kosong.
Karena itu, pergantian pejabat hanya dilakukan bila seseorang lalai dalam amanah syariat atau tidak mampu menjalankan tugas. Tidak ada reshuffle untuk bagi-bagi kursi kekuasaan. Dengan mekanisme ini, rakyat tidak perlu menunggu janji kesejahteraan yang tak kunjung nyata.
Reshuffle dalam sistem kapitalisme hanyalah sirkulasi elite yang melelahkan rakyat, sebab tidak menyentuh akar permasalahan. Islam menawarkan solusi yang hakiki: bukan sekadar mengganti wajah menteri, melainkan mengganti paradigma kepemimpinan menuju sistem Islam yang adil dan menyejahterakan. Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah dari Allah untuk menghadirkan keadilan, bukan arena rebutan kekuasaan.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar