OPINI
Generasi Digital dan Krisis Berpikir Kritis di Tengah Arus Algoritma
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Berbagai data menunjukkan adanya penurunan kemampuan berpikir kritis dan fungsi kognitif pada generasi muda, khususnya gen z, yang berkaitan erat dengan pola konsumsi konten digital berlebihan. Paparan video singkat, arus hiburan instan, dan interaksi digital tanpa henti membuat generasi muda semakin sulit berkonsentrasi, menganalisis persoalan secara mendalam, serta membangun nalar yang runtut. Fenomena ini dikenal dengan istilah brain rot, yakni pembusukan kemampuan kognitif akibat konsumsi digital yang tidak terkontrol (detik.com, 3 Mei 2024).
Fenomena brain rot menguat seiring dominasi platform digital dalam kehidupan generasi muda. Media sosial dan gawai tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi ruang utama pembentukan cara berpikir. Informasi dikonsumsi secara cepat dan dangkal, sementara proses berpikir mendalam justru ditinggalkan. Generasi dibiasakan bereaksi, bukan merenung; mengikuti arus, bukan menguji kebenaran (CNN Indonesia, 18 April 2024).
Kedangkalan berpikir generasi muda sejatinya bukan persoalan individual semata. Ia merupakan hasil dari desain algoritma digital yang beroperasi di bawah sistem kapitalisme sekuler. Algoritma diciptakan bukan untuk mencerdaskan manusia, melainkan untuk memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, kecepatan lebih dipuja daripada kebenaran, viralitas lebih dihargai daripada kedalaman, dan hiburan ditempatkan di atas tsaqofah Islam.
Habitat digital semacam ini melahirkan generasi yang perlahan kehilangan posisi sebagai subjek peradaban. Generasi muda lebih sering diposisikan sebagai “objek” pasar—penyumbang klik, data, dan atensi—daripada sebagai pemikir dan pemimpin perubahan. Potensi kepemimpinan intelektual menjadi tumpul, padahal kebangkitan umat hanya mungkin terwujud melalui generasi yang memiliki daya pikir tajam, kritis, dan visioner.
Dalam arus viralitas yang terus memaksa manusia bergerak cepat, dibutuhkan keberanian untuk berhenti sejenak. Rekonstruksi tsaqofah menjadi keniscayaan. Generasi harus kembali dibiasakan membaca secara mendalam, berdiskusi secara argumentatif, serta memandang persoalan dengan kerangka berpikir yang utuh. Tanpa upaya ini, generasi akan terus terjebak dalam siklus hiburan yang melelahkan namun hampa makna.
Islam sejatinya tidak menolak teknologi. Namun, Islam menempatkan teknologi dalam batasan syariat. Teknologi harus dikendalikan manusia untuk kemaslahatan umat, bukan justru mengendalikan manusia. Generasi muda Muslim dituntut mampu mengelola perangkat digitalnya untuk kepentingan dakwah, pendidikan, dan perjuangan umat, bukan sekadar pelarian hiburan.
Sejarah Islam memberikan teladan jelas. Pada masa Khilafah Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat melalui lembaga seperti Baitul Hikmah. Namun, seluruh aktivitas intelektual tersebut tetap diarahkan oleh akidah Islam. Negara memastikan ilmu dan teknologi melahirkan ulama, ilmuwan, dan pemimpin umat—bukan generasi lalai yang kehilangan orientasi hidup.
Oleh karena itu, pembinaan generasi harus dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Pembinaan dimulai dari penanaman akidah sebagai fondasi berpikir, sehingga generasi memiliki standar dalam menilai benar dan salah. Tanpa fondasi ini, literasi digital hanya akan melahirkan generasi yang cakap secara teknis, tetapi rapuh secara ideologis.
Di tingkat keluarga, pembinaan dilakukan melalui keteladanan orang tua dalam menggunakan teknologi. Orang tua berperan menanamkan adab bermedia, membiasakan dialog, serta mengarahkan anak memahami tujuan hidup seorang Muslim. Keluarga menjadi benteng pertama agar generasi tidak menjadikan ruang digital sebagai satu-satunya sumber nilai.
Di lingkungan sekolah, pembinaan tidak boleh berhenti pada capaian akademik. Sekolah harus menjadi ruang pembentukan nalar dan karakter. Proses belajar mesti mendorong berpikir analitis, keberanian bertanya, dan kebiasaan membaca serta menulis secara mendalam. Pendidikan tidak boleh tunduk pada kebutuhan pasar semata, tetapi diarahkan untuk membentuk kepribadian yang berprinsip.
Di tingkat masyarakat, pembinaan dilakukan dengan menciptakan lingkungan sosial yang sehat secara pemikiran. Masjid, majelis ilmu, dan komunitas pemuda harus dihidupkan sebagai ruang diskusi, penguatan tsaqofah Islam, dan kontrol sosial. Masyarakat tidak boleh netral terhadap arus konten digital yang merusak, tetapi aktif melakukan amar makruf nahi mungkar.
Namun, pembinaan generasi akan sulit berjalan efektif tanpa peran negara. Negara memiliki kekuasaan untuk mengatur sistem pendidikan, mengendalikan media dan konten digital, serta menciptakan ekosistem yang mendukung lahirnya generasi berkepribadian Islam. Dalam sejarah Khilafah, negara berperan sebagai raa’in (pengurus) yang memastikan seluruh sistem berjalan sejalan dengan visi peradaban Islam.
Lebih jauh, pembinaan generasi tidak cukup berhenti pada kebangkitan berpikir semata. Ia harus diarahkan pada ide yang sahih. Karena itu, pembinaan perlu digerakkan oleh kekuatan politik Islam ideologis yang konsisten membina umat. Tanpa arah ideologis yang benar, kesadaran intelektual berisiko berakhir sebagai wacana tanpa perubahan sistemik.
Krisis berpikir kritis generasi digital sejatinya adalah krisis arah peradaban. Selama generasi Muslim masih menjadikan algoritma sebagai standar berpikir dan bertindak, selama itu pula kebangkitan Islam akan tertahan. Sudah saatnya generasi kembali menjadikan Islam sebagai standar berpikir, bersikap, dan memimpin perubahan.
Via
OPINI
Posting Komentar